Tercekat,
Sungguh saat ini Reya sampai kesulitan bernafas saking tidak bisanya berkata kata. Yang padahal sekarang mereka berdua _Reya dan Dhini_ sudah tidak berdiri di trotoar lagi, melainkan beralih tempat menjadi ke pinggir emperan mini market dan duduk di salah satu bangku kosong yang di sediakan di sana. Bukan inisiatif Reya tentu saja, melainkan karena Dhini yang memutuskan menarik temannya yang seperti orang linglung tersebut.
Jujur saja hingga saat ini pun, Reya masih teramat shock dengan semua fakta yang di katakan oleh Dhini tadi.
Tidak mungkin!
Karena kenyataanya Reya juga masih menyangkalnya.
Tidak mungkinkan kan bos besar yang katanya Dhini memiliki sifat dingin nan cuek pada segala hal kecuali pekerjaan, malah berani membawa gadis asing ke dalam kamar hotel mewah? Belum lagi dia berani menggantikan bajunya! Oh jangan lupakan ini yang paling menyebalkan, yakni orang itu juga telah mencium secara sepihak.
Jadi tidak mungkin kan? Benar kan?
Secara tiba-tiba, Reya tertawa miris terkesan di paksakan di sana. Persis seperti orang depresi. "Haha ... bo'ong kan lo Dhin," ucap Reya selanjutnya.
Dhini pun hanya dapat menganga mendengarnya, setelah hampir 5 menit berlalu sejak Dhini berteriak tadi. Bisa bisanya Reya baru berucap, dan malah meragukan semua fakta nya lagi.
"Emang wajah gue mirip orang bercanda. Belom lagi, udah sejauh ini ya kali gue cuma nge-prank!" Dhini tak ngegas seperti tadi, dia hanya berucap jengah dengan pandangan lurus ke arah jalanan ramai depan sana.
Reya yang juga tengah menatap seperti yang Dhini lakukan pun mulai mencebikkan bibir lagi. Raut wajahnya benar-benar sudah tidak terkendali, ditambah rambutnya sudah tidak se rapi ketika berangkat, sebab dia sempat mengacak rambutnya beberapa kali saking tertekannya.
Gilak!
"Lo emang nggak bercanda." ujar Reya dengan berat hati. Sejak awal dia memang tau betul kalau temannya itu berkata jujur, dirinya saja yang tidak mau mengakui kebenaran tersebut.
"Emang enggak, dia beneran bos gue," balas Dhini melanjutkan.
Okay ... Reya harus tenang. Dalam keadaan seperti ini dirinya harus bisa tenang dan mengendalikan keadaan.
Tapi ... Bagaimana dia bisa bersikap demikian!
"Sial, hiks terus ini gimana!" Reya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia sangat tertekan.
Dhini tak bisa melakukan lebih, dia memilih menghela nafas cukup panjang sebelum menjawab, "Lo udah nampar dia, ngeguyur dia pake kopi," tekan Dhini mengingatkan kesalahan temannya itu.
Reya sontak saja menurunkan tangannya yang menutupi wajah, dan langsung menatap Dhini penuh, "Jangan di perjelas dong, terus harus gimana ini Dhin."
Kepala Dhini bergerak pelan ke kanan dan ke kiri beberapa kali, "Nggak tau, gue pusing!"
Mendengar hal tersebut, Reya pun mau tak mau kembali mencebikkan bibirnya, "Hiks, nangis nih gue." Sungguh saat ini Reya ingin menangis saja rasanya. Hanya saja tengsin juga kalau nangis keras keras atas kesalahannya sendiri, mana tadi yakin sekali lagi ketika menampar sekuat tenaga. Lagi pun air mata Reya juga seperti tidak ingin keluar kalaupun di tangis kan.
"Shhh ..." Dhini mendesah kasar, ikut frustasi atas kesalahan yang menimpa temannya itu. "Kayaknya dia bakal dendam." Yups, itulah yang Dhini fikirkan sejak tadi, bosnya akan bertindak sesuatu, mengingat Dhini sebagai karyawan di sana sangat tau betul bagaimana sifat seorang Ronaldo Rivendra. Dingin, kejam, dan bringas dalam menghukum orang-orang yang telah berbuat kesalahan kepadanya, baik kecil maupun besar. Dan menurut Dhini kesalahan Reya termasuk ke yang fatal.
Hanya saja Dhini seperti melupakan, jika kesalahan terakhir Reya yakni menumpahkan kopi pada orang tinggi tersebut, sama sekali tidak ada pembalasan lebih, malah yang ada bosnya itu membiarkan para karyawan bergosip ria sampai rumornya reda sendiri. Jelas sangat aneh untuk ukuran orang yang kejam sebelumnya.
"Huwaa jangan ngomong gitu anjir!" Reya memekik lagi tidak tahan, bukannya menenangkan temannya itu malah berucap yang makin membuat perasaan Reya kalut bukan main. Bahkan Reya melupakan fakta kalau saat ini dia tengah berada di tempat umum, alhasil sebab pekikannya yang tak terkendali, membuat beberapa orang yang juga duduk di bangku-bangku samping menoleh ke arahnya.
"Itu kemungkinan besarnya Re." Dhini sengaja berucap jujur, dia tak ingin menutup nutupi segala kemungkinan buruk yang terjadi, setidaknya agar Reya tidak berekspektasi lebih nantinya. Reya harus siap jika berada di kondisi terburuk.
Hiks ...
Apakah Reya perlu menangis betulan,
"Gimana nih, tapi kan dia juga yang mulai, dia nyium gue, dan gantiin baju gue tanpa izin." Reya harus tetap membela diri, sebetulnya kalau di fikir fikir lagi, memang bukan dirinya saja yang salah, melainkan pria menyebalkan yang kata Dhini adalah bosnya itu juga lah yang salah. Intinya semua kesalahan bermula dari bos besar menyebalkan itu. Titik!
"Lo juga nampar dia dan ngeguyur dia, mana di depan umum, malunya double. Malah kalo di pikir dia juga nyelamatin lo dari kemaluan mabuk di pesta, buat gantiin baju karena lo muntah kan," balas Dhini sedikit menggebu-gebu tanpa sadar, seolah tidak terima bosnya di jelek-jelek kan. Padahal sih tidak begitu maksud Dhini. Sedangkan untuk urusan mencium, Dhini juga bingung alasannya, Dhini tidak paham kehidupan di balik layar bosnya itu.
"Kok lo jadi belain dia, gue kan temen lo," Reya yang mulanya sudah hampir menangis itu pun merubah raut wajahnya menjadi kesal karena penekanan yang Dhini berikan.
Dhini menoleh cepat pada Reya, "Iya iya maaf, gue pusing ini,"
Tolong pahami, keduanya memang tengah dalam keadaan tak baik. Yang satu memikirkan nasib sendiri, sedangkan yang satu lagi memikirkan nasib temannya.
"Sama, hiks. Mana tangan gue masih panas." Reya kembali memberenggut sambil mengangkat kedua tangannya, dan melihat bagian telapaknya yang masih memerah serta cukup bengkak tersebut. Padahal kalau menurut pandangan Reya tadi kedua pipi bos Dhini tidak terlihat terlalu semerah ini. Tapi yakali si pelaku malah lebih mengenaskan dari sang korban.
Sial, sakit banget!
"Lo namparnya keras banget soalnya." Dhini menanggapi, dia bahkan melihat jelas bagaimana sesi Reya menampar, ck itulah yang membuat Dhini tak bisa menahan bibirnya untuk tidak menganga berkali kali tadi.
"Emang iya?" tanya Reya dengan nada memastikan.
"Lo masa nggak sadar sih. Suaranya aja menggelegar gitu. Plak nya itu loh, udah kayak petir." Walaupun kata kata Dhini jelas sengaja di hyperbola kan, tapi sungguh memang se-keras itu Reya menampar, sampai semua mata yang bahkan duduk di ujung ujung sekalipun mau tak mau ikut menoleh saking kerasnya.
"Emang keras banget sih," Akhirnya Reya sadar diri kalau memang tamparannya teramat keras.
Setelahnya tak ada percakapan lagi di antara mereka. Reya memilih merenung, sebelum akhirnya Dhini kembali membuka suara untuk memulai percakapan.
"Yaudah sekarang gimana?" tanya Dhini. Kan tidak mungkin juga mereka terus di sini dan merenungkan kejadian yang sudah terlanjur terjadi.
"Pulang," jawab Reya lemas. Dia sudah tidak ada pilihan lain selain kembali dan merebahkan dirinya di atas ranjang, berlanjut overthinking sepanjang malam.
"Nggak jadi makan?" Dhini masih balik bertanya hanya sebagai bentuk basa basi. Jujur saja kalau tidak jadi makan pun dia malah senang bukan main, makan steak maksudnya. Dompetnya utuh bestie, dan tak harus membayar makanan mahal tapi porsi dikit itu.
Reya mengangguk penuh keyakinan di sana. "Ya kali gue masih bisa nelen makanan, nelen ludah aja susah." Bullshit, Reya kalau di sodori pasti tetap memakan sebetulnya.
"Iya juga sih." Dhini berusaha keras untuk menutupi kesenangannya itu, tidak mau terlihat cukup bahagia di atas penderita temannya. Tapi ya bagaimana lagi, siapa sih yang tidak bahagia kalau tidak jadi merogoh kocek dalam.
Mereka kembali terdiam lagi. Sudah berkata untuk lanjut pulang, Reya sendiri malah tak ada pergerakan, wajah Reya nampak murung.
"Re kayaknya lo harus hati-hati." Tiba tiba Dhini berucap lagi, ketika dirinya teringat sesuatu.
"Kenapa?" tanya balik Reya tanpa melihat ke arah Dhini.
Pake di tanya lagi ... Sejujurnya harusnya ini sudah terpikirkan sejak awal sih.
"Dia dari keluarga Rivendra soalnya Re, sekali jentikin jari aja udah bisa buat keinginan dia terkabul." Jelas Dhini akhirnya.
Dan sontak saja Reya pun mengangkat pandangan menjadi melihat Dhini. "Jangan bikin gue makin parno anjir." Ingin sekali Reya memukul temannya yang tidak perhatian itu. Sudah se-cemas ini masih saja di tambah tambahi.
"Ya gimana ya," faktanya begitu kan.
Reya pun jadi kepikiran sesuatu. Dia mengepalkan kedua tangannya dan mencondongkan badan mendekati Dhini. "Kalo gue tiba tiba ngilang, berarti lo harus cari gue ya. Kalo gue mati, berarti dia yang bunuh gue!" ucap Reya membuat Dhini terperangah.
Ke overthinking an Reya rupanya sudah menjalar ke akut. Tapi ya kemungkinan hal itu bisa saja terjadi bukan, menginginkan status dan sifat bos yang selalu Dhini cerita kan. So, bisa saja Reya tak selamat.
Dhini mendengus, "Nggak se-sadis itu juga kali." Berlanjut memutar bola matanya malas, tak menanggapi serius kata-kata Reya. Meski bosnya sadis, Dhini tau betul kalau bosnya tidak akan sampai bertindak jauh macam menghilangkan nyawa.
"Tapi kalo beneran, lo harus wakilin gue buat bales dendam!" Reya tak mau kalah, dia tetap harus berjaga-jaga. Setidaknya sedia janji Dhini sebelum semuanya terjadi.
"Eh," Dhini mengernyit seraya menggaruk tengkuknya, tak bisa mengatakan apa apa.
Tanpa sadar sebenarnya posisi badan Reya makin makin condong ke arah Dhini, membuat sang empu harus memundurkan badan sedikit. "Pokoknya harus. Kalo enggak, gue bakal gentayangin elo."
"Kok jadi gue," Dhini tak terima ikut di bawa-bawa. Mana ini urusannya dengan atasan lagi. Ck, sudahlah overthinking Reya memang tidak akan pernah terjadi juga.
"Ya iya lah, lo kan nggak mau bantuin temen sendiri." balas Reya tak mengurangi nada menggebu-gebu nya, setidaknya saat ini dia tidak nampak tertekan lagi.
"Aish, udah ah udah. Overthinking nya jangan ketinggian," putus Dhini akhirnya.
"Ya kan jaga-jaga," Reya masih ngotot akan pemikiran nya.
Ck, mau tak mau Dhini pun mengiyakan agar cepat clear. "Iya deh iya."
"By the way, gue masih kaget, kalo ternyata selama ini bos gue orangnya." ucap Dhini melanjutkan, dia sengaja untuk mengalihkan pembahasan, juga karena dia ingin mengatakan keresahannya tersebut.
"Apalagi gue," balas Reya. Dia jauh lebih terkejut loh di sini, mengingat dia juga baru tau kalau yang terkena tumpahan kopi adalah orang yang menciumnya, bos Dhini sendiri.
Dhini berdecak beberapa kali, "Dia itu cuek banget loh Re. Kayak nggak ekspek aja. Emang beneran dia nyium elo dulu?" tanyanya yang mana hal itu membuat Reya sontak mendelik.
"Anjir ... Ya iyalah," Bisa bisanya Dhini meragukan aktivitas ciuman itu, yang padahal sudah berkali kali Reya katakan kalau bibirnya telah di embat orang itu.
"Ya udah sih santai." Dhini mencibir melihat Reya yang ngegas bukan main.
Setelah itu pun tak ada percakapan lagi antar keduanya. Reya memilih diam yang rupanya kembali meratapi nasibnya yang entah bagaimana kedepannya.
Ck,
Sepertinya Dhini harus bertindak. Sejujurnya Dhini juga sedikit khawatir jika mereka memutuskan pulang cepat dalam keadaan yang tak baik, bisa-bisa temannya itu malah mengurung diri di kamar. Maka dari itu lebih baik dia harus menyenangkan hati Reya, dengan cara memulainya dari perut tentu saja.
Karena memang hanya makanan yang dapat membuat mood temannya itu kembali naik. Meski mungkin hanya sedikit sih.
"Ya udah kita makan di sini aja ya," Dhini berucap seraya bangkit dari tempatnya.
Ucapan Dhini tersebut membuat Reya yang mulanya menunduk menjadi mendongak menatap temannya itu.
"Apa?" tanya Reya pelan.
"Lo laper kan?" Dhini malah balik bertanya.
Tentu saja Reya mengiyakan. Nyatanya perutnya sudah keroncongan sebab dari siang belum terisi apapun. "He'em,"
"Gue beliin 5 cup mie deh," Dengan begitu percaya diri, nan membusungkan sedikit dadanya Dhini berucap.
Hanya saja Reya malah diam saja tak menjawab, dia menatap Dhini dengan kedipan mata beberapa kali.
Dhini mengerutkan dahi, okay dia memutar otak. Sepertinya kurang hm? "Sama cemilannya,"
Rupanya Reya masih tak menjawab,
Sial sepertinya Dhini mulai tau ke mana arah niatan otak bulus Reya saat ini.
Tapi Dhini tak ada pilihan lain ...
"Sama minuman sama makanan instan lain," Dhini pun menunggu jawaban Reya dengan harap harap cemas. Pasalnya penawaran ini menurutnya sudah mentok tok! Tidak bisa tambah lagi. Bisa-bisa total yang harus dia bayar malah melebihi makan daging wagyu nanti. Tidak! Dhini terlalu lebay, tetap murah pakai banget makan di minimarket kok.
"Okay," Reya setuju meski wajahnya tak menunjukkan ke excited an di sana.
Hadeh, harusnya Dhini sadar kalau memang dasarnya Reya tetap lah Reya, dalam keadaan apapun wanita itu harus mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Tunggu di sini," ujar Dhini berpamitan.
"Hm,"
Dhini pun akhirnya pergi meninggalkan Reya di sana sendiri, setelah mendapat jawaban dari temannya tersebut, dan wanita itu mulai memasuki area dalam minimarket untuk membelikan semua yang dia janjikan tadi.
"Huft," Setalah Dhini benar-benar pergi, Reya malah berkali kali menghela nafas berat. Sejujurnya walaupun dia mungkin sudah mulai menerima fakta tadi, tapi tetap saja ada perasaan takut yang mendera di dadanya, dan mungkin akan sulit hilang meski nanti dia sudah mengisi perut penuh.
"Sial mulu ya gue," Gumaman terdengar sangat tertekan.
Reya pun hanya dapat seperti itu sampai Dhini datang kembali dengan bolak balik membawa makanan yang dia beli.
Namun, siapa sangka jika tingkah keduanya terutama Raya saat ini tengah menjadi pusat perhatian dua pasang mata yang berada tak jauh dari sana. Sungguh sejak awal kedatangan pria dengan jas Abu-abu itu terus saja menatapi Reya.
"Ck,"