Thread Madness - Part 5

1987 Kata
Ini adalah hari ketiga ketika pria bernama Ezra nangkring di depan rumahku. Namun, bedanya kali ini pria itu nggak lagi bersandar pada mobil Lamborghini merahnya yang mencolok itu. Tanganku baru saja menyibak gorden dan vitrase jendela, tetapi mataku sudah disuguhi dengan pemandangan yang sukses membuatku berdecak. “Lagi ...?” gumamku sebelum menghela napas lelah. Mendapati sosok Ezra di depan sana membuatku mendengus dan berjalan menjauhi jendela yang langsung mengarah pada gerbang rumahku. "Bisa-bisanya dia masih datang ke sini," lanjutku bergumam pada diri sendiri sembari duduk di kursi kayu—pengganti sofa dan memasangkan kaus kaki pada kedua kakiku. "Hmn ... orang itu masih aja betah datang ke mari, ya.” Aku lalu bangkit dari posisi duduk dan menyampirkan tas sekolah pada pundak kananku. "Ah, paling juga besok udah nyerah si Ezra itu. Ayo, semangat, Laluna!!!" ujarku menyemangati diri sendiri dan tersenyum lebar sembari membuka pintu rumah untuk keluar dari sini. Pintu baru saja terbuka dan aku bahkan baru selangkah keluar dari rumah, Ezra sudah langsung menolehkan kepalanya untuk menatap pada sumber bunyi deritan yang tertangkap oleh indra pendengarannya. "Hai!" sapa Ezra dengan cengiran lebar yang terpatri di bibirnya. Pria itu tampak kasual hari ini. Jika dua hari sebelumnya Ezra mengenakan kemeja dan celana bahan, maka hari ini pria itu mengenakan kaus polos putih dengan celana selutut yang berwarna coklat muda. Namun, ada sesuatu yang menangkap perhatianku dari penampilan kasualnya itu, yaitu sandal jepit yang terpasang di kakinya. Ternyata orang kaya juga doyan pakai sandal jepit juga, ya? batinku berpikir di dalam hati. Mendapatkan sapaan dari Ezra, mau nggak mau membuatku pun harus membalas balik sapaan pria itu. Aku memberikan Ezra dengan seulas senyuman sebagai tanda etika dan sopan santun untuk membalas sapaannya. "Udah siap?" tanya Ezra ketika aku menggeser pagar rumah agar terbuka. Pertanyaan pria itu lantas aku balas dengan anggukan kepala sebagai jawaban karena tanpa bertanya apapun, aku sudah tahu apa maksud dari kedatangan pria itu ke sini. Tentu saja untuk mengantarkanku ke sekolah seperti yang sudah dilakukannya dua hari terakhir ini. Aku masih bertanya-tanya, sebenarnya apa pekerjaan yang dilakukan oleh Ezra sampai-sampai pria itu bisa dengan senang hatinya bertengger setiap pagi di depan rumahku seperti ini? Bukannya kalau orang kaya pasti sibuk dengan bisnis atau pekerjaan mereka, ya? Kalau begitu, seharusnya di jam-jam seperti ini, mereka sudah harus berangkat mencari pundi-pundi uang untuk membeli sekarung berlian atau membayar iuran listrik mereka yang harganya selangit itu, bukan? Jujur, aku ingin bertanya pada Ezra, tetapi takutnya pertanyaanku akan menyinggung pria itu sehingga aku memilih untuk mengurungkan niat awalku. "Barang-barang bawaan kamu udah lengkap? Nggak ada yang ketinggalan di dalam rumah, 'kan?" tanya Ezra memastikan. Pertanyaan pria itu aku jawab dengan gelengan kepala. Mendapatkan jawaban seperti itu dariku, Ezra pun lantas menjauhkan dirinya dari mobil sedan berwarna hitam dengan logo Mercedes-Benz di depannya. Tanpa aba-aba, pria itu membukakan pintu penumpang dan mempersilahkanku masuk ke dalam. Mendapatkan perlakuan seperti itu dari Ezra membuatku sedikit terpana, tetapi juga merasa minder. Lagi-lagi karena status sosial kami yang jauh berbeda. Maksudku, apakah pantas seorang pria kaya dan borjuis seperti Ezra ini membukakan pintu mobilnya untukku yang notabenenya bukan siapa-siapanya? Entah aku harus bangga, senang atau malah sedih dengan fakta tersebut. Aku bergeming di tempat dengan pandangan yang menerawang. Rasanya seperti ada paku yang menancap di kedua kakiku sehingga aku nggak mampu bergerak seinchi pun dari tempatku berdiri saat ini. "Lun ...?" panggil Ezra ketika mendapati diriku yang terdiam seperti robot yang kehabisan daya. "Eh ... iya, iya. Sorry aku melamun tadi," ujarku sambil tersenyum tipis lalu masuk ke dalam mobil Ezra. Pria itu kemudian bergerak memutari mobilnya dan duduk di balik kemudi setelah membantuku untuk menutup pintu mobil. Setelah itu, Ezra lantas melajukan mobilnya keluar dari komplek perumahanku yang sederhana. Perjalanan kami pagi ini hanya ditemani oleh suara yang berasal dari lagu yang diputar oleh salah satu radio swasta. Sejak masuk ke dalam mobil ini, aku sudah berencana akan mengatakan sesuatu pada Ezra. Namun, kalimat itu masih belum mampu keluar dari mulutku dan tertahan di ujung lidah. Ayo, Lun. Ini saatnya speak up. Kamu pasti bisa!!! ujarku menyemangati diri sendiri di dalam hati. "Hmn ... Ezra," panggilku dengan volume kecil yang lebih mirip seperti suara cicitan tikus got. Pria yang kupanggil itu lantas menoleh. Ezra mengalihkan fokusnya dari jalanan di depan dan beralih untuk menatap padaku. Kebetulan mobil yang dikendarai oleh pria itu sedang berhenti saat in karena lampu merah. "Ya?" balas Ezra. "Kenapa?" lanjut pria itu bertanya. "I—itu, aku cuma mau bilang ...." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, lampu lalu lintas sudah berubah menjadi warna hijau sehingga atensi Ezra kembali beralih pada kemudi untuk menjalankan mobilnya. "Bilang apa?" tanya pria itu lagi tanpa menatap ke arahku. "I—itu ...." Astaga, kenapa aku selalu gugup dan tiba-tiba menjadi orang yang gagap ketika berhadapan dengan Ezra, sih? Sebenarnya apa yang pria itu lakukan padaku? Seingatku, aku belum pernah seperti ini ketika menghadapi orang lain. "Hmn ... tolong besok-besok, kamu jangan jemput aku lagi, ya," pintaku dengan gumaman pada akhir kalimat. Ezra nggak langsung membalas ucapanku. Namun, pria itu merotasikan kepalanya sejenak untuk menatap ke arahaku lalu kembali fokus pada jalanan di depan sana. Pria itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Gerakan pria itu membuatku sedikit bingung. "Oke. Noted." Aku kira Ezra akan membantah dengan memberikan beribu-ribu ancaman ataupun alasan seperti yang sebelum-sebelumnya sudah pria itu lakukan. Namun, ternyata prediksiku salah. Pria itu malah dengan mudahnya menyetujui permintaanku. Ternyata cuma segampang ini? batinku skeptis dan bermonolog pada diri sendiri karena masih nggak percaya dengan respon yang baru saja diberikan oleh Ezra. Syukurlah, setelah ini aku akan terbebas dari pria bernama Ezra dengan barang-barang mewah yang mengelilinginya itu. Bukannya membenci tipikal orang kaya seperti Ezra ini, tetapi aku hanya berjaga-jaga untuk menghindari kemungkinan terburuk yang akan aku dapatkan jika bergaul dengan pria itu. Aku sudah banyak menonton drama yang menceritakan tentang kehidupan status sosial yang berbeda dan kebanyakan drama itu berakhir nggak mengenakan. Meskipun nggak semua, tetapi tetap saja persentase nggak mengenakannya lebih besar. Huh! Kalau tau begini, ngapain juga aku gugup sampai sakit perut di rumah tadi, gerutuku pada diri sendiri di dalam hati. Namun, sedetik kemudian, senyum sumringah terpatri di bibirku saking senangnya ketika mengingat kembali persetujuan yang keluar dari mulut Ezra beberapa menit yang lalu. Tanpa kusadari, mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan gerbang sekolahku. Akibat euforia terlalu senang yang aku rasakan, aku sampai lupa meminta Ezra untuk memberhentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang sekolah. Sudahlah, aku akan menganggap ini sebagai hadiah perpisahan kami dan pria itu boleh memberhentikan mobilnya di depan gerbang sekolah. Lagi pula, mobil yang dikendarai oleh Ezra hari ini juga nggak terlalu mencolok seperti Lamborghini-nya kemarin-kemarin. "Aku turun dulu, ya. Makasih untuk tumpangannya, Ezra," ujarku sebelum keluar dari mobil pria itu dan memberikannya seulas senyum yang mencapai mata. Semoga kita nggak ketemu lagi setelah ini! lanjutku di dalam hati tanpa berani menyuarakan kalimat tersebut. Biarkan saja kalimat itu menjadi rahasiaku dan Tuhan. "Sebentar!" cegah Ezra sembari menahan lenganku. Ulah pria itu membuat gerakan tanganku yang hendak membuka pintu mobilnya terhenti di udara. "Ada benang di rambutmu," jelas pria itu sembari mengambil sesuatu pada bagian rambutku yang dekat dengan daun telinga. "Oke, udah," sambung Ezra dengan jarinya yang kemudian menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Ulah pria itu sukses membuatku bergeming dan membeku di tempat. Apa-apaan itu tadi? gumamku dengan mata yang membulat sempurna karena belum siap dengan gerakan Ezra yang terlalu mendadak. "Laluna ...?" panggil Ezra sembari mengoyangkan tangannya di depan wajahku. Aku tersentak dari keterdiamanku. "Eh ... i—iya," balasku dengan suara tergagap. "Kenapa kamu bengong?" tanya Ezra dengan ekspresi wajah yang penasaran. "Ng—nggak apa-apa kok. Udah, ya, aku turun sekarang," jawabku lalu melambaikan tangan pada Ezra kemudian segera membuka pintu mobil dan keluar dari mobil pria itu. Aku merutuki diriku sendiri sembari berjalan menuju ruang kelas. Sebenarnya ada sihir apa pada si Ezra itu sampai-sampai aku bisa selalu merasa gugup saat berdekatan dengannya? batinku pada diri sendiri sembari berpikir. "Aneh sekali," gumamku dengan volume suara yang kecil. "Aw!!!" Aku memekik ketika tubuhku ditabrak oleh seseorang saat aku baru saja membuka pintu kelas. Kertas-kertas yang berisi hasil print-an tampak berhamburan di atas kakiku dan si penabrak tersebut. "Maaf, maaf," gumam orang yang menabrakku itu sembari berjongkok untuk memunguti kertasnya. Melihat itu, aku pun berinisiatif untuk membantu orang tersebut karena insiden penabrakan ini sebenarnya bukanlah sepenuhnya salah orang itu. Namun, saat pandangan kami bertemu, mulutku lantas bergumam. "Ed ... ward?" "La ... luna?" "Maaf, maaf. Aku nggak sengaja nabrak kamu tadi karena buru-buru," ujar Edward—si penabrak sembari bangkit berdiri. Gerakan pria itu diikuti olehku yang juga bangkit dari posisi berjongkok. Aku menganggukkan kepala lalu membalas ucapan Edward. "Nggak apa-apa. Salahku juga gara-gara jalan sambil melamun." "Oke, deh. Kalau gitu, aku ke ruang BK dulu, ya. Mau setor laporan sama ambil absensi," balas Edward berpamitan sebelum berjalan meninggalkanku di ambang pintu kelas. * Pelajaran hari ini benar-benar menguras kinerja otakku. Matematika, Fisika, dan Kimia berada di dalam satu hari yang sama. Parahnya, ketiga mata pelajaran eksakta itu berada pada jadwal yang berurutan pula. Hanya pelajaran Bahasa Inggris di akhir jam pelajaran saja yang membuat seisi kelas bisa sedikit bernapas dengan lega karena pelajaran itu lebih santai dan fleksibel. Meskipun masih ada segelintir dari teman-temanku yang nggak terlalu fasih dalam berbahasa Inggris, tetapi setidaknya pelajaran itu nggak lebih mengerikan daripada tiga pelajaran eksakta sebelumnya. Belum lagi ditambah tiga guru yang mengajar pelajaran itu adalah tipikal guru killer yang sering 'menyiksa' muridnya. Itu semakin membuat teman-temanku uring-uringan, nggak terkecuali diriku. Aku akui, aku sudah diberikan les privat Bahasa Inggris sejak aku kecil dan juga ada pelajaran itu di sekolah. Namun, karena aku jarang berinteraksi dengan menggunakan bahasa tersebut, maka aku sedikit kesulitan melakukan percakapan menggunakan Bahasa Inggris meskipun aku mengerti arti dari kalimat yang aku dengar. Slogan ‘Conversation is the most important.’ memang ada benarnya juga. Walaupun aku nggak terlalu dengan pelajaran eksakta, tetapi aku juga nggak membencinya seperti beberapa teman-temanku yang kerap mengeluarkan kutukan dari mulut mereka karena sulitnya jenis pelajaran tersebut. Entahlah, aku seperti punya hate and love relationship tersendiri dengan tiga pelajaran tersebut—Matematika, Fisika, dan Kimia. Oh, ya, jangan lupa dengan satu pelajaran lainnya, yaitu Biologi. Jujur, aku adalah orang yang sangat sulit untuk menghafal dalam pelajaran. Namun, anehnya aku bisa menghafal semua bentuk, nama produsen, dan tipe mobil dengan mudah tanpa mengeluh. Sama halnya dengan nama lengkap teman-temanku. Itu adalah sesuatu yang terasa mudah bagiku, tetapi ... kenapa otakku ini bisa-bisanya nggak berkutik ketika menghafal tulisan-tulisan yang ada di buku pelajaran? Dasar otak nyeleneh, cibirku pada diri sendiri di dalam hati. Itulah alasan utama kenapa aku nggak memilih jurusan soshum padahal otakku juga nggak terlalu pintar dalam bidang saintek. Meskipun di dalam kelas namaku tetap berada di urutan 5 siswa terbaik, tetapi akan terjun ke dasar-dasar jika dalam urutan ranking paralel. Ibarat kata, aku adalah salah satu murid terpintar di kelas, tetapi nggak di sekolah. Saat bel jam pulang sekolah berdering dan semua murid berbondong-bondong keluar dari kelas layaknya warga yang bersiap untuk berebutan mendapat pembagian sembako. Bertepatan di saat itu pula, suara gemuruh di langit yang disertai dengan rintik hujan pun turun membahasi bumi. Terdengar gumaman-gumaman dari para murid yang menyayangkan terhambatnya kepulangan mereka dari tempat ini karena rintik air yang turun dari langit tersebut. Suasana sontak menjadi ramai disertai orang-orang yang berlalu lalang dengan payung di tangan ataupun jas hujan yang membalut tubuh mereka. Aku bersandar pada tembok koridor kelas yang langsung mengarah pada lapangan sekolah sehingga rintik hujan kini terpampang di hadapanku. Bahkan aroma hujan itu tertangkap dengan jelas oleh indra penciuman dan membuatku merasa tenang setelah menghirup aroma rintik hujan yang jatuh ke tanah pertiwi ini. "Yah ... hujan. Nggak bisa pulang dong aku," gumamku pada diri sendiri sembari mendongak untuk menatap pada langit yang tampak gelap dan berwarna keabu-abuan. Aku baru saja hendak beranjak dari tempatku berpijak saati ini, tetapi sebuah suara sudah lebih dulu menginterupsi sehingga gerakanku menjadi urung. "Lun, ayo, aku antar. Kita pulang bareng."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN