Aku menolehkan kepala ke samping dan menemukan sosok Edward yang sedang berdiri di sana. Lelaki berkacamata itu berdiri tepat di sebelahku dengan tas yang tersampir di pundak kanan, sementara tangannya memegang beberapa buku pelajaran yang lumayan tebal. Lelaki itu memang murid yang rajin dan teladan. Nggak heran, sih, kalau namanya selalu menduduki peringkat satu di kelas dan top 10 di peringkat paralel.
Aku baru menyadari hal itu beberapa bulan terakhir karena Edward baru pindah ke sekolah ini sejak kami kelas 2 SMA. Jadi, kepintarannya yang lumayan menarik perhatian baru tertangkap olehku sejak dia mendapatkan jabatan ketua OSIS. Saat itu, aku ingat sekali, aku mendengar pidatonya sebagai pemimpin upacara dan jujur semua ucapannya membuatku terkesima dan menobatkannya sebagai salah satu temanku yang memiliki otak encer.
"Hei," tegur Edward sembari menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku. "Kenapa malah bengong?" lanjut lelaki itu bertanya ketika mendapati keterdiamanku.
Aku yang baru tersadar dari lamunanku pun lantas menggelengkan kepala. "Eh, maaf, maaf. Aku melamun lagi ...," ujarku sembari tersenyum canggung.
“Tadi kamu tanya apa, Ed?” lanjutku bertanya karena nggak terlalu jelas menangkap pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Edward.
"Mau pulang sama aku nggak?" tanya Edward menawarkan sekali lagi.
"Memangnya nggak ngerepotin kamu?" Aku balik bertanya.
"Nggaklah. Ayo, keburu hujuannya makin deras nanti," ajak Edward yang sudah berjalan di depanku.
Aku menganggukkan kepala kemudian mengekori langkah Edward dari belakang. Toh, kenapa aku harus menolak tumpangan lelaki itu jika dia sendiri nggak merasa keberatan untuk memberikan tumpangan padaku, ‘kan? Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tetapi rasanya Edward sengaja memperlambat gerakan kakinya sehingga langkah kami kini sejajar. Ah, sudahlah. Aku nggak ingin berpikir terlalu banyak dan jatuhnya malah menjadi terlalu percaya diri. Lupakan saja!
Tapi, ada apa sama laki-laki ini sampai tiba-tiba nawarin aku tumpangan begini? tanyaku heran pada diri sendiri di dalam hati.
Bukannya aku ingin berburuk sangka atau berpikiran negatif pada Edward—padahal lelaki itu sudah dengan baiknya menawarkan tumpangan untukku. Namun, yang membuatku heran adalah interaksiku dengan Edward tiba-tiba menjadi lebih intens beberapa hari terakhir.
Bukan! Aku bukan bermusuhan dengan lelaki itu. Ya, mana mungkin juga aku bermusuhan dengan orang sebaiknya. Maksudku, interaksi kami selama hampir setahun ini menjadi teman sekelas tampaknya cenderung statis dan jauh dari kata teman dekat. Lagi pula, aku nggak terlalu banyak berinteraksi dengan teman sekelasku selama ini karena aku baru saja pindah ke sekolah ini saat memasuki tingkat SMA.
Lamunanku buyar saat Edward memanggil namaku. "Laluna?"
Alhasil, tubuhku tersentak kecil dengan kepala yang kemudian menoleh untuk menatap pada pemilik suara tersebut, Edward.
"Ya?"
"Bisa tolong bantu aku pegang buku-buku ini?" Meskipun sedikit bingung, aku tetap menuruti permintaan Edward dan menerima sodoran buku-buku dari tangan lelaki itu.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan jaket bomber-nya yang berwarna hijau army dari dalam tas dan menutupi kepala kami dengan benda berbahan parasut tersebut. Ulah Edward itu sukses membuatku melongo. Namun, mau nggak mau aku pun tetap mengikuti langkah lelaki itu.
"Maaf—" gumam Edward sebelum tangan lelaki itu berpindah untuk melingkar pada pundakku.
"Kamu agak sini aja, Lun, biar nggak basah," lanjut Edward yang sudah membawaku menerobos hujan dan berjalan menyusuri lapangan untuk menuju ke tempat parkir kendaraan.
Oh, Tuhan, jangan sampai adegan kami ini terlihat seperti adegan di film-film India di mata orang lain, doaku di dalam hati. Pasalnya, mataku menangkap beberapa lirikan dari orang-orang yang melewati kami.
Edward membuka pintu mobilnya untukku. Lelaki itu lantas memutari mobilnya untuk masuk ke dalam dan duduk di balik kemudi.
"Aku baru tau loh kamu bawa mobil sendiri ke sekolah," ujarku sembari menerima uluran tangan Edward yang menyodorkan satu pak besar tisu ke arahku.
Edward terkekeh kemudian menarik dua lembar tisu dari pak yang baru disodorkan olehnya. "Kadang-kadang aja, sih. Kebetulan aja hari ini aku bawa mobil, biasanya juga pakai motor," jelas lelaki itu sembari melepaskan kacamata dan membersihkan lensanya yang terkena air hujan.
Aku mengangguk mengerti kemudian menarik tiga lembar tisu dan mengusapkan pada tanganku dan bagian tubuh yang terpercik oleh air hujan tadi.
Edward langsung menjalankan mobilnya keluar dari area parkir sekolah setelah menanyakan alamat rumahku. Namun, sebelum mencapai rumahku, lelaki itu meminta izin untuk berhenti di salah satu restoran cepat saji yang menyediakan layanan drive thru sebentar. Edward ingin membeli ayam goreng dan burger yang khas dari restoran tersebut.
Sesampainya di area drive thru, kami nggak langsung bisa memesan karena ada beberapa mobil yang juga sedang mengantri di depan sana. Ketika sampai pada giliran Edward untuk memesan, lelaki itu menolehkan kepalanya padaku setelah menyebutkan menunya pada sebuah kotak hitam yang berisi speaker di dalamnya.
"Kamu mau pesan apa, Lun?" tanya Edward dengan kepala yang berpaling dan mata yang menatapku.
"Hmn ... nggak, deh. Nanti aku masak aja di rumah," jawabku menolak tawaran lelaki itu. Rasanya sayang saja jika aku menghabiskan uang untuk makanan cepat saji nggak sehat dengan harga yang cukup mahal ini. Meskipun jika Edward yang akan membayarkan pesananku, aku juga akan merasa nggak enak dengan lelaki itu. Sudah syukur sekali dia mau memberikanku tumpangan di saat hujan seperti ini. Nggak baik jika aku meminta lebih. Itu terlihat sangat memanfaatkan kebaikan lelaki itu, ‘kan? Jadi, aku memilih untuk menolak saja dan masalah selesai.
Edward menganggukkan kepalanya mengerti dan kembali beralih menatap pada kotak hitam berisi speaker di luar sana. "Oh, ya, Mbak. Tambah McFlurry Oreo-nya dua, ya," pesan Edward setelah lelaki itu menyebutkan jenis ayam goreng dan burger yang dia inginkan.
Setelah nominal pesanan Edward disebutkan oleh pramusaji dengan microphone yang suaranya keluar dari speaker di dalam kotak tadi, lelaki itu lantas memajukan mobilnya beberapa meter ke depan dan bersiap untuk menerima pesanannya.
Nggak sampai sepuluh menit kemudian, seorang pramusaji membuka jendela dan menyodorkan dua cup es krim dengan kedua tangan ke arah Edward yang juga sudah membuka kaca mobilnya.
"McFlurry-nya dua, ya, Mas?" tanya seorang pramusaji dengan ramah.
"Iya, benar," jawab Edward sembari menerima kedua es krim itu dengan hati-hati. Tanpa mengatakan apapun, lelaki itu lantas menyodorkan dua cup es krim itu padaku. Seakan mengerti maksud dari gerakan Edward, aku pun menerima es krim itu dengan kedua tangan sementara Edward menerima dua bungkusan plastik lain yang disodorkan lagi oleh pramusaji.
Edward meletakkan dua bungkusan plastik tadi ke kursi penumpang belakang. Setelah itu, tanganku lantas menyodorkan es krim yang tadi lelaki itu titipkan padaku. Keningku mengerut bingung ketika Edward hanya menerima satu dari sodoran dua es krim tersebut.
"Itu satu untuk kamu," ungkap Edward dengan tangan yang meletakkan cup es krim tersebut pada tempat botol minuman yang tersedia di bagian pintu mobilnya.
"Eh, seriusan ini untuk aku?" tanyaku nggak percaya.
"Iya ...," jawab Edward sembari melirik sekilas ke arahku kemudian fokus lagi pada jalanan yang ada di depan sana. "Tenang aja, itu gratis kok," lanjut lelaki itu seakan mengerti keraguan dan menemukan ekspresi bimbang yang terlukis di wajahku.
"Se—seriusan?" tanyaku lagi. Kali ini dengan senyum sumringah yang langsung dibalas dengan sebuah anggukan kepala oleh Edward. Lelaki itu kemudian terbahak dan membuatku bergeming sejenak karena belum pernah melihatnya tertawa selebar itu sebelumnya.
Seingatku, aku belum pernah melihat Edward terbahak sekeras ini sampai suaranya memenuhi seluruh ruang mobilnya. Biasanya lelaki itu hanya akan tersenyum simpul atau terkekeh kecil jika ada hal yang lucu. Bahkan saat guru-guru memujinya saja, Edward hanya memberikan senyum tipis yang penuh dengan kesopanan.