"Jangan khawatir, masalah Ayas biar aku yang nanganin."
"Tapi kayaknya tampang dia tidak ramah sama sekali sekarang, aku malas ada keributan." Kembali Aji berkata.
"Dia tidak akan marah di tempat umum seperti ini, percayalah," jelasku lagi meyakinkan Aji agar dia tidak khawatir. Lelaki itu diam dan kembali fokus makan. Aku melirik ke arah Ayas yang langkahnya kian mendekat. Sampai di tempatku Ayas berdiri di samping bangku.
"Pulang yuk," ajaknya dengan suara pelan. Aku lega karena Ayas tidak bicara dengan intonasi marah.
"Oke," jawabku cepat. Sebelum mendorong kursi roda yang kududuki kulihat Ayas mengangguk dan tersenyum sekilas ke arah Aji.
Sampai di mobil, Ayas tetap diam. Dia fokus nyetir tanpa bicara sepatah kata pun. Apa mungkin dia kecewa? Apa mungkin diam adalah bentuk dari emosinya yang tertahan? Aku harus berinisiatif untuk meminta maaf karena sebelumnya aku tahu bahwa Ayas tak suka aku dekat-dekat dengan Aji.
"Bung," panggilku.
"Hmmm," gumamnya tanpa menoleh. Apa dia memang benar-benar sedang marah?
"Aku minta maaf."
Ayas diam, lima detik sepuluh detik hingga lima menit berlalu dia sama sekali tak merespon permintaan maafku. Harus bagaimana merayunya?
"Bung ...." Aku meraih lengannya. Mungkin ini untuk yang pertama kali aku sengaja menyentuhnya.
Dia menoleh sekilas lalu tanpa senyum, tatapannya kini mengarah pada tanganku yang kini berada di lengan kirinya.
"Aku sedang nyetir. Kalau mau bicara di rumah aja." Kalimatnya barusan menegaskan bahwa memang dia tak ingin diganggu sekarang. Aku melepas tanganku dari lengannya dan tak ada pilihan lain selain diam. Aku tahu Ayas sedang menahan emosinya sejak ia melihatku dengan Aji di kantin tadi. Namun aku lega karena Ayas tidak menunjukkan kemarahannya di tempat umum. Satu hal yang membuatku mulai respek padanya.
Tidak berselang lama mobil sampai di halaman rumah. Ayas mulai turun dan ia berjalan memutar untuk membukakan pintu mobil lalu ia membopong tubuhku sampai ke kamar.
"Istirahat lah," ucapnya datar.
"Aku ingin bicara, bisakah kau duduk dulu di sini, Bung?"
"Aku masih ada kerjaan, belum selesai," kilahnya.
"Apa pekerjaan lebih penting daripada aku?"
"Kamu lebih penting dari segalanya, itu mengapa sesibuk apa pun aku menyempatkan diri untuk menjemputmu di rumah sakit. Apalagi Mamah bilang lewat telepon bahwa ia tak bisa menemanimu."
"Duduk lah, Bung," pintaku sambil menatapnya lekat.
"Terima kasih karena kamu telah menganggapku penting. Hanya saja tolong, tolong bantu aku untuk pulih dari ingatan yang hilang ini."
Ayas akhirnya duduk di sampingku, dengan wajah menunduk seolah menghindari tatapanku.
"Jika aku boleh meminta, kamu tak usah mengingat yang telah berlalu, Nona. Karena tentang kita mungkin akan menyakitkan bagimu."
Aku semakin penasaran, ada apa sebenarnya?
"Tapi aku ingin tahu."
"Sudah ya, aku pergi dulu." Lelaki itu mulai beranjak tapi segera kutarik lengannya agar terduduk lagi. Sialnya aku terlalu keras menarik hingga dia kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas tubuhku. Posisi ini membuatku kikuk, sejenak kami saling tatap dengan wajah nyaris bersentuhan. Aroma Woody tercium lembut di hidungku. Sepuluh detik berlalu dan posisinya tak berubah, entah siapa yang memulai aku merasakan kecupan hangat di bibirku sekilas, hanya sekilas tapi efeknya luar biasa. Jantungku nyaris terhenti. Ayas segera terbangun dan membantuku juga untuk duduk.
Kami saling diam menyadari apa yang barusan terjadi beberapa detik yang lalu. Aku tidak sedang mimpi kan? Kusentuh bibir yang masih kering ini. Kenapa tidak basah? Ah ya ampun apa yang ada dalam pikiranku?
"Maaf atas insiden tadi," ucap Ayas sedikit terbata. Dia menggaruk kepalanya, mungkin sedikit gerogi juga tak enak hati. Padahal aku isterinya kenapa dia harus meminta maaf? Bukan kah seandainya dia melakukan hal yang lebih dari itu juga tidak apa-apa? Astaga, apa yang kupikirkan kini? Ciuman sekilas itu benar-benar menggangu isi kepalaku.
"Kenapa harus minta maaf? Bukan kah isterimu dan kamu berhak melakukan itu," ucapku tiba-tiba.
"Karena aku takut kamu tidak suka dan tak berkenan."
Ya ampun ternyata Ayas sesopan itu, kian hari aku merasa dadaku berdebar saat ada di dekatnya. Entah mengapa aku ingin melakukan lebih dari hal yang tadi, apa hormon dopamine ini sedang meningkat? Lalu aku mendekat dan mencuri pipinya dengan satu kecupan hangat. Ayas menoleh dan menatapku lekat.
"Kenapa? Kamu keberatan aku cium?"
"Enggak, aku senang," sahut Ayas cepat. Senyumnya mulai terbit dan menambah tampan wajahnya. Entah mengapa sekarang menatap mata tajamnya yang berbinar itu aku suka.
"Apakah sebelumnya kita tidak pernah melakukan kontak sedekat ini?" tanyaku penasaran.
Atas menggeleng, "tidak."
"Hah? Suami istri macam apa kita ini sebenernya? Jangan bilang bahwa ciuman tadi adalah ciuman pertama kita."
"Memangnya yang tadi itu kamu ingin ciuman kita yang ke berapa?"
"Jawab aku, Ayas."
"Hmmm iya."
"Apanya yang iya?"
"Ya itu tadi ciuman pertama kita."
"Astaga," ucapku tak menyangka. Kemudian dalam pikiranku terbayang hal yang tidak-tidak.
"Kamu normal apa tidak sih?" tanyaku lagi dan menatap curiga ke arah Ayas. Laki-laki itu tertawa.
"Kamu meragukanku, Nona?"
"Ya wajar kan aku ragu? Katanya hubungan pernikahan kita sudah hampir dua tahun tapi aku barusan tahu bahwa ciuman kita yang tadi adalah ciuman yang pertama kali."
"Karena … Aku ingin kita bisa melakukannya dengan tulus."
"Hei … jelaskan padaku apa kita bermusuhan sebelumnya?"
"Bisa iya bisa enggak."
Jawaban Ayas membuatku gemas.
"Kamu sebenernya cinta nggak sih sama aku, Bung?"
"Sangat," jawabnya singkat.
"Lalu kenapa selama ini kamu tidak menyentuhku?"
Dahi Ayas mengernyit, dia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
"Jangan bilang kamu ingin disentuh aku sekarang," ucap Ayas.
"Memangnya kenapa?"
"Tuh kan, kamu hari aneh."
"Bukan aku yang aneh tapi kamu," elakku tak mau kalah.
"Aku mandi dulu kalau gitu." Ayas kembali beranjak dan aku menarik tangannya lagi agar dia jangan pergi dulu sebelum aku selesai bicara.
"Apa sih?" tanya Ayas pelan, matanya yang telah satu itu menatapku lekat. Jujur ditatap dengan pandangan seperti itu membuat jantungku kembali bertalu.
"Kamu tuh sebenernya ngerti nggak sih perasaan perempuan? Aku gak nyangka aja gitu ada lelaki macam kamu yang …." Kalimatku terhenti karena kini Ayas membungkam mulutku dengan ciuman.
Beberapa detik yang membuatku semakin kikuk dan tak siap menerima penyerangan ini, namun semakin lambat laun aku merasakan pagutannya lembut dan menuntut. Ya Tuhan apa yang akan Ayas lakukan setelah ini? Apa mungkin dia akan melakukan kewajibannya?
Aku nyaris kehabisan napas karena merasakan sensasi yang aneh. Lebih aneh lagi saat tangan besarnya sudah bergerak ke mana-mana. Aku menikmati semua ini tapi kemudian merasa kehilangan saat Ayas diam membeku dan pelan-pelan menjauhkan dirinya. Kenapa? Aku hanya mampu bertanya-tanya dalam hati. Bukan kah dia berhak untuk melakukan hal ini?
"Maaf tadi aku tak bisa membendungnya." Ayas menggigit bibirnya lalu ia segera beranjak dan melangkah pergi ke arah kamar mandi. Bunyi shower dan air jelas terdengar, dia sedang mandi padahal yang kami lakuakntadi hanya sekedar ciuman layaknya suami isteri. Apakah dia gerogi? Entah mengapa aku menginginkan hal yang terjadi tadi kembali terulang lagi. Astaga apa mungkin memang dopaminku tebagh meningkat?