6. Maksudnya Apa?

1049 Kata
"Sela ... Bangun ayo ..." Ralph mengelus lembut rambut lebat sang Adik. Sela yang mendapat perlakuan seperti itu bukannya terbangun, justru semakin nyenyak dalam alam mimpinya. "Hei, kok malah tidur?" Karena tak mendapat jawaban, Ralph keluar dari kamar Sela menuju kamar mandi guna membasuh tangannya sedikit. Setelah itu ia kembali lagi dengan tersenyum picik. "KAKAK!! DINGIN!!!" jerit Sela kesal. "Makanya ayo bangun. Kamu ada ujian nyanyi kan nanti?" Mata Sela melotot saat mengingat tugas dari gurunya Minggu lalu. "Kok gak bangunin Sela dalitadi sih!!!!" Ralph mendengus jengkel. Adiknya ini benar-benar... "Sana mandi! Kakak masakin dulu buat kamu." suruh Ralph bangkit dari duduknya. "Ay-ay captain!" *** Suara dentingan sendok dengan piring menjadi pengantar pagi yang dingin ini. Di mansion 10 lantai milik keluarga Millano, hanya diisi dengan keheningan karena sudah menjadi adab ketika makan tak boleh berbicara. "Lin, ada yang mau Papi bicarakan sama kamu," ucap Mores setelah meletakkan sendoknya. Ralin mengangkat sebelah alisnya, menunggu apa yang akan diucapkan oleh Papinya. Setelah mendengar ucapan sang Papi, rahang Ralin seakan terlepas dari tempatnya. "Setelah Papi pikirkan matang-matang, Papi akan mencarikan bodyguard untuk menjaga kamu 24 jam." Brak! Mores tersentak karena suara gebrakan meja yang sangat tiba-tiba. Belum juga hilang dari rasa terkejutnya, Mores kembali dikejutkan dengan sebuah pertanyaan yang lebih mirip dengan pemberontakan. "MAKSUD PAPI APA? PAPI KIRA, RALIN GAK PUNYA PRIVASI?" "Duduklah, Ralin. Mari kita bicara dari hati ke hati," ujar Mores santai. Ralin tertawa sarkas lalu menggeleng tak habis pikir. "Are you kidding me? Papi kira, Alin anak paud, hm?" "Tolong mengerti ... Ralin. Papi gak mau kehilangan keluarga Papi satu-satunya," lirih Mores terluka. "Kenapa gak Papi aja yang selalu ada sama Alin? Kenapa harus orang asing, Pi? Segitu gak mau nya ngurus Alin?" cerca Ralin. "Gak di sekolah, gak di rumah. Semua suka banget menghindari Alin!" Gadis itu mengambil tas sekolahnya kemudian berlari keluar dari mansion. Saat akan memasuki mobil, Ralin merasakan pergelangan tangannya di cekal seseorang. Dengan mata membengkak, Ralin mendongak. Matanya menghunus seseorang yang berani mengganggu dirinya. Tenang saja, Ralin cewek kuat. Tak ada sedikitpun air mata yang keluar dari mata indah itu. "It's okay. Nangis Lin kalau emang lo perlu itu," kata pemuda yang tak lain adalah Jeno. Ralin terkekeh hambar. "Nangis? HAHA ... Gue bukan cewek lemah! Cepet jalan!" "Sialann, gue kira bakal ada adegan nangis terus peluk-pelukan!" Jeno mengumpat lalu memasuki posisi kemudi masih dengan mulutnya yang komat-kamit menggerutu. "Gue tau otak picik lo, Jen! Jangan harap gue bakal mewek terus meluk lo. Mending gue cari cowok ganteng tapi setia, asalkan bukan Lo," kata Ralin seolah tau apa yang ada di pikiran Jeno. Sepanjang perjalanan, Ralin terus saja memberi wejangan yang tentu saja membuat kepala Jeno terasa full. Masih pagi sudah mendapat pelajaran berharga. Sungguh, Jeno ingin segera turun dari mobil. "Eh-eh Jen! Itu cowok, besalus kan?" tunjuk Ralin ke jalanan. Mata Jeno menyipit karena ingin memastikan. Kemudian ia menyeringai. "Iya, itu besalus. Kenapa? Lo rindu?" "Ndasmu rindu! Gue pengen cari mangsa, buat ngilangin suntuk!" Ralin kembali memaki Jeno. Pemuda itu mengacak rambutnya frustasi. Predikat pria selalu salah sepertinya akan tersemat pada diri Jeno. "Perasaan gue gak pernah bener ya, Lin?" desah Jeno dongkol. Ralin mengedik tak peduli. Menurutnya, pria seperti Jeno tak perlu terlalu ditanggapi. Hanya buang-buang waktu. "STOP!" Teriakkan melengking itu membuat Jeno harus mengerem mobilnya secara dadakan hingga memblokade jalan yang seharusnya dilewati sepeda tersebut. Tanpa peduli dengan sumpah serapah yang dilontarkan sahabatnya, Ralin keluar dari mobil dan berjalan santai kearah Ralph. "Eh, besalus! Masih jaman nih, sekolah naik sepeda?" ujar Ralin bermaksud mengejek. Ralph tersenyum tipis. "Daripada gue harus jalan kaki, Classica." "Nama gue Ralin. Kenapa lo harus manggil Classisa, sih?" Ralin berdecak tak suka dengan panggilan khusus dari manusia berbeda kasta seperti Ralph. "Gue lebih suka manggil lo, Classica. Karena itu panggilan sayang dari gue," goda Ralph membuat Ralin mual. "Gak usah ngadi-ngadi ya lo! Kita beda kasta, gak usah berharap lebih!" tukas Ralin geram. Ralph tak mempedulikan hinaan itu. Dari dalam mobil, Jeno memperhatikan drama itu dengan memutar matanya jengah. Setelah itu ia kembali fokus dengan ponselnya karena harus membalas chat dari para gebetannya. Crocodile! "Sana berangkat, nanti lo terlambat." Ralph menepuk puncak kepala Ralin kemudian menjalankan sepedanya meskipun sedikit susah karena terhimpit body mobil Jeno. "DASAR TUKANG MODUS, MISKIIN! teriak Ralin tak terima karena merasa dipermainkan oleh Ralph. Gadis itu menghentakkan kakinya sembari membuka kasar pintu mobil dan menutupnya kencang. Brak! Jeno terlonjak kaget karena bunyi pintu mobilnya. Tangannya mengelus d**a karena rasa terkejut itu tak kunjung hilang. "JALAN CEPET!" sentak Ralin karena pemuda di sebelahnya tak kunjung menjalankan mobil. "E-eh iya," sahut Jeno kikuk. Dia harus segera sampai sebelum mendapat amukan lagi. *** Ralin POV Entah kenapa hari ini gue ngerasa ingin sekali ke toilet padahal waktu belum memasuki istirahat pertama, otomatis belum ada makanan ataupun yang minuman masuk ke tubuh gue. "Heh, cewek gila!" Seruan dari arah belakang membuat gue merotasikan mata namun tak menghentikan langkah kaki gue. Srak! Gue meringis saat merasakan tarikan pada rambut cantik gue. Rasanya gue ingin mencekik orang itu. Karena tak ingin rambut yang udah gue rawat ini rontok, akhirnya gue membalikan badan berusaha mencekal tangan itu. Nihil Gue gak bisa megang tangan itu. "Lo siapa sih, anjingg!" Gue memaki orang itu. "HAHAHAHA ... Ternyata mata lo siwer ya?" ledek salah satu dari mereka. Bugh! Gue yang kelewat dongkol pun melayangkan bogemannya. "Aarrrggghhhhh!!!!" Gue melotot saat bogeman itu mengenai wajah seseorang. Sialnya, orang itu adalah manusia yang sangat gue benci. "Lo ngapain ada disini? Mau mata-matain gue hah?!" Dengan rasa dongkol yang tak tertahan, gue justru memaki pemuda yang wajahnya sedikit lebam. "Lo ... Ssshhhh ... Lo yang mukul gue, Classica ..." Ralph meringis karena merasakan ngilu pada sudut bibirnya. "Ck!" Gue berdecak sembari menyeret Ralph membuat sang pemuda itu bingung. Setelah memasuki UKS, gue langsung mendorong Ralph kearah ranjang. "Duduk lo!" gue menghardik pemuda yang masih terlihat meringis. Gue beranjak menuju kotak P3K yang berada di sudut ruangan. Setelah memastikan jika obat-obatan itu belum expired, gue mendekati manusia kasta bawah itu dengan wajah malas. "Duduk yang bener," pinta gue yang langsung dituruti Ralph. Ralph memajukan wajahnya hingga gue bisa merasakan hembusan nafasnya di wajah gue. Sial, meskipun miskin, ternyata Ralph orang yang cukup wangi. Tangan Ralph terulur memegang wajah gue, bahkan gue harus menahan nafas karena takut. Wajah itu semakin maju hingga ... "APA YANG LO BERDUA LAKUIN???"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN