"Sayang, jangan berangkat ya, please, besok aja,"
Reya hanya dapat memutar bola matanya malas mendengar hal itu, yang tentu saja tanpa di ketahui sang pembicara, siapa lagi kalau bukan mamanya.
Sore ini memang waktunya Reya untuk melaksanakan niatannya, yakni pulang ke apartment, sayangnya, mama Reya masih saja tidak ikhlas di tinggal snag anak, sampai merengek seperti itu belasan kali. Yakali tidak jadi, sedangkan persiapan yang Reya lakukan saja sudah 100 persen, dia juga sudah memasukkan semua barang barangnya ke dalam bagasi juga mobil di bagian kursi belakang.
"Besok Reya mampir deh," ucap Reya agar mamanya sedikit tenang.
"Halah,"
"Nanti juga kalo acara tunangannya si Nopal aku juga bakal ke sini kan, katanya di rayain di sana," Reya pun juga menunjukkan arah rumah tetangganya di depan sana _memang saat ini mereka tengah berkumpul di teras rumah_.
Lagipun, ucapan Reya tersebut bukanlah kebohongan belaka, karena sudah pasti kalau nanti sepupunya itu menikah, dia juga akan datang.
"Iya sih ... Tapi masih lama." Mama Reya memanyunkan bibirnya. Tidak perduli jika tingkah nya tersebut akan di anggap kekanak-kanakan oleh kedua anaknya tersebut. Hei, Gita hanya melakukan selayaknya ibu yang menghawatirkan anak ya.
"Enggak kok, bentar kalo enggak di pikirin mulu," Reya terkekeh pelan.
Tapi lagu lagi mama Reya malah mendengus, "Kamu mah,"
Reya kembali terkekeh sebentar, sebelum beralih dari mamanya menjadi menghadap papanya yang duduk di kursi teras _bersandingan dengan Reno gang juga duduk di sana bermain ponsel_.
"Yaudah ya pa, Reya pamit,"
Reya menyodorkan tangan kanannya hendak mengajak salim papanya tersebut. Dan papanya _Aris_ yang paham langsung memberikan tangan untuk di salimi anaknya.
"Iya hati hati sayang," Aris mengelus dua kali kepala anaknya ketika Reya menunduk untuk mencium punggung tangan miliknya.
"He'em,"
Dan setelah itu Reya kembali menegakkan tubuhnya lagi. Menjadi ganti menghadap Reno, si adik begajulan yang menyebalkan.
"Ren, jan bandel-bendel loh," celutuk Reya meski Reno saat ini fokus dengan ponsel.
Rupanya Reno tetap mendengarkan, dia sontak saja mengangkat pandangan dari ponsel menuju wajah kakaknya seraya menurunkan ponsel. "Ye, gue anak baik kali," tidak terima lah dirinya di anggap bandel oleh kakak perempuan jomblonya itu.
Kalau saja Reya tau apa yang di pikirkan adiknya, yakni jombla jomblo, sudah pasti Reya akan mengamuk. Karena menurut Reya jelas, Jomblo itu tidak salah, menjadi jomblo adalah pilihan, jadi jangan pernah jomblo shamming seperti itu.
Haha, belum tau saja Reya, kalau motto 'jomblo adalah pilihan' hanya berlaku untuk orang-orang yang good looking, beda cerita dengan kaum burik _maaf jujur_, karena ya jomblo adalah ketetapan. Dan orang orang good looking macam Reya tidak mengerti itu.
"Cih preettt ... Baik dari bagian mananya," balas Reya dengan nada mengejek.
Reno menurunkan ponselnya, dan tatapan berubah songong, "Jiah ... belom tau aja lo,"
"Dih," Reya hanya dapat memutar bola matanya malas.
"By the way, jangan sering sering mampir ke apartment gue ya lo, ngerusuh aja di sana." Ungkapan Reya ini bukanlah yg gurauan semata, melainkan kenyataan yang harus Reno turuti. Pasalnya setiap Reno datang berkunjung, apartment Reya selalu seperti kapal pecah, setelah makan tidak mau mencuci, membuang sampah sering sembarang, dan juga kamar tamu yang sering di gunakan untuk menginap bocah itu menjadi tidak karu-karuan, baju di mana-mana, belum lagi sprei yang sudah tidak berbentuk.
So, tidak salah bukan kalau Reya kesal dan tidak mengizinkan Reno datang.
"Ya biarin, haha niat gue aja besok mau ke sana," Memang adik kurang ajar Reno ini. Di beri peringatan, malah di lakukan.
"Anjir, nggak bisa ya emangnya lo jauh jauh dari gue," Kesal, tentu saja Reya kesal. Ingin sekali dia memukul wajah tidak tau diri itu beberapa kali.
Reno di sana mulai tersenyum culas, sebelum akhirnya berbicara. "Enggak lah, yakali pengen nempel mulu. c*m ya kan kalo deket lo uang jajan gue nambah, mana banyak makanan lagi, beuh, perut kenyang hati senang. Haha."
Dasar!
Memang selama ini Reya bukanlah tipe kakak yang pelit terhadap adiknya. Dia cenderung selalu menuruti permintaan adiknya, walau tau adiknya tersebut mengesalkan bukan main.
Jadi bisa dibilang, seperti kakak kebanyakan, Reya adalah kakak yang tsundere, di mulut macam petasan dan mencak-mencak tidak karu karuan, tapi beda dengan hati yang selalu soft menyayangi adiknya.
"Dasar dedemit ada maunya ternyata," Reya sudah mengangkat kepalan tangannya tinggi tinggi, berpura-pura seperti hendak bergerak memukul adiknya tersebut.
"Udah, jangan berantem mulu, mau berangkat kan." Papanya yang sedari diam dengan kepala sesekali menggeleng pun akhirnya turun tangan, dia sudah cukup jengah melihat dua saudara yang tidak pernah akur tersebut.
"Hehe iya pa," Reya menggaruk kepalanya yang tidak gatal beberapa kali.
Merasa sudah cukup berpamitan pada dua pria beda usia tersebut. Reya pun akan berpamitan dengan sang mama yang masih manyun kesal permintaannya tidak di turuti oleh sang anak.
"Ya udah Reya pamit ya ma,"
Mengulang seperti apa yang dia lakukan pada papanya, yakni menyodorkan tangan seraya menunduk. Akhirnya Reya pun mendapat tangan kanan mamanya itu.
Memang Gita tidak ada pilihan lain selain memberikan tangan untuk di salimi Reya. "Huft, nggak bisa nyegah juga kan, jadi mama cuma nitip pesen kamu baik-baik di sana, jaga diri,"
Sudah macam mau pindah ke mars aja, pikir Reya. Ya bagaimana tidak, dirinya saja masih tinggal di kota yang sama, dekat, juga sudah sedari lama dia di sana pula. Untuk apa khawatir berlebih.
"Iya ma iya," Lain hati lain di mulut, begitulah Reya saat ini.
"Mama bakal sering sering ke sana lah," ucap Gita yakin. Memang sebelum nya juga dirinya sering mengunjungi anaknya. Mungkin bisa satu minggu satu kali, mengingat kalau menunggu anaknya itu yang datang, dia juga tidak akan pernah datang, kecuali di seret oleh kata-kata panjang lebar.
"Iya mampir aja, pintunya selalu terbuka buat mama kok." balas Reya sambil tersenyum.
"Hm, iya, ya udah hati hati,"
Reya mengangguk. "Okay, Reya pamit ya,"
Semua orang menginginkannya kecuali Reno yang sudah asyik kembali bermain ponsel. Reya juga tak memusingkannya.
Dan setelah itu dia memilih langsung bergerak menuju mobil yang terparkir di pelataran depan rumah.
Reya berlanjut memasuki mobil honda brio warna putih tersebut, sebelum akhirnya menancap gas pergi meninggalkan rumah kedua orang tuanya.
Huft,
tanpa sadar Reya menghela nafas. Dia tak menyangka jika detik detik kembali ke apartment akan se-mengharukan ini. Mungkin karena melihat mamanya tidak terlalu senang kali ya.
Jalanan sore ini cukup lenggang, padahal biasanya di jam jam seperti ini banyak sekali orang yang berkendara. Tapi entahlah, Reya sendiri juga tidak tau alasannya. Dia memilih tetap mengendarai mobil dengan kecepatan sedang.
Setelah setengah perjalanan, dia pun mulai memikirkan keadaan tempat tinggalnya, yang memang kosong mlompong, tidak ada bahan makanan di apartement. Karena ya sebelum Reya balik rumah orang tua, dia sudah mengosongkan segala makanan agar tidak busuk, takut-takut mamanya akan menahan. Dan terbukti dia baru kembali setelah dua minggu lebih. Untung Reya sudah sedia payung sebelum hujan, jadi dia tidak perlu membuang buang makanan.
Setelah berfikir keras, Reya akhirnya memutuskan untuk mampir di salah satu minimarket dekat sana. Dia akan berbelanja bahan makanan untuk mengisi kulkasnya tersebut.
Dia menghentikan mobil di pelataran parkir minimarket, dan segera bergegas turun setelah mobilnya di sana benar berhenti.
Reya sendiri juga tak membawa apa-apa ketika turun, hanya dengan menenteng dompet menurutnya sudah cukup.
Dengan sebuah troli yang Reya ambil, dia pun mulai mengisi benda tersebut dengan segala bahan makanan, mulai dari mie instan, sosis, nugget, sayuran, daging, s**u, tak lupa buah buahan.
Tanpa sadar troli Reya sudah hampir penuh, padahal dirinya belum sempat membeli makanan ringan. Makanya dia memutuskan stop mengambil bahan makanan berat dan mulai bergerak menuju stan snack-snack di sana.
Namun ... Ketika baru menginjakkan kaki di area snack, dia malah di kejutkan dengan wajah seorang wanita yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu saat ini juga tengah menatap lurus pada Reya.
Karena sudah kepalang tanggung, dan tidak berniat berusaha menghindari yang takut-takut berakhir memalukan, akhirnya dia tetap meneruskan mendorong troli maju.
"Nggak nyangka ya kita ketemu di sini."
Reya lumayan terkejut wanita itu malah menyapanya lebih dulu, dia kira mereka akan bertindak seperti orang yang tidak saing mengenal.
"Ah iya nih, gimana kabar elo?" Jangan salah faham itu semua hanya sebagai bentuk basa basi busuk. Kalau tidak mengingat attitude nya yang harus di jaga, Reya ogah melakukan nya.
"Haha gue baik," Wanita dengan rambut di cepol itu tersenyum sampai matanya menyipit.
Palsu! Jelas Reya dapat memahaminya.
"Suami gue juga baik kok!" Meski Reya tidak menanyakan hal tersebut, wanita itu berinisiatif menjelaskan nya. Menyebalkan, apalagi dia berucap dengan sedikit penekanan pada kata 'suami'.
"Ah okay, kalau begitu gue permisi dulu ya." Sengaja karena ingin menghindar, Reya buru-buru mengambil snack snack asal yang berada dekat dengannya, lalu hendak bergerak pergi.
"Hm, iya. By the way, jangan lupa undang gue ya kalau nikahan. Eh, lo mau nikah kan pastinya? Buru-buru ya, takut aja nantinya lo jadi prawan tua."
Tapi kata-kata tersebut membuat Reya tadi terhenti sejenak seraya mengeratkan pegangan tangannya pada troli _erat.
Sialan!
Jelas kata-kata itu adalah sebuah bentuk hinaan terhadap Reya. Tapi tidak ada pilihan lain, selain Reya harus menahan diri dengan sekuat tenaga. "Hm, iya. Gue permisi ya."
Untuk kedua kalinya Reya berpamitan.
Dan wanita itu tersenyum, senyum miring tentu saja. "Iya silahkan."
Reya melangkahkan kaki cepat-cepat menuju kasir.
Sialan! b*****t! Kampret! Tai! Gila!
Dalam hati Reya sudah mencak-mencak tidak karuan. Dia benar-benar kesal sampai rasanya ingin menyumpal mulut bau wanita itu dengan dua botol bon cabe di trolinya.
Sialan memang, kalau tidak ada kesabaran tinggi, Reya berani mempermalukan diri untuk beradu fisik dengan wanita tidak tau diri tersebut.
Jika kalian penasaran, sebenarnya wanita itu adalah kenalan Reya saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Namanya Yosandra. Wanita dengan logat cabe cabean itu memang tidak pernah berubah sedari dulu hingga sekarang. Selalu ingin mencari gara-gara saja dengan Reya.
Awal mula perseteruan mereka itu terjadi karena itu pria yang di sukai Yosandra malah mencintai Reya.
Ardi namanya.
Jaman kuliah, Ardi memang di kenal sebagai mahasiswa populer, dengan wajah yang lumayan _mesti tetap gantengan Kazeo suami Sia kemana-mana_. Tapi Ardi sudah begitu percaya diri karena tidak memiliki saingan di fakultas.
Dan karena kepercayaan diri yang tinggi, Ardi pun mulai mendekati Reya.
Tapi sebelum Ardi bertindak jauh, dan Reya juga memang tidak pernah tertarik dengan pria itu, Reya malah mengetahui fakta kalau sebenarnya Ardi mendekati Reya hanya di karenakan taruhan dengan teman-temannya _yang menganggap Reya sebagai wanita sok jual mahal_.
Tentu saja hal itu membuat Reya sakit hati. Meski tidak menyukai Ardi, Reya tetap tidak terima. Memang dia wanita macam apa?
Reya bukan wanita bodoh ataupun si polos kutu buku biasanya, hanya saja dirinya memang tidak pernah berpacaran, di dekati pria kalau terlalu dekat pun dia juga langsung menghindar. Bagi Reya jika untuk sekedar sebagai teman sih okay. Tapi selebihnya tidak.
Saat tau fakta tersebut, Reya mengindari Ardi. Tapi sayangnya pria itu telah jatuh ke lubangnya sendiri, sampai sampai selama kurang lebih 2 tahun dia selalu mengejar-ngejar Reya, meski berakhir penolakan.
Kembali berbicara tentang Yosandra, wanita itu begitu menyukai Ardi. Sangat suka, sampai-sampai banyak dari mahasiswa saat itu mengetahuinya. Cinta segitiga tersebut sampai viral se-antero fakultas.
Makanya, setahun sebelum mereka lulus _yang entah bagaimana Ardi berakhir berpacaran dengan Yosandra_, wanita itu selalu saja seperti mengajak adu jambak dengan Reya. Di setiap kesempatan kata-kata pedas nan sindiran akan pasti keluar dari mulut berbisa Yosandra. Padahal Reya selalu diam.
Kalau menurut Reya sih, itu karena Yosandra masih menaruh dendam padanya juga wanita itu merasa bangga berhasil mendapatkan Ardi, sampai ke jenjang pernikahan pula.
Cih, untuk apa wanita itu sombong, kalau kenyataannya Reya tidak perduli. Ambil ambil saja lah pria itu, pria tidak gentle nan cenderung b******k macam Ardi apa yang mau di banggakan. Kalau masalah tampang ya masih mending pakai banget pria yang mencium Reya tempo hari lah. Eh ...
Mungkin sejujurnya hal itulah yang malah menjadi kan tekat bulat Reya untuk tidak menikah makin kental saja. Reya tidak akan menikahi lelaki, terlebih standard Reya memang terlalu tinggi. Dia takut kalau paling banter mendapat pria macam Ardi. Dih, ogah.
Huft,
Reya pun melanjutkan perjalanan ke apartment _setelah membayar belanjaan_ diiringi perasaan masih menggebu-gebu. Sampai-sampai dia mengendarai mobil dengan kecepatan cukup tinggi.
Makanya Reya pun dapat sampai di apartemen dengan cepat.
Reya memarkirkan mobil di basement. Berlanjut turun dengan segala barang belanjaan juga barang-barangnya sendiri. Dia sampai harus bolak balik 2 kali menaiki lift.
Sial,
Masih di selimuti perasaan kesal, membuat aktivitas yang semua Reya jalankan terasa makin berat saja.
Apalagi ketika sampai di apartement, Reya malah di haruskan untuk membersihkan unitnya yang nampak kotor setelah di tinggal dua minggu lebih.
Sial!
Pekerjaan nya makin berat hanya karena si sialan Yosandra!
Cih ...
Menikah?
Perawan tua?
Haha, bisa bisanya si sialan itu berkata begitu pada wanita mandiri yang sudah sukses di umurnya yang ke 26 tahun ini. Memangnya Reya seperti Yosandra, yang hanya membuka telapak tangan mengemis pada suaminya itu, bukan hanya mengemis cinta tapi mengemis uang juga.
Huh, awas saja, Reya akan membuktikan prawan tua pun tidak masalah asalkan ada uang. Dia tidak butuh laki-laki! Dia tidak akan pernah di sentuh makhluk bernama pria.
Eh,
Tapi ...
Sepertinya Reya lupa kalau dirinya bahkan sudah pernah di sentuh, di cium malah-malah oleh laki-laki.
"Aishh, sial." Kenapa ingatan menyebalkan itu harus kembali muncul saat Reya masih menggebu-gebu seperti ini sih.
Sialan!