7. I'm Superwoman To You

1969 Kata
I'm only one call away... I'll be there to save the day Superman got nothing on me... I'm only one call away One Call Away By Charlie Puth  >>>>> Kadang aku ingin pergi, sekadar ingin melihat seberapa penting kehadiranku baginya. Namun bagaimana bila dia justru baik-baik saja aku tinggalkan? Nanti aku malah sakit sendirian. Gimana dong? Rachel Amanda kan mulai galau kalau kayak gini jadinya. Begitulah akhirnya aku mulai bertingkah bodoh, alias ngelunjak. Aku membuat sibuk diriku sendiri, menjadi orang paling susah ditemui, terutama oleh Rama. Pagi sampai petang aku menyibukkan diri dengan berbagai hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Dua jam dalam sehari aku sempatkan mengunjungi perpustakaan untuk mengumpulkan bahan dan materi proposal skripsiku. Judulku di-acc dong. Yaassh.... Malam harinya aku berkutat di depan proposal skripsiku. Kadang juga bimbingan di rumah dosen. Begitulah kegiatanku selama beberapa hari ini. Beruntung sekali mendapat dosen yang mau ditemui di luar jam kerjanya, dan rumahnya juga tidak terlalu jauh dari kosan. Rezeki anak solehah mah nggak bakal kemana.   Dan aku harus ikhlas karena ternyata Rama tidak bersikap seperti kakek kebakaran jenggot saat aku mendadak menjadi super sibuk. Dia selow, malah terus memberiku semangat, mengingatkan aku makan, solat and bla bla bla. Stop! Bukan itu yang aku harapkan, Rama. Aku mengharapkan kamu mencariku dan berharap membutuhkanku. Nangis guling-guling di lantai kamar. Nyesek sendiri kan, kan, kan??? *** Hari ini aku mendapat tugas mengurus proses kredit calon pembeli mobil. Setelah mendapat pengarahan dari mas bos yang hari ini mendadak kalem, tapi mencurigakan. Aku tidak boleh terlena sikapnya yang mendadak jadi semanis gula Jawa karena di balik sikap baiknya si bos selalu ada rencana terselubung. Setelah mendapat briefing singkat, aku menuju bank yang biasa bekerja sama dengan Tanama Mobil dalam urusan pemasaran perkreditan.  Sampai di kantor bank aku celingukan seperti orang b**o, karena Pak satpam yang kata mas Andra selalu berjaga di pintu masuk tidak kelihatan batang hidungnya. Aku pun berinisiatif menuju meja customer service. Seorang perempuan berseragam merah menyambutku dengan senyum ramah. “Selamat siang, dengan Nessa ada yang bisa saya bantu?” sapa petugas bank itu. “Saya dari Tanama Mobil. Kalau mau mengurus berkas pengajuan kredit mobil di mana ya, mbak?” Eh, si mbak yang bernama Nessa itu mendadak sumringah, senyum bulan sabit langsung terukir di wajah cantiknya. “Oh, anak buahnya Andra ya? Sini berkasnya, biar saya yang urus,” katanya dengan ramah. Eh... Ketika Mbak Nessa berdiri dari kursinya, aku mendadak jadi minder. Dia tinggi dan langsing. Bodygoals banget kalau kata kids jaman now. Dia menerima map yang berisi dokumen pengajuan kredit mobil dariku, lalu mempersilakan aku duduk di kursi tunggu khusus nasabah prioritas. “Ini mau full kredit atau bayar setengah?” “Bayar setengah mbak. Sisanya mau diangsur.” “Oh, okey. Udah lengkap ya berkasnya?” “Insya Allah udah mbak.” Mbak Nessa tersenyum lembut lantas mulai memeriksa berkas-berkas di dalam map dengan cermat. Gaes... wajah cewek di sampingku ini cantik banget, mukanya itu imut, mulus tanpa jerawat apalagi komedo, trus suaranya tuh maknyes gitu dengarnya, bikin hati adem. Lembut tapi juga tegas. Fix, aku nge-fans sama dia. Menurutku dia lebih cocok jadi member girlband daripada jadi pegawai bank begini. Aku mendadak jadi fangirl, trus nyanyi lagunya girlband Twice dalam hati, dengan nge-rap asal nyablak. Eh, tapi kok dia tanya-tanya mas Andra mulu yak? Curigation kan jadinya. “Mbak, ini bisa ditinggal nggak? Soalnya aku masih mau ke kampus.” Aku mengalihkan pembicaraan yang mulai menyimpang dari urusan kredit mobil. “Oh boleh. Tinggal aja. Bagi nomor WA kamu ya. Nanti aku hubungi kelanjutannya.” Aku pun memberikan nomor WA, lalu segera meluncur ke kampus. Hari ini ada bimbingan proposal skirpsi berjamaah. Di mana semua mahasiswa yang ada di bawah bimbingan satu dosen ini akan berkumpul untuk mendapat pengarahan dari sang dosen sekalian juga bisa saling mengobrol dan bertukar pikiran soal skripsi masing-masing. Sayang banget aku tidak satu dosen pembimbing dengan Tita maupun Franda, jadi tidak bisa bimbingan bersama seperti sekarang ini. Kalau Franda dan Tita salah satu dosen pembimbing mereka ada yang sama. Satu jam berlalu, bimbingan berjamaah usai sudah. Aku janjian dengan Tita dan Franda nge-popice bareng. Hahaha. Itu istilah kami bertiga kalau pengin nongkrong bareng. Di kantin kampus Tita mulai mengeluh soal proposal skripsinya. Pengajuan judulnya yang sampai judul kesepuluh masih juga tidak mendapat persetujuan dari dosen pembimbing dua-nya. Franda juga mulai malas karena dosen pembimbing dua-nya sangat susah ditemui. Sedangkan aku, malah ditawarin seminar proposal minggu depan. Yaayyy... “Nggak seru ah kalo si upik abu ini seminar duluan. Habis kita nanti kena bantai sama dia.” Mulut knalpot Tita mulai mengeluarkan polusinya. Kezel. “Kamu harus siapin sogokan paling w-o-w buat dia, supaya nggak dibantai kayak mereka-mereka yang sudah pernah menjadi korban p*********n dia.” Yak, Franda mulai menjadi sumbu kompor berapi yang siap memancing kebakaran jenggot Tita. Aku hanya bisa cekikikan lalu merangkul bahu kedua sahabatku ini. “Tenang aja, buat kalian berdua aku nggak akan bantai habis-habisan. Paling juga cuma kasih pertanyaan tipis-tipis, semi bikin lutut getar-getar manja aja kok,” ujarku lalu tertawa kencang karena wajah mereka berdua mendadak pias. “Santai Gaes. Belanda masih jauh kok. Oke, oke!” kataku, lalu menepuk bahu mereka. Franda dan Tita tidak menjawab, saat ini muka keduanya kelihatan makin masam. Di angkatanku, aku memang terkenal junior paling minta dihajar semenjak menempuh mata kuliah seminar, semester yang lalu. Setiap kali aku ikut seminar ada saja pertanyaanku yang katanya itu 'menjatuhkan'. Aku loh sama sekali tidak tahu di mana letak menjatuhkannya itu, asli. Setelah membahas masalah skripsi, Franda mengalihkan isu panas tadi ke arah jam sembilan. Sebuah kode ala kami bertiga untuk memberi informasi ada sesuatu menarik perhatian yang bisa diangkat menjadi topik pembicaraan tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Kode dari Franda menginformasikan ada sesuatu yang menarik, posisinya di belakang tempat dudukku. “Cakep nggak, Ta?” Franda menyikut perut Tita yang sedang asyik mengunyah batagornya. Franda memang tidak seiseng aku yang sangat suka memanggil Tita dengan panggilan Tit, yang membuat bule Betawi itu kejang-kejang saking malunya kalau pas aku panggil Tit di tengah keramaian. Hahahaha. “Mana sih?” tanya Tita dengan mulut penuh batagor. “Lola (loading lama) lu kalo sama cowok cakep. Kalo sama yang tajir aja gercep (gerak cepat),” celetuk Franda kesal karena Tita mengacuhkan dia. Aku menoleh mencari asal muasal yang membuat kedua sahabatku ini bisik-bisik tidak jelas gitu. “Ondeh..., pajantan tu rupanyo. Namanya Iqbal. Anak jurusan KS dia. Anak Mapala. Aktivis lingkungan hidup juga, ketua UKM fotografi. Cuek abis. Lupain aja, nggak masuk kategori cocok buat dijadiin gebetan, deh.” Dua sahabatku ini melongo mendengar penjelasan dariku. “Kok lu tau, bocah?” “Ya tau lah. Kita satu komunitas ini. Dia ikut Minang Comunity juga. Emak bapaknya asli Padang, cuma udah lama tinggal di Malang. Begono....” Bibir Tita dan Franda kompakan membulat membentuk huruf O besar. Iseng aku cocolin itu mulut terbuka mereka satu persatu dengan cabe rawit. “j*****m banget sih, lo!” Aku tertawa melihat ekspresi kesal mereka berdua. “Anyway, kamu masih jalan sama cowokmu yang anak Biologi itu, Tit?” tanyaku mengalihkan perhatian keduanya dari anak gunung tadi. “Udah nggak. Bosen gue. Masa diduain sama lab mulu. Lagi pengen mesra-mesraan dianya milih kencan sama mikroskop dan kawan-kawan.” Franda menimpali dengan tertawa terbahak. Hilang sudah keanggunan khas putri keraton-nya kalau sudah terbahak begitu. “Aku bilang juga apa, anak IPS itu nggak jodoh sama anak IPA. Sudahlah putusin aja,” katanya kemudian setelah berhenti tertawa. “Aku anak IPA yang nyasar di ranah anak IPS. Gimana dong?” “Mestinya kamu tuh kita kick dari tanah FISIP sejak jaman baheula. Ya nggak, Ta?” “Setubuh. Eh, setuju maksud gue,” jawab Tita sambil menganggukkan kepalanya macam boneka si unyil. Di antara kami bertiga memang hanya aku yang mengambil jurusan IPA saat SMA. Awal kuliah dulu aku sempat dibantai, dikucilkan, merasa minder dan rasanya b**o banget. Berkat kerja kerasku, akhirnya aku bisa survive di Program Studi Ilmu Administrasi Niaga ini. Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Setiap semester, IP-ku selalu di atas 3. Dan aku selalu berhasil menempuh 24 sks setiap semesternya. “Lo sendiri ngapain tanya-tanya cowok itu. Emang kenapa cowok lo, Fran?” Satu lagi faktanya, di antara kami bertiga ternyata hanya aku yang sampai detik ini masih berstatus jomlo. Karena dua temanku ini sudah ada pacar yang setiap ngapelin setiap malam minggu. Beda kali sama aku yang hanya diapelin sahabatnya. Itu pun kadang dianggurin kalau pas doi sedang kena shift jaga malam. Ya nasib. “Nggak apa-apa. Iseng aja nanya. Penasaran doang,” jawab Franda dengan cueknya. “Mentang cantik, bebas ye pilih cowok,” timpalku sambil menyolek dagu Franda. “Apaan banget sih. Kamu tuh juga cantik lagi. Lesung pipit kamu tuh racun dan sanggup bikin para cowok kelepek-kelepek aslinya. Mau aku cariin cowok nggak?” “Iya Fran, cariin gih. Yang cocok buat dia.” Mulai Tita si kompor meleduk mengarang bebas. “Duh maaf kata ya. Finalis Putri Indonesia yang satu ini terlampau sibuk hanya untuk memikirkan hal unfaedah seputar mahkluk berkromosom Y,” ucapku dengan jumawa. “Putri Indonesia gigi lo!” Serempak kami bertiga tertawa mendengar u*****n dari Tita yang memang tidak pernah tahu tempat kalau berbicara. “Albar sering banget nongkrong di kosan depan. Kayaknya lagi ngincer cewek deh dia.” “Paling juga Rasti. Siapa lagi? Cowok model Albar kan emang tipe-tipe kayak Rasti tuh yang diincer. Kulit putih, mulus, tinggi, langsing, rambut panjang hitam dan lurus,” tandas Tita. “Kok gue nggak digebet ya sama Albar? Gue kan punya ciri-ciri yang seperti lo bilang tadi, Ta,” bantah Franda. “Karena lo bukan calon dokter dan elo sahabatnya si Upik,” jawab Tita. Aku mendesah pasrah mendengar obrolan dua sahabatku ini. Entah apa tujuan mereka berdua tiba-tiba membahas soal Rama di depanku. Apalagi yang dibahas sesuatu yang nyesek abis  seperti ini. Namun sebisa mungkin aku berusaha tenang dan tidak menunjukkan sedikit pun gelagat patah hati. “Biasanya dia nongkrong jam berapa?” tanyaku pada Tita, si biang keladi pembicaraan tidak menyenangkan ini. “Nggak mesti sih. Aku pernah nemuin sorean gitu.” “Jam makan siang juga pernah deh, Ta,” sahut Franda dengan berkobar semangat '45. Tita mengangguk membenarkan ucapan Franda. Bisa diambil kesimpulan, Rama ngapelin Rasti di jam-jam aku sedang tidak ada di kosan. Manuver bagus sekali pak Dokter satu itu. “Hubungan kamu sama Albar itu kayak gimana, sih? Kamu yakin cuma nganggep Albar sebagai sahabat lo doang? Nggak ada rasa lain semacam suka atau cinta gitu?” Pertanyaan Franda sukses membuat aku melongo selama beberapa detik. Mau jawab apa? Mau jujur? Susah kali. Mau bohong? Basi banget. Aku hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahuku. Jawaban mainstream yang bisa aku berikan pada dua sahabatku. Entahlah, soal perasaan pada Rama, aku merasa kesulitan membaginya pada orang lain termasuk sahabat-sahabatku, untuk saat ini. Aku merasa masih sanggup menanggung beban rasa ini seorang diri. “Gue bilangin nih ya. Dalam hubungan cowok cewek tuh cuma ada dua, Galz,” cetus Tita saat menyadari aku merasa tersudut dengan pertanyaan Franda soal Rama. “Apaan tuh?” tanya aku dan Franda penasaran. “Yang udah jadian kayak gue dan Franda. Sama yang masih digantung macam jemuran kayak elo sama Albar.” “Oh getooo???” jawabku dengan kesal, wajah masam. Sedangkan Franda dan Tita tertawa. Pada akhirnya aku pun ikut tertawa bersama mereka. Sebuah pesan w******p masuk ke ponselku.   Uda Rama: sibuk? Me: lagi di kampus Uda Rama: nti mlm ada bimbingan?   Aku bingung harus menjawab apa. Ingin terus menghindar, tapi mau sampai kapan? Rasanya kok sikapku makin menunjukkan penurunan pada tingkat kedewasaanku. Aku juga kangen Rama. Sudah seminggu ini aku tidak menghabiskan waktu dengannya.   Me: kosong Uda Rama: yes. Makasi Ya Allah. Masak nggak? Me: mau dimasakin apa? Uda Rama: apa aja deh.yg penting kamu yg masak.kangen masakan kamu.   Stop it! Rama. Aku tidak kuat juga lama-lama kalau kamu memberi angin sejuk seperti ini. Aku menggigiti bagian dalam kedua pipiku, supaya tidak ketahuan kalau sedang tersipu oleh duo racun yang sedang sibuk flirting dengan si anak gunung. Alih-alih membalas pesan Rama, aku membereskan barang-barangku yang tersebar di atas meja kantin. Berdiri lalu melesat secepat mungkin dari hadapan kedua sahabatku. Mbak Nessa mengabarkan berkas pengajuan kredit mobil tadi sudah beres. Tinggal survey lalu menunggu persetujuan kredit dari pihak bank. Aku harus mengabari mas bos secepatnya. Semoga hari ini bisa pulang cepat. Amin. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN