Somebody wants you... Somebody needs you
Somebody dreams about you every single night
Somebody can't breathe, without you it's lonely
Somebody hopes that one day you will see... That somebody's me
Somebody’s Me By Enrique Iglesias
>>>>>
Besok aku seminar proposal skripsi. Yaayyy....senangnya dalam hati.
Aku sudah mengajukan izin pada mas Andra untuk libur kerja hari ini dan besok. Aku harus mempersiapkan semua kebutuhan seminar dan mempelajari kembali proposalku tentunya. Rama banyak membantu mempersiapkan mentalku menghadapi audience. Di kosanku, kami berlatih seolah berada di dalam ruang seminar. Rama, Tita dan Franda berpura-pura menjadi audience, lalu memberiku pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan proposal skripsiku.
Saat kami sedang serius-seriusnya berdiskusi dan berdebat, seseorang mendatangi gazebo tempat aku berdiskusi dengan sahabat-sahabatku. Mbak Rasti orangnya.
“Bar, bisa ngomong bentar?” ujar mbak Rasti. Sebelumnya mbak Rasti sudah pamit padaku. Setelah mendapat persetujuan dariku, Rama meninggalkan gazebo mengikuti langkah mbak Rasti keluar dari kosanku.
Rama nurut begitu aja. Mo nangiiis...
“Lanjut yuk,” ujarku menghentikan tatapan iba dari kedua sahabatku.
Sampai pukul setengah sepuluh malam, Rama belum kembali ke gazebo. Franda dan Tita sudah kembali ke kamar masing-masing. Mereka butuh belajar dan istirahat juga pastinya. Aku masih menanti Rama kembali ke gazebo, sendirian.
Ponsel di samping buku Metode Pemasaranku bergetar, sebuah pesan WA dari Rama.
Uda Rama: maaf ya. Aku harus langsung kembali ke rs.
Aku mendesah lesuh dan hanya menjawab oke saja, lalu beranjak dari gazebo menuju kamarku. Aku juga perlu istirahat karena besok membutuhkan energi lebih.
Uda Rama: istirahat ya! Bsk aku usahakan datang ke seminarmu
Me: iyooo.iko lai pewe di kasur. Klo nggak bisa jng dipaksa. Gpp kok
Tentunya aku mengharap kehadiranmu Rama. Kamu bisa menjadi mood booster-ku kala aku down nanti saat menghadapi audience beserta dua dosen pembimbing yang akan mengikuti seminarku.
Tak ada lagi balasan dari Rama. Aku memilih segera memejamkan mataku sebelum jam tidurku lewat dan membuat aku tidak akan bisa tidur sampai subuh menjelang.
Keesokan paginya, kosanku sudah riweuh dengan persiapan seminarku. Padahal hanya seminar proposal skirpsi, tapi kehebohan Franda dan Tita sudah mengalahkan persiapan seminar dengan pejabat saja. Aku hanya terkekeh dan tak hentinya mengucapkan syukur pada Tuhan, karena telah mengirimkan sahabat-sahabat yang luar biasa baiknya ini. Meskipun kadang tingkat menyebalkan mereka suka nggak bisa ditoleransi.
Pukul sembilan aku sudah siap di depan ruang seminar. Beberapa mahasiswa yang akan ikut hadir di seminarku sudah mulai berdatangan dan menunggu di koridor. Ada yang berdiri, ada yang duduk di lantai menyandar pada tembok dan membaca proposal skripsiku yang sudah aku bagikan kemarin lusa sebagai bentuk lain undangan untuk hadir di seminarku hari ini.
Ruang seminar yang dipinjam oleh dosen lain untuk perkuliahan entah jurusan apa, aku tak paham, akhirnya selesai. Oh, tapi akhirnya aku tahu, program studi Administrasi Negara rupanya yang kuliah barusan, saat seorang teman dari Minang Comunity menghampiriku.
“Seminar sia, Uni?” (Seminar siapa, kak) Laki-laki itu memanggilku dengan sebutan Uni yang artinya kakak perempuan dalam bahasa Minang. Karena memang dia dua tingkat di bawahku.
“Eh, Aksan. Iyo nih, seminar Uni,” jawabku sambil mengenakan jas almamater biru dongkerku.
“Mantap. Sukses yo, Ni.”
“Makasih, yo.”
Laki-laki bernama Aksan itu berlalu bersama temannya yang lain.
Kepalaku celingukan beberapa kali. Melihat ke ujung koridor lalu ke arah parkiran mobil di halaman depan kampus FISIP. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Rama. Tita menegurku supaya segera masuk ruangan karena dosen pembimbingku sudah hadir dua-duanya.
Franda yang bertugas sebagai moderator membuka acara seminarku ini. Setelah menjelaskan daftar acara dan tata cara seminar, Franda mempersilakan aku untuk memaparkan proposal skripsiku.
Sampai sepuluh menit berlalu, Rama masih belum nongol juga. Aku mulai gelisah. Sepertinya Tita menyadari sesuatu yang tidak beres terjadi pada nada bicaraku.
“Santai aja, jangan gugup gitu,” bisik Tita saat aku melakukan kesalahan menunjukkan slide power point dari laptop. Apa yang aku bicarakan tidak sesuai dengan yang aku tampilkan pada layar proyektor. Aku terpaksa meminta maaf dan meminta waktu untuk mengulang penjelasanku.
Franda membuka sesi tanya jawab setelah aku menyelesaikan presentasiku dengan baik dan lancar. Saat itulah Rama muncul di balik pintu ruang seminar, bersama Rasti. Damn! Konsentrasiku seketika buyar... buyar... buyar.
Mandeeeh... tolonglah anakmu ini.
Dari 25 orang peserta seminar Franda membagi dua sesi untuk tanya jawab. Sesi pertama memberi kesempatan untuk lima penanya. Dan sesi kedua untuk tiga penanya.
Tita selaku notulen mencatat semua pertanyaan dari peserta seminar. Moderator memberi waktu padaku lima belas menit mendiskusikan jawaban untuk lima pertanyaan di sesi tanya jawab pertama.
Dari tempat dudukku di depan ini dan letaknya lebih tinggi dari meja audience, aku bisa melihat mbak Rasti sedang mengajak Rama mengobrol. Aku sempat melirik dan mendapati keduanya seperti sedang bersenda gurau.
“Lo harus fokus! Awas aja kalau sampai ngulang. Gue kepret pala lo pakek proposal lo ini,” ancam Tita yang sangat peka pada kondisiku saat ini. Franda hanya meringis membayangkan proposal itu sampai di wajahku.
Akhirnya setelah berjuang melawan pergejolakan batin antara ingin nangis melihat Rama yang sedang bersenda gurau dengan Rasti dan mata dua dosen pembimbing yang mengintimidasi, aku pun bisa mengakhiri dua sesi tanya jawab dengan lancar jaya. Sesi tanya jawab ditutup, Tita sebagai notulen membacakan kesimpulan dari seminar proposal skripsi hari ini. Artinya seminar pun berakhir.
Ruang seminar sepi kemudian. Tinggal aku menghadap dua dosen pembimbing skripsi. Setelah mendapat pengarahan singkat, dua dosen itu setuju supaya mulai minggu depan aku sudah bisa melanjutkan mengerjakan bab empat dan seterusnya.
Keluar dari ruang seminar, aku tidak menemukan keberadaan Rama juga Rasti. Kata Franda mereka berdua pamit pulang dulu. Aku hanya bisa mendesah pasrah saja. Menengok ke ponsel, Rama tidak mengirimiku pesan apa pun yang menjelaskan kenapa dia pulang tanpa pamit padaku.
Untuk menghemat waktu liburku hari ini, aku memanfaatkan mengunjungi perpustkaan pusat mencari buku pedoman yang relevan terhadap judul skripsiku. Sedang menekuri rak-rak raksasa, ponselko bergetar sekali. Sebuan pesan WA dari Rama.
Uda Rama: sorry ya td duluan.msh ngantar rasti dulu.msh di kmpus ini?
Me: di perpus pusat
Uda Rama: aku susul ya?
Me: lg di dlm.Uda ngga ada ktm mana bisa msuk?
Uda Rama: selesein aja dulu. Gpp aku tunggu diluar aja sampe km selesai.
Me: oke
Mau bilang apa kalau sudah seperti ini? Lemah Upiak, uda...lemah. Ya, gimana, ya? Sudah terlanjur cinta sih, jadi terima saja anugerah ini. Selama aku masih punya kesempatan bersamanya, aku akan memanfaatkan momen itu dengan sebaik-baiknya.
Rama tidak telat kali ini. Dia sudah menungguku di sekitar gerbang utama perpustakaan pusat. Senyumnya mengembang saat melihat motorku keluar dari halaman parkir.
“Kirain nggak bawa motor,” ujarnya saat aku menghentikan laju motor tepat di sampingnya.
“Tita sama Franda masih mau bimbingan jadi beda tujuan kalau mau bonceng tiga.”
“Tetep aja kalian itu sukanya bonceng tiga gitu. Kayak cabe-cabean.”
Aku tertawa dengan sebutan Rama untukku dan dua sahabatku.
“Kamu mau ke mana habis ini?”
“Nggak ke mana-mana sih. Langsung balik ke kosan.”
“Makan yuk. Kamu tarok motor aja dulu di kosan trus kita barengan cari makannya.”
Aku menimbang, tidak langsung mengiyakan begitu saja ajakan Rama, seperti biasa. Namun bujuk rayu Rama selalu bisa meluluhkanku. Sekali anggukan dariku, Rama menyubit pipiku dengan gemas.
“Pipi kamu agak tirus deh. Jangan capek-capek ya, istirahat yang cukup, makan yang teratur, dan nggak boleh sakit. Oke!”
“Oke. Lets go, pak dokter,” ujarku menghindar secepat kilat dari hadapan Rama. Supaya dia tidak melihat pipiku yang telah bersemu merah muda saat ini.
Air es, mana air es??? Makin siang makin panas...
Rama setuju aku mengajaknya makan di sebuah rumah makan ayam geprek di sekitar jalan Kalimantan, kalau tidak salah letaknya di depan perbatasan kantor DPR dan kantor Pegadaian . Rama ini tidak pernah ribet kalau urusan makanan, apalagi makannya bersamaku. Katanya dulu, pokoknya untuk urusan perut kalau itu sudah rekomendasi dariku, dia pasti percaya dan mengikuti pilihanku. Pasti enak, begitu pemirsa ceritanya.
“Aku boleh tanya sesuatu nggak, Da?” tanyaku saat kami sudah menandaskan makanan di piring kami masing-masing. Sengaja aku melemparkan pertanyaan ini setelah perutku kenyang.
Cerdas kan gue?
“Tanya aja. Tumben banget pakek ijin segala.”
“Emm...emm....” Aku menggumam tidak jelas. Kenapa aku jadi gugup? Bukan berhadapan dengan Lee Min Ho ini. Astagaaaah, mau nanya apa tadi, sampai lupa saking gugupnya. Belaaa....
“Hei, mo nanya apa? Berat nih kayaknya, sampai bikin kamu mesti berpikir keras gitu?”
“Hubungan Uda Rama dengan mbak Rasti itu gimana? Maksudku apa kalian punya ikatan khusus? Pacaran mungkin?”
Rasanya aku ingin menampar mulutku pakai cabai keriting sekilo deh. Lancang banget melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu pada Rama.
Bae Suzy malu ini, maluuu. Pengen berendam air es deh rasanya.
Rama tertawa renyah lalu menarik pelan hidungku. “Kamu tuh, cuma mau nanya gitu aja pakek mikir berat. Beneran mau tau nih?” tanyanya dengan nada yang sumpah, ngeledek abis.
Aku memberengut lalu membuang muka darinya. “Ayo pulang, aku ingen boci hari ini. Mumpung libur.”
Tangan kokoh Rama menahan lenganku yang hendak meninggalkan kursiku, dia lalu memintaku untuk duduk kembali. Aku tiba-tiba deg-degan loh ini, sumpah.
Tatapan Rama berubah sendu, tangannya terlepas begitu saja setelah menyuruhku supaya duduk kembali. Entah beneran sendu atau aku saja yang terlalu mendramatisir keadaan. Ya, pokoknya beda lah tatapannya si Albarqi ini. Di wajah tampannya itu, seperti ada senyum-senyum canggungnya gitu loh. Ah... aku tidak mengerti cara menjelaskannya. Pokoknya dia mendadak awkward, canggung, salah tingkah trus nggak enakan gitu sama aku. Buat apa coba dia bersikap gitu. Aneh.
“Duduk dulu ya. Ada yang mau aku jelasin sama kamu.”
Alarm tanda bahaya di otakku berbunyi nyaring. Alarm pertanda aku bakal nangis setelah ini. Jantungku berpacu dengan embusan napasku. Menunggu dengan waswas penjelasan dari Rama.
“Jelasin apa?” tanyaku dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Aku menyesal kenapa nekat memberi pertanyaan itu tanpa persiapan matang sebelumnya.
“Aku lagi deket sama Rasti-”
Rama tidak melanjutkan ucapannya. Dia menundukkan kepalanya. Ada apa ini?
“Lanjutkan, Da.”
“Tapi belum jadian. Kami baru pendekatan. Sebagai sahabatku dan orang yang paling dekat denganku, aku butuh pendapat kamu dulu,” jawab Rama.
Terlihat sebuah senyum tertahan di wajah Rama saat mengatakan kaimat paling menusuk relung hati yang tidak aku mengerti makna dari senyum tertahan itu.
Apa katanya tadi? Bisa tolong diulang enggak? Oke tidak perlu. Aku sudah paham maksudnya apa. Aku membisu, lalu tersenyum dan hanya sanggup berkata, “oh kirain ada apa. Ya tinggal ikutin kata hati Uda aja, kalau sudah nyangkut soal perasaan aku nggak bisa kasih masukan banyak.”
See.... sok bijak banget sih gue.
Hei! hello... Apa kabar hati kecil kamu sendiri sekarang??? Kalau dia punya mulut pasti sudah menyumpahimu habis-habisan saat ini. Rutuk dewi batin di sudut hati kecilku.
Dan Rama hanya menanggapi dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ambigu banget sikapnya. Ekspresinya itu seolah menunjukkan dia kurang puas dengan jawabanku. Ekspresinya Rama itu seolah mengatakan, ‘bukan jawaban itu yang aku mau dengar dari kamu’.
Tidak kuat Hayati kalau Zainudin seperti ini terus. Bendera putih aku kibarkan. Pembicaraan ini cukup kita akhiri sampai di sini. Sekian dan terima gaji. Bye....
~~~
^vee^