BAB 11 B

1474 Kata
TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN 11 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Tanpa berpikir panjang, Lian mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir sang wanita. Mayasha hanya menerima, nalurinya belum siap membalas perlakuan Lian saat ini. Akalnya masih syok mendengar penuturan pria yang masih terus melumat bibirnya lembut. Lian terus berusaha mengecup kuncup bibir itu hingga Mayasha mau membalasnya. Merasakan kesabaran Lian berusaha membangkitkan gelora seorang Mayasha untuk cinta, hatinya mulai melemah. Perlahan, dirinya mulai menerima dan membalas setiap kecupan bahkan lumatan lembut dari bibir sang pria. Kedua mata yang sejak tadi berembun langsung menitikan air mata saat Mayasha memejamkan matanya. Biarlah kali ini hatinya egois menginginkan Lian memberinya cinta yang tanpa batas. Ada satu keyakinan kalau Lian akan menemani perjuangan ini hingga akhir. Seandainya saja hubungan harus kalah karena keadaan, Mayasha tidak akan menyesal. Setidaknya ia sudah berjuang untuk mengikuti apa kata hati. Lian yang merasakan tetesan air mata, memilih menarik diri sejenak untuk menghapus air mata yang membasahi pipi. Bukan dengan tangannya, melainkan dengan bibirnya. Diciumnya lembut bekas air mata hingga sampai ke kelopak mata, lalu turun kembali hingga menemukan tempat yang tadi terlepas. Mendapat perlakuan Lian yang seakan menghormatinya meski dirinya hanya seenggok sam-pah, Mayasha tidak ragu untuk membalas kecupan Lian. Bahkan hatinya mulai menginginkan lebih. Perlahan Lian melepas tusuk konde yang melilit rambut Mayasha dan meletakkannya di sisi meja. Rambut panjangnya kini tergerai bebas sepanjang d**a. Sesekali tangannya membenahi anak rambut yang menghalangi setiap gerak lembut sentuhannya. Tangan Lian bahkan menarik pinggang Mayasha lebih erat agar jarak bertambah dekat. Inilah momen pertama Mayasha menerima tamu dengan kesadaran hatinya. Di mana dirinya bisa memberikan seluruh pelayanan dengan hati. Selama ini ia hanya menerima semua tamu dengan iming-iming imbalan tanpa memikirkan perasaan. Rasa lelah yang merenggut raga langsung hilang saat keduanya saling bicara tentang cinta lewat bahasa tubuh. Lian memberanikan diri melepas kardigan yang membalut tubuh wanita di pelukannya tanpa melepas kecupan sedetik pun, lalu meraba tangannya dari ujung hingga kembali ke leher. Lian merasakan tubuh Mayasha membusung, hingga membuat rungunya mendengar debar jantung lewat dadanya yang naik turun. Kepalanya terus memberi petunjuk untuk memberikan segalanya, tetapi akal menghentikannya. Menyadari hal itu, Lian menyudahi semuanya. Ia tidak mau mengambil dengan cara yang sama seperti tamu lainnya. Walau mungkin bukan dirinya yang pertama, tetapi Lian ingin memberi kesan pertama dalam meneguk madu cinta dengan keadaan yang seharusnya, yakni pernikahan. Mayasha membuka kedua matanya ketika gerak Lian berhenti di pertengahan jalan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Jika itu orang lain mungkin saat ini sudah berada di tempat yang lebih mewah dari rumahnya dan jauh dari jangkauan. Sedangkan bersama Lian, ia berani berdiam diri di rumah tanpa menghiraukan anggapan tetangga. Karena selama bersamanya, Lian hanya menyentuh bibirnya, tidak lebih. Itulah yang membuat hatinya tersentuh. Lian mampu menahan dadanya yang bergemuruh dihantam puluhan pikiran kotor. Lian mengusap pipi lembut wanita yang menatapnya aneh. Sebagai lelaki normal, Lian paham kalau Mayasha tidak menolak untuk melakukan hal yang lebih jauh. "Maaf ...." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Lian, lalu kembali duduk dengan jarak dekat. Mayasha pun ikut duduk di sebelah pria yang berhasil menjerat sisi hatinya. Kepalanya masih belum mengerti kenapa Lian tidak melanjutkan hal yang memang diinginkan semua tamu. "Kenapa minta maaf? Bukankah ini memang bagian dari pekerjaanku? Kau tidak perlu merasa bersalah," jawab Mayasha sembari mengikat rambutnya. Melihat leher jenjang Mayasha, Lian sengaja mengambil kardigan di sebelahnya dan mengulurkannya pada wanita yang baru selesai mengikat rambut. "Pakailah. Nanti kau sakit. Lain kali jangan pakai gituan. Kau tidak pernah tahu bagaimana pria berpikir ketika melihat belahan da-damu," ucap Lian dengan tatapan peduli. Mayasha memakai kardigan dengan wajah tersipu malu. "Makasih. Apa sikapmu selalu begitu pada wanitamu?" tanyanya setelah merapatkan kardigan agar menutupi d**a. Lian tertawa mendapat pertanyaan seperti itu. "Saya akui, kalau saya juga baji-ngan. Tapi saya bisa memperlakukan wanita sesuai naluri. Maka dari itu, pikirkanlah untuk berjuang bersamaku. Bahkan kalau kau bersedia, saya ingin menjadi tamu satu-satunya untukmu. Saya tidak peduli masa lalumu, selama hati dan nuranimu masih ada. Karena saya tahu, masa depan adalah milik semua orang. Termasuk kita," jelas Lian sembari beranjak berdiri. Membuat Mayasha ikut berdiri mengimbangi Lian. "Kau mau ke mana? Kenapa berdiri?" tanya Mayasha bingung. Setelah bercerita banyak hal ia malah ingin pergi sebelum menikmati suguhan. "Saya harus pulang. Saya akan beri kau waktu untuk berpikir. Kalau bersedia, maka jadikan saya tamu satu-satunya. Saya ingin hanya satu orang yang menikmati tubuhmu, yaitu saya," jawabnya penuh penekanan pada kata 'saya.' Mayasha hanya bisa terdiam. Ini adalah keputusan besar yang akan mengubah hidupnya untuk jangka panjang. Melihat wanita di depannya mematung, Lian membawanya dalam dekapan dan memeluknya erat. Tangannya mengelus lembut kepalanya. Setelah merasa cukup, Lian mengambil jarak dan benar-benar pergi dari hadapan. Namun, sebelum pintu terbuka, Mayasha kembali memeluk pria yang memang sejak awal telah menawan hatinya. Lian membalas pelukan itu dengan senang hati. Dirinya tahu benar kalau hati keduanya memang memiliki dentuman yang sama. "Saya ... em, aku akan selalu mengirim kamu pesan. Bahkan kalau perlu akan meneleponmu setiap ada waktu. I love you, May ...," bisik Lian tepat di telinga. Mayasha tidak menjawab ungkapan cinta Lian. Namun, ketika pelukan terurai, Mayasha berjinjit, menumpu kedua tangan pada d**a bidang sang pria lalu mengecup bibirnya beberapa detik. Gejo-lak yang sudah tertidur kini kembali bangkit mendapati Mayasha menyalakan api asmara. Lian kembali membalas dengan lumatan lembut dan cepat. Mayasha mengalungkan kedua tangannya di leher Lian, membuat Lian semakin erat memeluk pinggang ramping sang wanita. Lima menit berlalu ciu-man itu akhirnya usai. Lian tersenyum menatap wajah yang beberapa hari ini menghiasi harinya. Ibu jarinya mengusap bibir Mayasha yang masih terasa hangat dan lembut. "Aku pulang ya? Ada saatnya nanti kita menikmati malam penuh kehangatan. Tapi untuk malam ini cukup sampai di sini. Aku menunggu jawabanmu," pamit Lian sambil mengecup kening Mayasha sebelum membuka pintu dan menghilang. Sebagai wanita yang pernah jatuh cinta dan patah hati, Mayasha bisa merasakan kalau rasa yang ditawarkan Lian itu tidak biasa. Apalagi keadaan hati pernah terluka karena tragedi yang sama. Ia bersyukur kedatangan Lian tidak membahas kejadian tadi siang di swalayan. Setelah pertemuan kedua, mungkin semuanya terlihat jelas hubungan apa yang ingin dijalani. Mayasha bisa bernapas lega karena Lian bukan pria penuntut. Rasa itu sebenarnya sudah ada sejak pertama melihatnya, hanya hatinya yang menolak untuk mengatakan terjebak pada pandangan pertama. Malam ini bisa dipastikan mereka akan tidur beralaskan rindu hingga dipertemukan dalam mimpi indah. ~~ Ketika ada pasangan berselimut luka berbalut cinta, di tempat lain ada pasangan mengalaskan cinta di atas luka. Marvin dan Keya tengah mencoba berjalan menjalani hubungan di atas luka orang lain. Harapan untuk bahagia tanpa bayang dosa masih seperti mimpi. Karena pertemuan siang tadi dengan Yesha akan menjadi teror setiap malamnya. Selama perjalanan pulang kerja, Keya terus menimbang antara bercerita atau tidak. Akan tetapi, mengingat semua ucapan Marvin saat mengajaknya menikah memaksa akalnya untuk jujur pada diri sendiri dan Marvin. Sudah menjadi keputusan untuk menghadapi semua penyesalan bersama-sama. Keya menatap lampu-lampu di pinggir jalan, dirinya tidak ubahnya seperti mereka yang hanya berdiri mematung tanpa tahu arti keberadaannya. Dirinya tidak pernah tahu apakah hadirnya menerangi atau justru menggelapkan sekitar. Tanpa terasa, Marvin sudah membawa Keya sampai di depan rumah. Sebagai pria sekaligus kekasih, Marvin tahu kalau Keya tengah menyembunyikan sesuatu. Wajahnya terlihat tegang dan tatapan matanya kosong. "Hei, Sayang ... apa ada hal yang mengganggumu? Kenapa wajahmu seperti baju yang belum disetrika? Ada apa, hmm? Apa Lian memarahimu?" Marvin memberikan banyak pertanyaan. Jika ada yang mendengar, mungkin sang pria terlihat begitu peduli pada pasangannya. Keya memainkan jemarinya untuk menyembunyikan kebimbangan. "Bukan, Vin. Lian sama sekali tidak marah. Sikapnya justru seperti orang asing. Tadi a--aku ...." Keya bergetar kala bibirnya akan menyebut nama Yesha. "Aku apa?" Marvin penasaran karena ekpresi wajah Keya yang semakin bingung. "Jangan bilang kamu akan membatalkan semuanya, Key?" imbuh Marvin. "Bukan itu!" tegas Keya. "Terus apa?" "A--aku tadi ketemu wanita yang mirip Yesha. Cuma dia lebih cantik dan terawat. Anehnya lagi, dia kenal sama Lian. Aku tanya apa dia itu Yesha, tapi justru disangkal. Lian juga seakan bingung mendengar nama Yesha," terang Keya sejelas mungkin. Seketika Marvin menegang mendengar kembali nama Yesha di rungunya. Entah sudah berapa tahun tidak mendengar namanya disebut orang, tetapi sekarang Keya justru bertemu dengannya. Sungguh kebetulan yang luar biasa. "Kamu yakin itu? Nggak baik, loh, kalau berburuk sangka. Emang kamu udah yakin kalau ketemu dia lagi?" Marvin memastikan ketakutan Keya yang tidak berdasar sama sekali. Namun, hati kecilnya merasa tersentil kala mengingat nama Yesha. "Coba kamu tanya Lian. Kira-kira benar Yesha atau bukan," usul Keya. "Jangan bahas ini sekarang, ya? Aku ingin kita fokus di acara pernikahan kita. Nanti itu akan menjadi bagianku. Ya udah aku pulang. Istirahat gih," titah Marvin lalu kembali melajukan motornya meninggalkan perumahan Keya. Sementara Marvin berpikir keras tentang Yesha yang tiba-tiba muncul setelah sekian purnama. Kenapa harus muncul sekarang? Di saat hati mulai ingin menyelam banyak cinta dan melupakan kesalahan lalu. "Jika benar itu kamu, Yes ... aku harus bagaimana?" ------***------ Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN