Tak Terduga

1684 Kata
"Bodoh!!" Daniel Wijaya mengumpat keras ketika Rifan Atmaja mendatanginya dan memberitahu kepergian Femy membawa serta Anjani. Rifan sendiri bahkan tidak tahu kalau putrinya membuat rencana seperti ini. David hanya duduk di sofa ruangan kerja dirumahnya itu, ralat, rumah hasil rampasan papanya dari Jordy Putra Atmaja. Pria muda yang bergerak sebagai pion kedua rival bengis itu mengulas smirk di sudut bibirnya. Hebat sekali para gadis itu. Sudah bisa dipastikan kalau pekerjaannya akan bertambah lagi. "Kau jangan hanya menyalahkanku! Ini diluar kendaliku! Salah siapa anakmu selalu mengacuhkan anakku sampai dia nekat seperti ini! Coba kalau hubungan mereka baik, putriku pasti bisa mengikuti setiap kemauan kita!" Pembelaan Rifan tak kalah sengit. David melirik sekilas. Menggerutu dalam hati karena pengkhianat keluarga Atmaja itu bisa membuat pernyataan menjijikkan tentangnya. Sungguh, dia hanya ingin pergi dari sini. Ke suatu tempat yang tidak akan berurusan dengan kedua pria tua itu lagi. Menyusul Anjani mungkin, menikahi gadis itu dan mendapat keluarga yang bahagia berdua. Rasanya mimpi itu hanyalah sebuah oasis. "Putraku sudah melakukan tugasnya dengan baik sekalipun terkadang ceroboh. Setidaknya dia mengerti apa yang aku katakan. Putrimu itu memang gadis yang arogan. Sedikit saja, tidak bisa untuk bersabar. Ini kondisi yang sangat rumit sekali!" Daniel kembali mengulas kekesalannya. Rifan yang merasa putrinya dihina oleh orang yang sudah ia bantu, membuat pria yang sudah berusia kepala lima itu mendidih," Hai Daniel! Sedikitlah berterimakasih padaku! Ini semua sudah diluar rencana awal kita. Bahkan kau menjalankan rencanamu sendiri! Kenapa hah?! Apa kau mau putramu itu menikahi gadis itu dan meraup keuntungan sendiri dengan menguasai sisa kekayaan kakakku hah!!" Daniel tertawa. Malah terbahak-bahak. Namun seketika raut wajahnya berubah antagonis. Aura dingin dan membunuh nampak pada pria yang selama ini menjadi benalu bagi Rifan itu. "Jangan sembarang bicara kau! Semua masih sesuai yang kita mau. Perlu kau ingat, jika gadis itu mengetahui segalanya, yang pertama dia bunuh adalah kau bukan aku." Rifan membolakan matanya. Dia jelas terkejut dengan penuturan Daniel. Kini otaknya kembali bergulir memikirkan banyak hal. Selama ini Daniel memang tidak berperan langsung. Entah saat kecelakaan itu, maupun ketika menyekap Anjani kecil. Namun pria itu adalah sumber segala tindakan yang mereka lakukan selama ini. Oh tidak, Rifan menghela napasnya. Mengatur kembali pasokan udara yang sempat tersendat. Setelah itu dia mengulas smirk di bibirnya. "Aku memang sama bejatnya denganmu. Tapi secara hukum, aku tetaplah paman gadis itu. Dan sekarang putriku sudah membantunya, jadi gadis itu tentu berpikir siapa yang akan berada di pihaknya, bukan!" Rifan membalas intimidasi yang Daniel berikan. Daniel menggeram, "Katakan?! Kau mau kita menjadi lawan mulai sekarang!" Keduanya masih bersitegang. Saling menyodorkan mana yang akan memegang piala 'bersalah' lebih banyak. Kalau dilihat keduanya sama saja. Seimbang. Yang satu adalah orang asing yang sudah diberi bantuan oleh keluarga Anjani tapi malah menjadi pengkhianat karena ingin berkuasa. Dan satunya lagi adalah benalu yang terobsesi karena persaingan. Semua alasan itu terdengar menyedihkan. Dan bagusnya dulu Jordy Atmaja tidak menyadarinya. David mulai jengah dengan situasi ini. Kedua tua bangka itu selalu merasa masih benar meski seluruh tubuh mereka sudah berlumur noda lumpur tanah rawa sekalipun. Sudah bau dan kotor, tapi masih membela diri dan ingin terlihat tetap bersih. Dia bangkit dari duduknya dan hendak pergi. "Mau kemana kamu!" Daniel menyergah langkah David. "Aku butuh udara segar, Pa. Kalian lanjutkan saja pertengkaran ini" setelah itu David kembali melangkah. Menutup pintu ruang kerja papanya dengan sedikit hentakan karena rasa kesal yang merundung. **** Desta duduk dengan mata terpejam. Pikiran kalut dan penat bersatu membuat kepalanya kembali berdenyut. Makanan maupun minuman tidak lagi bisa mengobati rasa sakitnya. "Mau minum obatnya lagi bos?" Ricko yang ikut serta dalam perjalanan menggunakan jet pribadi keluarga Barack itu sudah beberapa kali menawarkan obat untuk Desta. Namun pria itu masih saja menolak apapun bahkan dengan setia menikmati nyeri di kepalanya. Ricko yang tadinya tidak ingin ikut pun akhirnya menurut saat Desta meminta karena besok adalah weekend. Bagaimanapun Ricko adalah orang yang tepat untuk diandalkan dalam segala situasi. "Berapa lama lagi kita akan sampai?" Desta bertanya masih dalam mata yang terpejam. Rasa dingin juga menemani meski di dalam jet yang dilengkapi segala teknologi terkini itu sudah diatur suhu udaranya. Bukan karena udara, tapi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja. "Tiga puluh menit lagi bos. Anda tidur saja, akan saya bangunkan kalau sudah sampai," ujar Ricko dari kursi yang berhadapan dengan kursi Desta. "Baiklah, terima kasih. Aku ke kamar dulu," Desta membuka mata lalu beranjak memasuki kamar tidurnya. Ya, pesawat itu juga dilengkapi kamar tidur, tidak lupa dapur dan kamar mandi. Serta ruang duduk yang bisa digunakan juga untuk pertemuan jika sedang diperlukan. Ini membuktikan betapa keluarga Barack tidak bisa diremehkan. Sampai di London Heathrow yang ramai meski hari sudah gelap. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Inggris membuat mereka sampai disana saat matahari masih terkurung gelap. Disambut sebuah Rolls Royce Phantom berwarna silver, Desta masuk di kursi penumpang sementara Ricko duduk di kursi sebelah sopir. Bukan ke rumah dulu tapi Desta langsung menginterupsi untuk segera menuju The Gordon Hospital. Langkah besar Desta berhenti ketika ia melihat Gina dan seorang gadis lainnya di ruang tunggu sebuah ICU. Desta dan Ricko masuk. Lewat pembatas kaca, mata Desta disuguhkan pemandangan yang sekali lagi mengiris hatinya. Anjani terkulai lemah disana. Gina yang terbangun karena tepukan dan sapaan lembut Ricko, mencoba mengumpulkan sisa nyawa yang tersisa. Merasa ada pergerakan, gadis di sebelah Gina yang sedari tadi menemani tidur disana ikut terbangun. Gadis itu terkejut ketika melihat ada dua pria tampan di depannya. Satu sedang fokus mengawasi Anjani, dan satu lagi sudah menyodorkan air minum untuk mereka. Desta merasa pelupuk matanya perih. Ingin kondisi ini segera berakhir agar Anjani tidak harus mengalami hal yang menyakitkan seperti ini. Namun kenyataan memang selalu tak terduga. Semuanya tidak selalu dibawah kendali. Sakit, sedih, tetap harus ditanggung meski si pemilik peran tidak bersedia. Desta mengalihkan pandangan pada dua gadis yang tadi tertidur. Siapa yang berada di sebelah Gina? Desta seperti pernah melihat wajahnya. "Kalian sudah lama datang?" Hal pertama yang Gina tanyakan. Desta diam. Melihat atasannya seperti itu Ricko berinisiatif membalas," Belum Gin. Baru beberapa menit." Gina bangkit dan mendekati Desta," Saat aku datang kondisinya sudah seperti ini. Sampai sekarang juga masih sama. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada yang bisa kuminta kesini baik kau maupun kak Fredy. Aku dan Femy hanya menunggu Anjani bangun sesuai instruksi dokter," Gina mencoba menjawab dengan tenang meski raut wajah pria disampingnya tidak bisa terlihat tenang. Desta baru ingat. Femy, putri Rifan Atmaja. Rupanya dia harus bertemu dengan gadis-anak pembunuh itu disini. Dan apa yang dialami Anjani pasti ada kaitannya dengan gadis itu. Desta memalingkan tatapannya pada Femy. Ditatap dengan lekat seketika membuat Femy terpaku. Diamnya bukan karena kagum, tapi lebih kepada takut. Tatapan pria yang sejak kedatangannya hanya fokus pada Anjani itu menghunus seakan menyisir setiap memori Femy dari pupil kecilnya sendiri. "Kau, Femy Riani Atmaja?" Ucap Desta dengan nada dingin khasnya. Femy kembali terkejut. Pria ini, mengenalnya. Apa dia juga tahu segala sesuatu tentang dirinya? Pikiran gadis itu seakan bertepuk tangan. Pantas saja Papa dan Daniel sulit menyentuh Anjani bahkan dengan bantuan David sekalipun. Rupanya pria seperti ini yang selalu berada melindungi gadis itu. "Iya, kau Desta Barack kan?" Femy hanya ingin menegaskan sekalipun dia sudah tahu. Desta hanya berdeham kecil. Sungguh ini perkenalan yang tidak di inginkannya. "Apa yang terjadi sampai Anjani tak sadarkan diri?" "Itu..." Femy bingung menjelaskan. Gina dan Ricko ikut mengawasi mimik wajah Femy. Mungkin gadis itu bingung akan memulai dari mana. "Katakan saja. Aku punya banyak waktu untuk mendengar semua ceritamu," Desta memutar badannya kembali mengarah dimana Anjani sedang tertidur. Namun indera pendengarnya tetap tertuju pada apa yang akan Femy sampaikan. "Dia sudah tahu semuanya. Aku tidak tahu kalau kondisinya seperti ini. Aku pikir dengan memberitahu Anjani semua akan lebih jelas dan 'mereka' tidak mengejarnya lagi. Ternyata malah membuat--" ucapan Femy terhenti saat Desta kembali menatapnya. Kali ini tatapan itu lebih tajam dan diliputi amarah. Ricko yang melihat reaksi yang ditunjukkan Desta berniat menenangkan kondisi takut kalau pria yang masih diliputi patah hati itu berulah. Namun sekejap mata tangan Desta terangkat sebelah menandakan Ricko harus diam. Itu cukup membuat Ricko dan Gina berjingkat karena terkejut atas yang dilakukan Desta. Tak aral Femy yang disergah. Gadis itu bahkan sudah mengerutkan pundaknya. "Apa kau tahu bagaimana dia menahan sakit setiap mengingat memorinya terdahulu?! Dan itu semua karena ayahmu!" Benar saja Desta kini sudah meledak. Femy yang merasa dijadikan tersangka kini hanya bisa menunduk takut. Gina menghampiri gadis itu dan meraihnya dalam rangkulan. "Tenang Des. Femy hanya ingin membantu Anjani, kau harus tenang. Anjani masih dalam masa kritis. Kesehatan Jani lebih penting untuk sekarang." Gina tidak tahu harus bagaimana tetapi meladeni amarah Desta itu juga bukan pilihan yang tepat mengingat seberapa emosional pria itu jika sudah menyangkut Anjani. "Maaf..." terdengar lirih bersama isakan yang meredam suara itu hampir tak terdengar. Femy masuk dalam rengkuhan Gina dan menangis disana. Ricko mencoba menenangkan Desta. Selain masih sakit bos nya juga masih patah hati. Jadi sebisa mungkin meredakan amarah adalah hal yang harus dilakukan terlebih dulu. "Rick, antar mereka ke rumah. Dan sampaikan pada papa tentang hal ini. Pastikan kedua b******n itu tidak bisa menyentuh mereka apalagi Anjani. Aku mau pengawalan ketat di rumah sakit sampai Anjani bisa dibawa pulang," Desta yang sudah mulai bisa berpikir dingin kembali pada mode perintah. Ricko menghela napas. Dia pasti akan sibuk setelah ini. Gina yang merasa bukan lunta-lunta berniat pulang sendiri ke rumah orang tuanya," Tidak perlu Des. Aku dan Femy bisa pulang sendiri ke tempat tinggal kami." "Lalu membiarkan kalian dalam bahaya begitu?! Apalagi kalau sampai kedua b******n itu menyentuh keluargamu juga?! Kau pikir apa mereka akan diam saja setelah apa yang dilakukan Femy sekarang!" Kembali Desta dengan ucapan pedasnya. Gina diam, Desta benar juga. Sementara Femy yang sudah berhenti dengan isakannya mendongakkan wajah memandang Desta. Desta masih memikirkan keselamatannya meskipun posisinya kini tidak bisa dianggap sepenuhnya benar. Betapa Anjani beruntung dicintai pria seperti Desta. Ricko mengangguk paham. Rumah yang bos nya maksud adalah rumah pribadinya. Sekalipun kediaman Tuan Barack juga ada tapi Desta lebih memilih rumahnya sendiri. Ternyata dia juga harus bertamu pada pria tua kesayangan bos nya itu. Alih-alih ingin bersilaturahmi namun sebenarnya bermaksud menyampaikan kalau pria itu akan mendapatkan menantu sebentar lagi. Ricko meledek pemikirannya sendiri.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN