Sebuah Mimpi

1010 Kata
Aku melihat titik putih di antara pekatnya gelap malam ini. Lalu aku seperti menonton sebuah Film yang ada aku di dalamnya. Mendiami sebuah rumah besar lantai dua, menahan tangis dan juga mencintai seseorang. Seorang lelaki berwajah tampan namun galaknya luar biasa. Aku dipukul karena kesalahan kecil, tapi bodohnya aku tetap bertahan mencintainya. Dia bukan lelaki ramah, melainkan lelaki pendiam berwajah murung tapi entah mengapa aku begitu mencintainya. Rasa yang membuatku terus bertahan di rumah besar itu. Entah untuk satu tujuan apa, satu yang pasti aku mulai tidak baik-baik saja karena lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk bersama seorang wanita. Aku sakit hati, sakit yang tak bisa kunarasikan seperti apa rasanya. Ingin teriak dan marah tapi tak kuasa. Lelaki tinggi itu mengusirku dari rumah dan membiarkanku berjalan sendirian di tengah hujan dan pekatnya malam. Aku menangis, meringkuk memeluk tubuhku sendiri namun di saat itu aku merasakan sebuah benturan yang sangat keras hingga membuatku terpelanting jatuh ke jurang. Aku berteriak-teriak, meminta tolong tapi tak ada siapa pun selain suasana yang begitu hening dan udara yang sangat ingin. Aku terus berteriak meminta tolong di tengah kesakitan yang luar biasa itu. "Khayra ... nona." Lamat-lamat aku mendengar suara seseorang "Khayra ...." Aku merasakan sebuah tepukan di pundak. "Tolooong ...." Aku kembali berteriak lalu mataku terbuka. Menghirup napas dalam dan terengah-engah ketakutan. "Tenanglah Nona kau hanya sedang bermimpi." Ayas menyodorkan segelas air minum. "Cepatlah minum agar kau tenang." Tanpa kata aku segera meraih gelas itu dan meneguk air putih hingga tandas. Ayas meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu ke atas nakas. Aku tidak tahu sejak kapan Ayas ada di kamarku. "Kenapa kau di sini, Bung?" tanyaku heran. "Karena aku mendengar kamu berteriak-teriak. Kukira ada maling." "Aku mengalami kecelakaan dan meminta tolong tapi tak ada yang menolongku." Ayas tertegun dan ia kemudian mengusap wajahnya. Menatapku beberapa detik lamanya lalu membuang pandangan ke arah lain. "Itu ... Hanya mimpi Nona. Kau akan baik-baik saja. Tidur lah." Ayas mulai beranjak dari sisi ranjangku. "Tunggu sebentar, Bung." Aku menahan langkahnya. "Apa?" "Katakan padaku apa kita pernah tinggal berdua saja di sebuah rumah besar berlantai dua?" "Ya." "Apakah itu rumahmu?" tanyaku lagi. "Rumah kita." "Lalu siapa perempuan yang bersamamu itu? Dia hadir dalam mimpiku." Ayas terlihat menghela napas, terdiam beberapa detik lamanya sebelum akhirnya ia menjawab. "Kau hanya sedang bermimpi, Nona. Tidur lah." "Aku yakin mimpiku pasti ada hubungannya dengan kehidupan kita sebelumnya, Bung." "Ya, mungkin saja. Mungkin ingatanmu mulai pulih perlahan-lahan." "Bisa kah bantu aku untuk mempercepatnya?" "Maksudmu?" "Besok bawalah aku ke rumah besar berlantai dua itu. Siapa tahu aku bisa mengingat semuanya." "Tidak usah, rumah kita sudah dijual. Lagi pula semua kenangan di sana adalah mimpi buruk untukmu dan juga untukku." Kutatap Ayas dengan lekat. Dia tak balas menatapku. Aku yakin ada sesuatu yang tengah disembunyikannya dariku. Tapi apa? Apakah memang tentang perempuan itu? Ya Tuhan apakah dulu aku dan Ayas punya hubungan tidak harmonis karena seorang perempuan? Dadaku semakin sesak dipenuhi prasangka buruk. Lagi pula apa yang kusangkakan ini belum tentu benar. "Tolong jelaskan padaku ada apa di antara kita dulu?" "Sudah lah Nona, ini dini hari dan kamu butuh istirahat. Selamat tidur." "Kalau kamu tak mau menjelaskannya, biar aku yang akan mencari tahunya sendiri. Mungkin dengan batuan orang lain." Ayas tak lagi menanggapi dan dia keluar dari kamarku begitu saja. Meninggalkanku yang kini tercenung sendirian. Dengan pertanyaan yang tengah berkelindan dalam pikiran. Aku tidak tahu ke siapa lagi harus bertanya karena Ayas yang tahu semuanya bahkan tak mau menjelaskan. Sialan memang. Jam didinding menunjuk ke angka 02.15 dini hari. Aku menghela napas dan berusaha tertidur lagi, tapi nihil hal itu tak bisa membuat mataku terpejam. Mungkin besok saat Ayas pergi aku perlu membuntutinya. *** "Key ... Sudah diminum obatnya?" tanya Mamah saat aku baru saja selesai sarapan pagi ini. "Susah Mah." "Mamah berangkat dulu ya. Ayas sudah berangkat belum?" "Key bahkan tidak melihat Ayas." "Mungkin dia sudah berangkat dari awal, sengaja pagi-pagi untuk menghindari macet di jalan." "Mah, tolong beritahu aku di mana alamat rumah yang dulu kutemkati bersama Ayas?" "Kamu mau ke sana?" Mamah balik bertanya. "Enggak. Hanya ingin tahu saja." "Percuma Key, rumahnya kan sudah dijual." "Loh kok Mamah baru ngasih tahu ke aku?" "Mama lupa, Ayas jual rumah itu sehari setelah kamu mengalami kecelakaan." "Memangnya ada apa sih di rumah itu? Kenapa Haris dijual?" tanyaku heran. "Entah lah, Mama juga kurang tahu kenapa Ayas memutuskan menjual rumah besarnya itu. Mungkin saja dia tak mau mengingat kejadian pahit karena di depan rumah itu kamu kecelakaan, Key." "Tak masuk akal," ujarku cepat. "Jangan khawatir Ayas bilang dia sedang bangun rumah baru untuk kalian tempati." "Tapi kenapa Ayas tidak bilang padaku, Mah?" "Mungkin buat kejutan," timpal Mamah. Aku mengerling malas, semuanya serba misteri. Bahkan Ayas juga seperti lelaki misterius yang tidak pernah mau segala sesuatunya kutahui. Menyebalkan memang. "Mamah berangkat dulu ya, Key." Mama meraih tasnya lalu mendekat ke arahku mencium keningku sekilas. "Hati-hati di jalan ya, Mah." "Iya Sayang," jawabnya sambil berlalu. Setiap pagi aku akrab dengan suasana seperti ini, Mamah yang berangkat kerja, Ayas juga tapi dia perginya sering tanpa sepengetahuanku. Aku yang serharian menghabiskan waktu sendirian di rumah kadang mulai bosan, sedangkan Bu Ijah juga sibuk sekali di dapur. Ia sesekali mengantarkan cemilan ke kamar tapi tak banyak bicara. Aku meraih ponsel dan berselancar di dunia Maya, melihat beberapa postinganku sebelumnya sambil mencari tahu siapa tahu dulu aku upload foto saat di rumah besar itu. Mataku terbelalak saat menemukan satu foto di mana aku berpose di halan sebuah rumah berlantai dua. Aku yakin kalau itu adalah rumah yang dulu pernah kutemkati bersama Ayas. Hatiku lega karena kini tahu seperti apa bentuk dan warna cat rumahnya, hanya saja aku tidak ingat di mana alamatnya. Tiba-tiba saja ponselku bergetar ada panggilan masuk. Ternyata dari Ayas. [Ya hallo?] [Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.] terdengar suaranya di seberang sana. Dia juga langsung bicara tobthe point dan tanpa basa-basi menanyakan aku lagi apa. Sungguh ini ciri khas Ayas banget, dia tidak basa-basi. [Memangnya mau ngajakin aku ke mana, Bung?] [Ada lah, kamu siap-siap aja. Aku lagi di jalan menuju ke rumah.] [Oke.] Kemudian sambungan terputus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN