BAB 11 A

1075 Kata
TERJERAT CINTA WANITA PANGGILAN 11 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira masih Pertemuan yang tidak sengaja terkadang tidak selalu soal kebetulan. Bisa saja itu adalah pertemuan yang sudah terencana, baik dari manusia atau pun Tuhan. Lian telah merencanakan ide pertemuan ini dengan menggantikan Gavin sebagai tamunya. Bukan tanpa alasan, Lian ingin membuktikan kalau Mayasha adalah tanda jodoh yang dikirim Tuhan lewat jalan berkelok. Keduanya masih saling berdiri dan menatap satu sama lain. Sama-sama mencari pembenaran dari ucapan masing-masing. Lian mulai lelah berdiri karena memang raganya lelah setelah bekerja langsung berangkat ke sini. Sementara Mayasha masih butuh keyakinan kalau tamunya memang benar Lian. "Saya nggak disuruh masuk? Saya lelah sekali karena pulang kerja langsung ke sini," tutur Lian dengan wajah memelas. "Tunggu bentar. Saya mau memastikan ke Elena dulu," jawab Mayasha sambil memberi kode untuk menunggu dirinya melakukan panggilan telepon. Sedetik kemudian sambungan telepon tersambung. Lian tetap mengamati wanita yang terus berbicara tanpa berkedip. Parasnya cantik meski make-up terlihat sederhana. Pakaiannya juga berbeda jauh dengan pertama bertemu. Hari ini wanita di depannya lebih santai, mungkin karena Gavin memanggilnya hanya sebagai teman cerita. "Halo, May ... kenapa? Tamunya nggak dateng?" Suara Elena terdengar dari seberang telepon. "Dateng. Cuma aku ingin memastikan siapa nama orang yang gantiin. Cari info ya? Takut salah orang." "Oke, wait." Sambungan telepon berjeda lima menit. "Halo, May ... kamu masih ada?" tanya Elena dari jauh karena merasa begitu sepi suara teleponnya. "Hmmm ... udah tahu namanya?" "Kata Gavin, yang gantiin namanya Erza. Ya udah ya ... aku lagi nanggung soalnya." Mayasha menutup panggilan telepon, lalu berbalik menatap Lian yang masih berdiri dengan sorot mata yang entah. Dengan melipat kedua tangan di depan d**a, senyumnya terukir jelas di sudut bibir. Melihat wanita di depannya menyudahi panggilan telepon, Lian memajukan langkahnya hingga melewati pintu. "Gimana? Nama tamu yang gantiin siapa?" tanya Lian. "Namanya Erza. Saya baru ingat kalau namamu Lian Erza," jawab Mayasha sambil menggaruk tengkuknya. "Jadi ... saya sudah boleh masuk?" Lian kembali memastikan. Mayasha merentangkan satu tangannya sebagai tanda mempersilakan Lian masuk. Pikirannya masih belum mengerti kenapa tamu yang datang justru Lian. Akan tetapi, ia ingin berpikir positif. Setelah menutup pintu dan menguncinya, Mayasha menyusul Lian yang sudah duduk di sofa. Lian langsung menyenderkan kepalanya di sofa, lalu memejamkan kedua matanya sejenak untuk menghilangkan rasa lelah setelah bekerja. Memutuskan pulang lebih awal hanya untuk menemui Mayasha–wanita yang baru ditemuinya sekali adalah hal tergi-la selama hidupnya. Mayasha menatap lekat wajah Lian. Ketampanannya tidak luntur meski dalam keadaan lelah. Entah kenapa hatinya berdebar menikmati setiap inci wajahnya. Perlahan, tangan Mayasha menyentuh pemilik wajah tampan itu dengan lembut. Sejak pertemuan itu hatinya menahan begitu kuat untuk tidak memikirkannya. Namun, waktu mempertemukan kembali di tempat yang sama. Lian sengaja membiarkan sentuhan itu membelai wajahnya. Memberi ruang sejenak pada wanita di depannya menikmati wajah tampannya. Ketika Mayasha ingin menarik tangannya, kedua mata Lian terbuka. Membuat Mayasha sedikit terkejut. "Kenapa? Bukankah saya tampan?" tanya Lian sambil membenarkan posisi duduknya. "Sa--saya ...." Tiba-tiba ucapan Mayasha terpotong karena Lian menarik tangannya agar duduk di sebelahnya. Lian kembali menyenderkan kepalanya, tetapi di pundak wanita yang masih kebingungan. Ini adalah sikap paling tidak profesionalnya selama menerima tamu. Hanya bersama Lian, dirinya menjadi tidak karuan. "Tolong biarkan begini sebentar saja," ucap Lian sembari memejamkan kembali kedua matanya. Mayasha tidak menjawab, hanya bisa duduk tegak di sebelahnya. Melihat sikapnya berbeda dari sebelumnya, Mayasha hanya bisa mematung agar Lian merasa nyaman. "May ...," panggil Lian masih dengan posisi yang sama. "Hmm." "Apa kau masih percaya cinta setelah memberikan ragamu pada banyak pria?" Pertanyaan Lian mampu menyentil jantungnya. Baginya cinta adalah sesuatu yang memberikan kenangan buruk hingga detik ini. Sempat percaya pada cinta, tetapi mereka tetap meninggalkannya dengan luka yang membekas. Sejak itu, ia memilih membuang cinta dan membebaskan semua beban hanya untuk menjaga kewarasannya. Merasa wanita di sebelahnya terdiam, Lian membuka matanya dan menegakkan tubuhnya. "Kok, diam? Apa kau tidak ingin lagi memiliki cinta seperti pasangan pada umumnya?" tanya Lian lagi yang membuat Mayasha menoleh. Entah kenapa pertanyaan Lian bagaikan tegangan listrik yang menyetrum raganya. Membuat hati dan akalnya kaku seketika. Pandang mata yang tidak sengaja bertemu membuat Mayasha beralih menatap jemarinya sendiri. "Saya bukan tidak ingin, hanya tidak mau," jawabnya lalu mengalihkan pandangan ke sekitar. Jawaban Mayasha semakin membuat Lian penasaran. Hidup di jaman modern yamg serba canggih malah tidak mau mengenal cinta. Padahal tanpa cinta dunia pasti hancur karena terlalu banyak orang mu-nafik. "Jika saya yang menawarkan cinta itu, apa kau mau?" tanya Lian sembari membingkai wajah Mayasha agar menghadap dirinya. Mayasha mendongak, menantang pertanyaan Lian lewat sorot matanya. Dalam hati ia sungguh tidak ingin terjadi, tetapi logikanya tidak mampu menolak. Setengah dirinya menginginkan Lian lebih dari sekedar tamu. Namun, setengah dirinya yang lain tidak mau menerima karena takut tragedi dulu terulang lagi. "Kenapa nggak jawab?" Lian kembali bertanya. Membuat Mayasha gelagapan. Bibirnya bahkan berat untuk memberi jawaban yang memang tidak tahu. "Saya nggak tahu harus jawab apa." Lian menghirup napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan melihat mata Mayasha yang beralih menghindar. "Apa kau tidak merasakan sesuatu saat bersama denganku?" Lian memberanikan diri memancing hati wanita di sebelahnya. "Andai pun rasa itu sama, kau tidak akan pernah bisa menentang orang tuamu hanya untuk wanita panggilan sepertiku," jawab Mayasha sambil melepas bingkaian tangan Lian dari wajahnya. Akan tetapi, sedetik setelah membuang wajah, tangan Lian menarik tengkuk Mayasha hingga kedua wajah nyaris bersentuhan. Kedua mata mereka seakan saling bicara agar ada rasa percaya di hati masing-masing. Mayasha susah payah menelan salivanya melihat Lian dengan jarak sedekat ini. Embusan napas sang pria bahkan terasa hangat menyapu pipi lembutnya. Lian terus menatap kedua mata itu tanpa berkedip. Hatinya bisa merasakan degup jantung Mayasha yang berdebar. Ia yakin kalau rasa yang ada dalam d**a kemungkinan besar sama. "Kalau itu benar terjadi, apa kau mau berjuang bersamaku?" tanya Lian seolah bisa membaca pikiran Mayasha. "Sa-saya tidak tahu," jawab Mayasha terbata. "Hei ... aku hanya butuh 'iya' atau 'tidak' untuk jawabanmu." Mayasha terdiam. Bibirnya mendadak bergetar karena tidak tahu jawaban apa yang ia mau. Semua jawaban mengandung resiko yang tidak mudah untuk keduanya. Jika menjawab 'iya' bisa dipastikan hatinya mungkin akan berdarah lebih parah dari sebelumnya. Namun, jika menjawab 'tidak' pun hatinya tetap akan terluka karena berusaha melupakan Lian di sepanjang hidupnya. Melihat bibir wanita di depannya terkatup rapat dengan sorot mata yang berkaca-kaca membuat Lian menyadari satu hal. Mayasha pasti sudah takut sendiri untuk memulai hubungan yang jelas akan memakan tenaga dan perasaan. Ternyata sisi hatinya masih berharap ada kejujuran cinta untuk mengganti semua luka yang telah tercipta. ------***------ Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN