Hari ini jadwal Reya adalah berkemas kemas, karena ya sore nanti dia sudah memantapkan diri untuk kembali ke apartment nya setelah lebih dari dua minggu di tinggalkan.
Huft, sejujurnya berada di rumah orang tuanya juga tak seburuk itu, masih nyaman-nyaman saja lah, asal tidak ada pembahasan pernikahan, karena kalau 'kata' itu sudah muncul rasa ingin kabur Reya bisa tidak terkendali.
Reya mendesah melihat barang barang yang akan dia angkut menuju apartment-nya, dia tak menyangka, kalau barang bawaannya sudah ada dua koper full sampai sulit di tutup, padahal perasaan saat datang kemari dia hanya membawa seadanya loh.
Okay, Reya sadar, ini semua juga karena hasil jemari kalap dirinya yang tidak henti hentinya men-skroll aplikasi belanja dan berlanjut men-checkout-nya. Sekarang terbukti, Reya jadi kesusahan untuk packing. Mulai dari baju, sepatu, sampai buku ada di sana.
"Aish,"
Pasrah karena kopernya tidak dapat di tutup meski sudah dengan banyak usaha pemaksaan, akhirnya Reya memutuskan akan memasukkan kardus saja sebagian, seperti para sepatu-sepatunya tersebut.
"Sayang,"
Panggilan itu tak membuat Reya berniat menghentikan aktifitasnya mengeluarkan barang-barang yang sempat masuk koper _dia memang hendak menata ulang juga_.
Walau padahal suara tersebut berasal dari Gita mama Reya, yang saat ini baru saja tiba dan mulai berjalan gontai memasuki kamar Reya, tapi Reya tidak sekalipun menyambut nya.
Raut wajah mama Reya sendiri tidak terlihat cukup baik, bahkan Gita lebih ke cemberut sampai membuat bibirnya maju sedikit.
"Reya," panggil mama Reya lagi untuk kedua kalinya, mungkin karena anaknya tidak mau menyahut.
"Hm," Dan karena itu akhirnya Reya pun bersuara, walaupun hanya sebuah gumaman dan tanpa menoleh. Dia masih fokus dengan pekerjaannya melipat baju bersih untuk di masukkan ke dalam koper lagi.
"Besok aja ya,"
Waupun ucapan itu terkesan tidak jelas, tapi Reya sendiri sudah paham betul ke mana arah maksud mamanya. Apalagi kalau bukan tentang keputusan Reya untuk kembali ke apartment.
"Enggak ah ma, ini Reya udah molor dari jadwal terlalu lama loh," balas Reya, lagipun dia sudah memiliki kerjaan yang harus di kerjakan, dan Reya tidak suka mengerjakannya di rumah ini, dia ingin di tempat tenang macam apartment saja.
"Tapi kan __"
Reya menyela mama nya yang berbicara, "Ada Reno ma,"
"Huhu beda, kamu tinggal di rumah aja kenapa sih," Mama Reya hanya bisa berharap anaknya tersebut mau berubah fikiran atas bujukannya. Waupun faktanya itu sulit, karena kalau Reya sudah memutuskan hal itu akan sulit di ganggu gugat.
"Enggak ah ma," Kan benar Reya tidak akan mau berubah fikiran.
"Janji nggak bahas nikah nikah an deh,"
Prettt ...
Reya mendengus, cih, pasti itu akan menjadi janji palsu, bukan sekali dua kali mamanya berjanji tapi faktanya sampai sekarang dia masih sering membahasnya, lagi, lagi, dan lagi.
"Nanti aku sering-sering mampir deh," Meski begitu Reya juga tetap harus membuat mamanya mengikhlaskan dirinya pergi, agar Reya juga tidak kepikiran atau malah agar tidak terjadi hal yang tak di inginkan hanya karena mamanya tidak Ridho anaknya pergi. Padahal kalau difikir-fikir, Reya juga tidak tinggal terlalu jauh dari mamanya, masih berada di kota yang sama, dan hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah. Kalaupun berkunjung itu memang bukan hal sulit.
"Halah bohong, kalo nggak mama telfon dulu kamu mah mana pernah dateng."
Haha, tapi begitulah faktanya, meski berjarak dekat, untuk sering mampir Reya juga tidak bisa, apalagi Reya tipikal orang yang malas keluar keluar kalau tidak ada yang urgent ataupun karena keinginan hatinya sendiri. Mungkin karena pekerjaan Reya yakni menulis yang membuatnya malah dan lebih nyaman di kamar menghadap laptop.
"Ya maap, Reya kan lupa,"
Lupa dan malas beda tipis bukan?
Mama Reya melengos kesal, "Sama mamanya sendiri kok lupa, cih."
"Iya iya, maap Reya salah nggak lagi-lagi deh."
"Awas aja, mama teror kamu biar sering-sering pulang," Gita sama mengancam seperti itu. Dan sudah di pastikan ancaman itu akan benar di lakukan nanti.
Reya menoleh sekilas untuk melihat wajah sang mama, lalu mengangguk setuju, "Iya teror aja sana."
Tidak ada cara lain kecuali mengiyakan. Kalaupun di teror nanti, itu urusan belakang yang pasti saat ini Reya harus bisa membuat mamanya ikhlas atas kepergiannya.
"Hm,"
Setelah itu tidak ada percakapan antar keduanya, Reya fokus menata barang, sedangkan mama Reya juga tidak berniat keluar dan malah duduk di ranjang Reya seraya memandangi sang anak.
Mama Reya terdengar berdehem pelan sebelum memecah keheningan di sana, "By the way, dua atau tiga minggu lagi tetangga mau lamaran loh ...,"
'Terus kamu kapan,' Kalau bisa melanjutkan sudah Gita lanjutkan kata-kata itu, hanya saja dia tidak mampu, sebab takut malah akan membuat anaknya sulit di jangkau lagi saking keenakannya tinggal sendiri di apartment.
"Mulai mulai," Rupanya Reya cukup sadar akan arah niatan mamanya. Untung Gita tidak benar-benar melanjutkan.
"Eh kenapa? Jangan su'udzon dulu ya. Mama mah nggak bahas kamu." Ngeles adalah keputusan yang tepat.
"Masa iya," Reya mencibir.
"Dih, orang mama mau ngomong kalau anak tante Amel, Ana mau lamaran."
Deg ...
Reya yang mulanya ogah-ogahan berbicara dengan mamanya, seketika langsung menolehkan kepala, atau malah malah membalik badan sepenuhnya. Jangan lupakan matanya yang membulat penuh keterkejutan.
"Eh, serius?"
Bagaimana Reya tidak terkejut, kalau dirinya saja tau jika Ana anak tante Amel adalah kekasih dari pria menyebalkan yang tempo hari menciumnya. Benar bukan pria itu, Reya saja melihat keduanya berpelukan mesra di depan rumah sebelumnya.
Aishh sialan! Reya jelas makin tidak terima bibirnya telah di renggut paksa oleh calon suami tetangganya sendiri. Cih, mungkin kalau di jadikan ftv channel ikan terbang, judulnya itu seperti 'Ciuman pertamaku, suami tetanggaku,'.
"Kok kaget sih?" Mama Reya sendiri juga mengerutkan kening bingung akan reaksi anaknya yang tidak biasa, bahkan lihat lihat, sekarang saja raut anaknya nampak begitu kesal dan di tekuk dalam.
Reya mendengus lalu hendak memutar badan kembali untuk menghadap barang-barangnya tersebut, "Ya udah sih, kan cuma tanya akunya. Lagian si Ana udah ada cowok juga kan,"
Reya berusaha bersikap se-biasa mungkin, tapi mama Reya tidak berfikir demikian, dia malah makin menyipitkan mata merasa sangat aneh. Alasan apa yang membuat anaknya bersikap seperti itu?
Di dalam hati memang Reya masih menyumpah serapahi pria itu. Sialan, pria menyebalkan itu malah mau menikah. Anjing, ingin sekali Reya mengumpatkan segala sumpah serapah dalam hatinya itu menjadi kenyataan tepat di depan wajahnya.
"Emang kamu tau dia nikah sama siapa?" tanya Gita akhirnya.
"Tau," Reya pun menjawab dengan malas, sangat sangat malas sampai rasanya dia tak ingin membuka suara akan pembahasan itu.
Sedangkan Gita tentu saja terkejut, dia bahkan belum memberi clue sama sekali pada anaknya, dia saja shock ketika di beri tahu tentang siapa calon suami Ana, "Lah serius?"
"Iya,"
Sulit di percaya,
"Emang Nopal kapan kasih tau kamu?"
Eh,
Reya sampai kembali menoleh ke arah mamanya.
"Kok Nopal?" Bingung setengah mati, kenapa juga Naufal _sepupunya_ itu harus di bawa-bawa.
Mama Reya tak mengerti arah pemahaman anaknya. Bagaimana Reya tau tentang calon suami Ana, kecuali di beritahu si calon suami Ana sendiri, yakni Naufal _atau Nopal itu_. "Ya kan Ana lamarannya sama Nopal."
Duarrr ...
Reya shock bukan main.
Tentu saja ...
Bahkan Reya sampai menganga tidak percaya, makanya dia buru buru mengatupkan bibir setelah sadar akan tingkahnya.
"Kok bisa?" tanya Reya masih dalam keterkejutan yang mendera.
"Ya bisalah, namanya juga jodoh." Gimana sih Reya ini, pikir Gita.
"Tapi kan ..." Reya hendak berbicara, tapi setelah sadar akan apa yang hendak dia ucapakan, dia memilih tidak melanjutkannya, bisa berabe kalau dia malah berbicara kemana-mana. Apalagi membahas pria menyebalkan itu kepada mamanya.
Dahi mama Reya berkerut dalam lagi, "Tapi kenapa?"
"Nggak jadi,"
Lah ...
"Aneh banget kamu,"
Reya tak memperdulikan tanggapan mamanya yang telah menganggap dirinya aneh. Reya memilih memalingkan wajah lagi menjadi memunggungi mamanya sepenuhnya.
Ck, sial ... Rupanya alasan pria menyebalkan itu menciumnya adalah sebagai bentuk pelampiasan kalau pria itu mau di tinggal nikah pacarnya. Tidak heran sih dia frustasi, tapi bukan Reya juga dong!
"Aishh ... Tauklah. Pasti tuh cowok emang ngeselin abies, kelihatan banget dari tingkahnya, makanya di tinggal nikah." Gerutuan itu Reya dibuat sepelan mungkin, agar sang mama yang masih duduk di pinggiran ranjang tidak dapat mendengar.
Reya pun melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda. Tapi lagi lagi, untuk kesekian kalinya dia teringat lagi oleh sesuatu. Yakni ciuman dengan cowok sialan itu.
Arggh ...
Reya bisa gila kalau terus-terusan begini, dikit dikit inget dikit dikit inget, aishh ... Sedikit pembahasan yang ada kaitannya dengan pria itu saja Reya sudah ke trigger.
Reya tak tau pasti alasannya apa ... Tapi ini mungkin ...
Dendam!
Yups!
Sepertinya Reya terus teringat, di karenakan dendam kesumat pada pria itu belum juga terbalaskan.
Okay! Reya memang perlu menguatkan diri lebih lebih lagi, jadi ketika bertemu dengan pria itu nanti, setidaknya dia bisa melayangkan satu tamparan keras pada pipi kiri pria itu. Ah atau dua kali ya, atau tiga kali Malah? Haha, sungguh Reya tidak perduli berapa banyak nanti Reya akan menampar, tapi yang pasti dia akan bekerja keras untuk membukakan tekat menampar.
Pasti bisa!