Part 6

1531 Kata
“Tiga perkara, yang barang siapa memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakan ke dalam api neraka.” (H.R. Bukhari-Muslim) **** Setelah satu minggu yang lalu ketahuan membohongi sang suami--Rayhan, Adela nampaknya tak merasa jera dan bersalah sedikitpun. Kini wanita bar-bar itu kembali memikirkan alasan apa yang harus dia siapkan agar sang suami memberikan izin untuknya ke Bandung bersama Zafina. Bukan hanya agar, tetapi memang harus mengizinkannya. Adela tidak suka dibatasi, dan Rayhan selalu melakukan hal itu--rasa kesal dan tidak suka Adela dengan sikap Rayhan pun semakin menjadi-jadi. Tebakannya waktu itu benar, Rayhan tipikal seorang pria yang mempunyai banyak aturan. Tidak boleh melakukan ini dan itu. Adela yang sejatinya tidak kenal aturan itu pun sering kali menjadi penyebab pertengkaran di antara mereka. Untung saja Rayhan mempunyai kesabaran--yang entah sebesar apa, hingga mampu menghadapi sikap Adela yang keras dan tak terbantah. Kalau kata mbok Jum Rayhan itu seribu satu pria--yang artinya hanya ada satu di antara seribu pria. Ah ... Adela kembali sebal mengingat itu. Seperti malam ini, Rayhan kembali membuat emosinya tersulut. Pria itu meminta Adela memasak nasi goreng untuknya. Bukan ... kedengarannya bukan seperti meminta, tetapi lebih ke--memaksa. Awalnya Adela menolak, dan meminta agar mbok Jum saja yang melakukannya. Tetapi Rayhan juga melakukan hal yang sama seperti Adela--menolak. Sebenarnya bisa saja Rayhan meminta mbok Jum membuatkannya, namun nampaknya Rayhan sangat ingin mencicipi rasa masakan yang dimasak langsung oleh Adela. Bagi Rayhan, memakan masakan istri itu dapat menambah rasa sayang dan cinta. Adela menyeka keringat yang membasahi daerah pelipisnya. Ini yang pertama kalinya dia membuat nasi goreng. Entah bagaimana rasanya nanti. Biarkan saja, dimakan atau tidak Adela tidak terlalu memperdulikannya. Akan terdengar lebih baik jika sang suami itu tidak menyukai makanannya. Adela tidak ingin Rayhan ketagihan dan ingin selalu minta dimasakkan olehnya. Satu piring nasi goreng sudah siap, ditambah telur ceplok di atasnya. Rayhan yang sedari tadi memperhatikan gerakan sang istri melebarkan senyumnya, kemudian meminta Adela untuk duduk di sampingnya--menemani dirinya makan. "Jangan banyak mau deh, Pak Ustadz yang reseknya naudzubillah!" sungutnya kesal. "Aku mau ke kamar aja," lanjutnya setengah mendesis. Ketika hendak melangkah, Rayhan segera menahannya. "Sebentar aja. Sini duduk!" "Di rumah ini gak ada hantunya, gak usah takut makan sendirian." Adela terpaksa duduk, Rayhan memaksanya namun masih dalam kelembutan khas pria itu. Rayhan tersenyum, kemudian menyendok nasi gorengnya. Memakannya dengan ekspresi senang. "Kamu mau mencobanya?" "Gak!" "Apa enak?" tanya Adela dalam hati. "Orang ngeselin kayak kamu gini bagusnya dibikin bolak-balik masuk WC!" lanjutnya terdengar seperti setan yang begitu jahat. "Enak. Besok bikinin yang kayak gini lagi, ya?" Adela melebarkan matanya. "Gak!" tolaknya mentah-mentah. Rayhan manggut-manggut saja untuk mengiyakannya. Tidak enak berdebat saat menghadapi rezeki, pikir Rayhan. Adela menopang dagu, menunggu Rayhan menghabiskan makanannya bagai menunggu giliran mengantre minyak tanah--lama dan membosankan. "Makannya dicepetin dikit dong. Aku mau ke kamar," katanya terdengar tidak sabaran. Adela bosan terus-terusan menunggu. Rayhan tersenyum kepada Adela ketika dia sudah menghabiskan makanannya. Masakan Adela cukup enak, ya walaupun dia akui nasi goreng itu sedikit hambar. Tetapi tidak menjadi masalah untuk Rayhan, pria itu tetap menikmatinya dengan riang gembira. Tanpa aba-aba, Rayhan meraih tangan Adela dan mencium telapak tangan wanita itu. Adela terkejut--matanya melebar. "Terimakasih, malam ini kamu sudah membuatkan saya nasi goreng." Ketika sadar akan lamunannya--beberapa saat setelah kecupan itu, Adela segera menarik tangannya dari genggaman Rayhan. Tanpa mengucapkan 'sama-sama' atau kata pemanis lainnya, Adela beranjak menuju kamarnya. Rayhan hanya terkekeh, kadar kecantikan Adela bertambah ketika pipinya sedang merona seperti tadi. Apa kecupan itu adalah kecupan pertamanya? **** "Sini duduk, saya ingin bercerita sebentar." Rayhan menepuk kasur sebelah sisinya. Adela memutar bola matanya jengah. "Gak. Aku ngantuk." "Yakin gak mau dengar cerita saya?" Adela menaikkan sebelah alisnya. "Cerita apaan, sih? Pasti ceramah lagi, aku tuh bosan diceramahin setiap hari!" dengusnya. Rayhan menghela napas, kemudian menggelengkan kepala, heran. Setan apa yang sedang menguasai diri istrinya tersebut? "Astaghfirullah," gumamnya tanpa terdengar oleh Adela. "Saya rasa kamu penasaran. Sini duduk, sebentar saja." "Oke, oke!" akhirnya--Adela malas berdebat. "Awas aja kalau gak penting." Rayhan terkekeh. Itulah Adela, senang sekali mengancam dirinya. Tapi itu juga yang membuat Rayhan gemas dan semakin mencintai Adela. "Cerita saya ada judulnya--" "n****+?" "Dengerin dulu." "Ya sudah. Lanjutin." "Kisah lelaki sholeh menikahi wanita yang ternyata telah hamil duluan." Adela menautkan alisnya. Entah kenapa, ketika mendengar itu jiwa penasarannya meronta-meronta. Bodoh memang. "Seperti judulnya, ada seorang lelaki sholeh menikahi wanita yang ternyata telah hamil duluan sebelum menikah dengannya. Lelaki sholeh itu begitu mencintai dan menyayangi wanita itu, dan akhirnya mereka menikah. Ketika malam pertama, wanita itu merasa ada beban. Beban yang membuat dirinya gelisah. Gelisah antara ingin menceritakan perihal kehamilannya atau tidak." Rayhan menjeda ceritanya, melirik Adela yang seperti begitu menikmati dan penasaran dengan ceritanya. "Kenapa berhenti, lanjutin dong!" rajuknya mulai kesal campur penasaran. Rayhan terkekeh. "Pada malam pertama itu--setelah memikirkannya matang-matang, wanita itu akhirnya memilih menceritakan saja semuanya daripada menanggung beban yang membuatnya gelisah berkepanjangan. Mumpung masih baru, kalau nantinya sang suami tersebut memilih menceraikannya maka dia akan menerima dengan berlapang d**a. Sebab itu adalah kesalahan dirinya. Kata wanita itu, "Bang ... saya pengen ngomong nih sama Abang. Sebenarnya saya sudah hamil duluan sama orang lain."--tentu saja sang suami terkejut, tetapi tetap menunjukkan sikap yang biasa saja. Agar wanita itu tidak semakin merasa bersalah. "Tapi saya tobat, Bang, saya tidak mau lagi, saya bener-bener pengen hijrah ... dan lain sebagainya." Lelaki sholeh itu tersenyum, kemudian dengan tenang dia berkata, "Ya sudah. Kamu benar-benar bertobat karena Allah SWT ... saya pantau, sungguh-sungguh kamu bertobat, saya terima."--mata wanita itu berkaca-kaca, beruntung sekali wanita seperti dirinya mendapatkan lelaki sholeh seperti suaminya itu." "Terus nanti bagaimana, Bang?" "Jadi begini, anak kamu kan bukan anak saya. Kalau anak tuh nanti lahir perempuan berabe, kalau nanti sudah gedhe dan dia ingin menikahi saya, namun tiba-tiba saya tidak mau menikahkannya, hal ini akan menjadi tanda tanya bagi orang-orang, akan jadi masalah. Aib kamu terbuka. Begini saja ... supaya nanti untuk pernikahannya baik-baik saja, aib serta nama baik kamu dan anak kamu terjaga, nanti kalau sudah dekat bulan mau lahiran jangan keluar rumah. Kita urusin di rumah sama-sama. Saya yang akan mengurus kamu." Adela menyeka air matanya yang entah sejak kapan mengalir. Rayhan tersenyum hangat, mengusap puncak kepala Adela. "Kamu tahu, ketika wanita itu lahiran anaknya apa?" Adela menggeleng. "Perempuan." Adela melebarkan matanya. "Terus, terus?" Rayhan kembali melanjutkan ceritanya, "Wanita itu bener-bener berubah, menjadi wanita yang lebih baik, istiqomah, dan beribadahnya bener-bener mantap kepada Allah sampai pada anak itu lahir ke dunia. Sekitar jam dua malam--ketika tidak ada orang, lelaki sholeh itu membawa anak yang baru lahir tadi, meletakkannya di depan masjid, kemudian meninggalkannya di sana seperti mana yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Jadi seolah-olah anak itu ada yang membuang." "Begitu subuh, orang-orang mau sholat kaget. Ada anak nih, ada anak. Ramai sekali orang-orang untuk melihat itu anak. Si lelaki sholeh tadi sengaja datangnya belakangan. Terus ditanya sama dia, ada apa nih ... ada apa. Kata orang di sana, ini ada anak, tidak tahu anak siapa. Tau-tau sudah ada di depan sini dan menangis. Kemudian lelaki sholeh itu berkata seperti ini, "Ya sudah, ini anak kan tidak ada Bapaknya ... saksikan ya semuanya, anak ini saya pungut. Biar saya yang ambil." Itu si istrinya melihat sang suami seperti itu girangnya ... Masya Allah baik banget nih suami. Melihat itu dia makin istiqomah, ibadahnya lebih sungguh-sungguh." "Dan ... si lelaki sholeh tadi punya teman. Temannya itu mimpi Rasulullah SAW, dan di dalam mimpinya itu Rasulullah berkata, "Teman kamu ... bersama saya di surga." "Ada apa ya Rasulullah dia bisa bersama engkau di surga?" "Karena dia telah menyelamatkan satu umat. Istrinya tobat, menjadi lebih baik, istiqomah ... bisa dia mengorbankan perasaan demi menyelamatkan satu umat ana ke dalam surga. Ana tidak bakal lupa dengan lelaki sholeh itu." Rayhan telah menyelesaikan ceritanya. Menoleh ke arah Adela yang juga tengah menatap ke arahnya. "Kenapa berhenti, terusin lagi." Senyum Rayhan mengembang. "Sudah selesai ceritanya. Lelaki sholeh itu masuk surga bersama baginda nabi Muhammad SAW." Kemudian mengusap jejak sisa air mata yang masih membasahi pipi Adela. "Sedih banget. Aku terharu." Rayhan kembali terkekeh. "Ohh ... terharu. Kelihatannya menikmati banget sama ceritanya. Padahal tadi katanya tidak mau mendengar cerita saya." Entah kenapa, mendengar sindiran itu suasana hati Adela yang awalnya sedih, berubah kesal. "Sekali ngeselin, tetap ngeselin!" Dengan memukul paha Rayhan. Tangan Rayhan mengusap puncak kepala Adela lagi--sedikit gemas. "Nanti kita bercerita lagi. Sekarang waktunya tidur. Tidak terasa ... ternyata sudah jam sepuluh." Adela mengangguk. Ketika sama-sama merubah posisinya--berbaring, Adela ingat akan sesuatu yang belum dia tanyakan pada sang suami. "Mas Rayhan, aku mau nanya. Boleh gak?" Mas Rayhan? Kedua sudut bibir Rayhan terangkat membentuk sebuah senyuman. "Tentu saja boleh. Nanya apa?" "Kata Zafina, istri tidur membelakangi suami itu berdosa. Apa iya?" Rayhan menaikkan sebelah alisnya, kemudian tertawa. "Dih, ngeselin lagi kan. Aku nanya serius." "Rugi, kan lebih enak meluk suami." Adela melebarkan matanya, kemudian mencibir. "Nyesel aku nanya sama kamu!" rajuknya dengan memajukan bibir. "Sudah ah, aku mau tidur." **** TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA RAYHAN DAN ADELA. Semoga part ini menyenangkan:) Cerita di atas ada dalam kitab--aku lupa namanya, yang diceritakan dalam ceramahnya oleh Al-Habib Muhammad bin Alwi Al Haddad. Salam manis, Novi❤
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN