CHAPTER 11 - PANGGILAN ANEH

2883 Kata
Dan benar seperti perjanjian tadi, akhirnya jam 7 malam yang lebih mirip hampir pukul 8 malam Reya dan Dhini pun tiba bersama di salah satu cafe yang mereka tuju. Dari luar saja mereka berdua sudah dapat menilai, kalau keadaan dalam cafe tidak bisa di bilang sepi, malah malah sangat ramai seperti yang di beritakan di sosial media. Ya beginilah resiko pergi ke tempat viral. Jadi baik Reya maupun Dhini juga tidak mempermasalahkannya, dan tetap melanjutkan langkah menuju dalam cafe. Reya pribadi sudah tidak sabar ingin menyantap banyak makanan di dalam sana, tidak seperti Dhini yang malah nampak ogah-ogahan tanpa minat. Reya yang melihatnya sama sekali tidak memperdulikan, dia sudah menebak kalau temannya itu tidak semangat di akibatkan sesi traktiran. Haha saat ini Dhini pasti tengah mengumpatinya di dalam hati. "Ayo cepetan. Gue udah laper pake banget!" desak Reya karena menyadari Dhini yang makin lama malah makin lemot saja dalam bergerak. Dhini hanya berdecih sebagai jawaban. Tidak habis pikir dengan perut karet sahabatnya itu. Padahal kenyataannya tadi memang Reya sempat makan ketoprak seperti yang sudah di janjikan, tapi lihat sekarang wanita itu telah lapar lagi katanya. Memang ya tipe badan Ectomorph itu boros banget makanan, tapi entah kenapa hasil makanan itu hilang tak tersisa bahkan tidak meninggalkan bekas lemak di pipi sekalipun. Ah menyebalkan. Merasa Dhini yang tetap tak merubah tempo jalannya, Reya pun berinisiatif menggandeng tangan temannya itu dan menariknya agar mereka cepat melangkah menuju dalam. "Astaga ..." Tapi baru beberapa langkah mereka bergerak, tiba-tiba Dhini malah berhenti mendadak yang mau tak mau membuat Reya ikut terhenti. "Kenapa?" tanya Reya langsung merasa bingung dengan Dhini yang menepuk dahinya dengan satu tangan kosong. "Dompet gue nggak ada di tas," ucap Dhini seraya meraba-raba luar tasnya. Karena dia tadi sadar kalau tas kecilnya sampai hampir tidak bisa di tutup saking banyaknya isi di dalamnya. Tapi sekarang lihat, tasnya saja kempis. Itu berarti barang yang paling menonjol di sana memang tidak ada kan. "Jangan alasan lo, ini lo mau traktir gue loh." Reya menuduh Dhini. Ya bagaimana tidak, tiba-tiba saja wanita itu berucap dompet tidak ada. Otomatis overthinking Reya keluar lah. "Ye, gini-gini meski berat hati, gue nepatin janji loh," balas Dhini menolak tuduhan Reya. "Tadi gue bawa, cuman kayaknya jatoh di mobil elo pas gue ngeluarin lipstik," Okay, Reya setuju, bertahun-tahun mereka berteman Dhini memang jarang sekali ingkar janji. Kalau iya pun mungkin karena ada alasan yang mendesak membuat Dhini harus ingkar. "Ya udah sana ambil," suruhnya. Dhini mengangguk, "Okay, lo masuk dulu aja pesen makanan sambil cari tempat duduk." Kesepakatan merekapun terlaksanakan. "Hm okay deh." Dhini bergerak kembali menuju parkiran, sedangkan Reya pun berjalan masuk sendiri. Reya mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk di sana. Agak cemas, takut-takut dia tidak kebagian tempat. Tapi akhirnya ketemu, tidak jauh dari sana ada meja yang kosong, berada di posisi sedikit tengah tapi juga tidak terlalu tengah banget. Hanya saja sebelum menduduki tempat kosong itu, dia lebih dulu menuju meja kasir untuk memesan makanan dan minuman. Jujur saja Reya cukup kalap melihat daftar menu di sana, sangat jarang cafe menyediakan berbagai macam makanan lengkap seperti ini. Woah ... Karena tidak bisa menahan diri, Reya bahkan sampai memesan 5 menu makanan dengan 2 menu yang sama, berarti total 7 porsi. Gila sekali bukan. Ya tapi bagaimana lagi, Reya merasa harus melakukannya untuk memperbaiki mood nya yang tak kunjung membaik. Sejujurnya Reya sendiri juga tidak tega dengan temannya itu karena kebar-barannya dalam memesan makanan. Oleh karena itu dia pun memutuskan yang akan membayar makanan untuk minggu pertama ini. Atau malah-malah juga yang mentraktir Dhini. Setelah selesai, Reya bergerak menuju tempat duduk secara buru-buru, takut-takut posisi bidikannya akan di embat orang. Dan tidak lama menunggu Dhini pun tiba bersamaan dengan sebagian makanan yang dia pesan juga tiba. Gilak cepet banget woy! Memang benar seperti rumor yang beredar ya, cafe tersebut telah mengandalkan pelayanan yang super cepat macam itu. Huhu bagaimana customer tidak senang coba. Dhini mengambil posisi duduk di depan Reya. "Tadi habis berapa?" tanya Dhini langsung, dia berniat mengganti uang Reya yang tadi telah di gunakan untuk membayar semua makanan itu. Reya tersenyum bangga, "Minggu pertama gue kasih diskon, gue yang bayar sendiri, malah neraktir lo deh," ucapnya seraya membusungkan dadanya sedikit dan menaik turunkan alisnya. "Nggak ..." jawab Dhini cepat setelah tadi nampak sedikit terpaku di sana. "Eh," Tentu Reya bingung, niat baiknya malah di tolak? Sungguh tidak biasanya, seperti tidak mencerminkan sifat Dhini yang suka gratisan dari pada membayar. "Nggak nolak lah wak, haha." Boom ... Reya menganga tidak percaya, seraya melihat tawa Dhini yang menguar. Kan sudah di bilang, si kutu kupret Dhini pasti tidak akan bisa mengabaikan gratisan. "Tumben tumbenan lo baek bener," celutuk Dhini setelah tawanya reda. Dia tertawa karena merasa lucu melihat wajah shock Reya di depannya. "Hush, gue cabut nih niat baik gue," agak kesal, tapi jelas itu hanya candaan Raya. "Ya jangan lah, mana sesi makan lo udah kayak sapi gitu, semua di pesen. Bisa tekor gue Re." Buru-buru Dhini berucap. "Masih banyak yang belom dateng btw," Dengan bangga Reya mengungkapkan, dan lihat, Dhini juga ikut menganga sebentar. "Sial, bisa bangkrut nih kalo gue yang bayar." Ya bagaimana tidak bangkrut, karena makanan-makanan di atas meja itu tidak mungkin seharga telor kecap pinggir jalan. Gajian Dhini masih lama, jadi dia harus menghemat. "Makannya sebagai temen yang baik poll begini, gue bayar sendiri dulu." Dhini memutar bola matanya malas sebelum berbicara. "Iye iye, dah sana makan, awas aja lo sisain." "Enggak akan, perut mungiel gue mampu kok menampung semuanya. Makanya hari ini pake baju longgar biar kalo buncit nggak keliatan." Haha, alasan utama Reya memakai kemeja ya memang ini. Jadi hari ini tidak ada alasan bagi dirinya untuk tidak menghabiskan makanan. "Dasar," Reya cuek bebek meski dengan segala ucapan pedas Dhini. Ya terserah saja kan ya, perut perut Reya, uang uang Reya juga untuk membeli makanan. "Lo juga boleh makan yang mana aja," ujar Reya dengan binar terang menatap empat piring makanan di atas meja. Dua porsi spaghetti bolognese, satu porsi udang asam manis, dan yang satu lagi nasi liwet. Astaga semua nampak menggugah selera, meski ada tiga menu lagi yang dia pesan namun belum di antar. Sedangkan Dhini yang mendapat izin untuk memilih pun langsung mengulurkan tangan hendak mengambil apa yang menarik di matanya, "Gue udang de __" Hanya saja ucapan Dhini lebih dulu terpotong oleh Reya yang menyelanya. "No no, ralat maksud gue selain udang!" Tanpa rasa bersalah Reya hanya menyengir lebar hingga menunjukkan deretan gigi rapinya itu. Ya bagaimana bisa Reya melepaskan makanan kesukaannya pada Dhini. Ya kalau tau temannya ingin makanan seperti itu sudah Reya pesankan juga dari awal, kan yang Reya taunya Dhini tidak sesuka itu dengan udang. Dhini mendesis lalu menarik tangannya yang sebelumnya sudah menggantung di udara. "Tai, sama aja bo'ong." Dengan rasa dongkol mendera Dhini pun menarik sepiring spaghetti bolognese di sana, lalu mulai menyantap makanan seperti yang saat ini Reya lakukan. Dhini hanya dapat menggelengkan kepalanya, lagi lagi tidak habis fikir dengan sahabatnya tersebut. Wanita itu _Reya_ sama sekali tak memiliki sisi jaim jaim nya. Benar benar sama sekali ketika menyantap makanan. Sampai mulut sedikit penuh pun dia tidak perduli jika ada yang memerhatikan, dan bahkan hidangan spaghetti yang sama porsi macam yang Dhini ambil telah tandas begitu cepat. Sungguh Reya sudah dapat menyaingi para youtuber makan besar kalau begini caranya, harusnya Reya juga membuka channel YouTube saja kan. "Lo kena busung lapar ya," celutuk Dhini begitu saja membuat Reya mendongak dan memelototkan mata. Reya tak buru-buru menanggapi dia lebih dulu menelan cepat makanan di mulutnya. "Anjir," "Makan lo banyak udah melebihi porsi kuli, tapi badan bisa-bisanya masih kayak lisa blackpink." Dhini kadang agak kesal dengan orang-orang macam Reya. "Cacingan puas lo. Biarin aja lah gini, malah enak gue bisa makan banyak-banyak nggak takut gendut haha. Iri kan lo." Setelah berucap begitu Reya kembali memakan nasi liwetnya, agar ribet menggunakan sendok tapi ya mau bagaimana lagi, dia juga masih memiliki gengsi untuk tidak bertingkah makin bar-bar di tempat yang isinya anak muda semua. Ya seperti yang di katakan Reya, Dhini sadar itu iri lebih tepatnya, ya bagaimana ya, dia ingin juga memiliki badan bagus tanpa perlu menahan-nahan diri untuk tidak makan banyak makanan yang dia sukai. Dia ingin seperti temannya, meski tidak sebar bar Reya juga sih, tapi minimal bisa nambah 1 porsi setiap makan saja Dhini sudah bersyukur sekali. "Emang, kampret bener, pengen juga makan banyak huhu!" ungkap Dhini, yang malah di tanggapi kekehan pelan Reya. Memang anak dedemit bocah itu. "Ya udah makan sana," Sudah di persilahkan macam itu, Dhini memilih mengerucutkan bibir kesal. "Ogah yang ada besok gue nyesel kalo pipi gue ngembang." "Serah lo deh serah," Reya juga tak dapat memaksa bukan, yang ada malah Reya yang menjadi bulan bulanan Dhini yang tidak terima berat badannya naik 1 kilogram. Mereka berdua pun berlanjut menyantap makanan masing-masing. Setelah beberapa saat fokus akan kegiatannya, Dhini mulai membuka suara hendak mengatakan sesuatu yang belum sempat dia katakan sebelumnya. "Btw, gue mau bilang kayaknya kalo di jam kerja lo jangan nelfon gue dulu ya, kecuali hal mendesak pake banget." ungkapnya, bukan apa-apa dia merasa tetap harus menyampaikan demi kebaikan bersama. Takut takut pas Dhini lagi apes malah dia mendapat telefon lagi saat sedang berpapasan dengan bos nya itu. "Kenapa dah," Tentu saja Reya bingung dengan alasan Dhini, memang kenapa kalau menelfon di jam kerja. Dia juga kalau menelfon tidak pernah lama, mungkin hanya sekedar menyamping sesuatu, itupun dia selalu mengerti kalau Dhini sibuk dia akan menunggu sampai wanita itu istirahat, atau sudah sedikit longgar. "Gue tadi kena tegur bos gue karena lo telfon, mana gue lagi emosi pake banget tadi." Mau tak mau Dhini juga berucap jujur kepada temannya tersebut, mengingat memang Dhini jarang sekali menutup-nutupi sesuatu kepada temannya. "Wah, kebangetan banget tuh bos lo," Kalau tidak sadar diri posisi mereka berada, sudah langsung berteriak seraya menggebrak meja Reya itu. Dia ikut kesal hanya dengan mendengarkan ceritanya saja. Dhini mengangguk setuju, dia juga merasakan hal serupa, bahkan dia tidak berani menggosipkan tingkah bos nya itu kepada rekan kerjanya. Dia malah takut jika ketahuan menyebarkannya, dia yang akan terkena masalah nanti. "Iya, aneh banget emang. Tapi mungkin kayaknya karena gue ngehadang jalan, dan nggak sadar kalo dia di belakang gue." Meski begitu Dhini juga tetap harus memikirkan sisi lain, kalau mungkin dirinya juga salah di sana, tapi kemarahan yang di lebih lebihkan juga enggak banget loh. "Yah kalo itu mah salah lo," ucap Reya akhirnya, bos besar pasti tengah dalam mood yang buruk, makanya hanya karena sedikit kesalahan karyawan, semburannya bisa menjadi melebar kemana-mana. "Tapi lo juga salah, makannya gue sampe di suruh sampe in ke elo nggak boleh telfon di jam kerja." Reya yang mendengarnya sontak saja dia menganga lebar, tidak percaya. Dia juga mengangkat jari telunjuknya dan di arahkan kepada dirinya sendiri, seolah memastikan 'Gue?'. "Wah gila, strick banget, kok betah sih kerja di sana," kesal, Reya yang sama sekali tidak mengenal bos Dhini malah jadi ikut ikutan. Butuh pelampiasan kemarahan atau gimana bos Dhini itu. "Baru kali ini dia aneh Re," jujur saja Dhini memang menyadari itu. Semarah-marahnya bosnya, pria itu tidak pernah memarahi tanpa alasan atau tanpa melebihi kesalahan yang di lakukan, dan Dhini juga sadar kalau kemarahannya, tidak besar-besar banget. Reya mendesah kasar, dia sampai melupakan makannya yang sudah berganti piring menjadi memakan kesukaannya, udang. "Yang namanya Ronal Ronal itu?" "Kok lo tau?" Dhini tentu saja terkejut, pasalnya selama bertahun-tahun dia kerja di kantor itu, dia tidak pernah menyebutkan nama Bosnya, baik bos lama maupun yang baru ini, Ronal. "Tadi denger sebelum lo tutup telefon," jelas Reya, ah benar memang tadi Reya sempat mendengar sedikit, tapi karena Dhini gerak cepat menutup sambungan telefon membuatnya tidak mengetahui kelanjutan drama itu. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Dhini menautkan kedua tangannya, nampak geregetan. "Dia itu ganteng abies Re, cuma ya itu kakunya udah kayak kanebo kering." "Kayak Kazeo dong?" tebak Reya, sebab Kazeo suami dari sahabatnya itu juga memiliki sifat seperti itu. Ganteng tapi dingin, bahkan dulu saat sma Kazeo sampai di gosipkan gay sebab bersikap terlalu dingin kepada para wanita. Entah bagaimana malah Sia bisa terjebak oleh pesona Kazeo. Huhu tapi ya tidak heran sih, karena dulu Reya dan Dhini juga sempat menyukai pesona Kazeo. "Mirip mirip lah, tapi kalo di kantor kayaknya lebih parah bos gue deh kayaknya." Dhini berucap sambil memikirkan tingkah tingkah bosnya selama ini di kantor. Memang Ronal baru menjabat sebagai CEO menggantikan ayahnya satu setengah tahun yang lalu, tapi tingkah tegasnya berhasil membawa nama perusahaan makin meroket saja. "Hm, nggak bisa bayangin yang bakal jadi bininya nanti." "Tapi ya nggak tau Re, orang kaku kalo bucin gimana. Tuh buktinya Sia di bucinin mulu ama Kazeo." Ah benar ... Berbeda seratus delapan puluh derajat seperti saat SMA, saat ini Kazeo bahkan jauh lebih bucin terhadap temannya itu. Kadang Reya sedikit iri ... Eh tidak tidak, Reya tidak mau memiliki pasangan terlebih menikah. "Iya juga sih, ya udah sana jadiin suami, siapa tau di bucinin juga." Tawa pelan Reya pun terlepas lumayan keras, dia sampai malu meja sebelah mereka ikut menoleh akibat suaranya tak tidak terkontrol. "Lo aja sana, lo kan jomblo," Reya memutar bola matanya malas, "Jomblo jangan teriak jomblo keles," Drttt ... Drrtt ... Suara getaran yang Reya rasakan tiba tiba, membuat dia segera mengangkat tangan memberi interupsi pada Dhini untuk tidak melanjutkan pembicaraan lebih dulu. "Bentar bentar, ada yang nelfon." ucap Reya selanjutnya, dan Dhini pun mengangguk mengerti. Reya buru buru merogoh tas slempangnya dan mengambil ponsel di sana, takut takut ada panggilan penting dari penerbit atau rumah. Hanya saja ketika melihat layar ponsel, dia malah di buat mengerutkan dahi bingung. Pasalnya yang menghubungi dirinya adalah nomor tidak di kenal, tidak memiliki foto profil juga. Tapi karena merasa takut jika itu nomor dari orang penerbit Reya pun tetap mengangkatnya. Dia menggeser tombol hijau, dan ... Terhubung ... "Hallo," ucap Reya setelah mendekatkan ponsel pada samping telinga kiri. Hanya saja beberapa detik menunggu tidak ada balasan sama sekali dari seberang sambungan sana. Dahi Reya ikut berkerut makin dalam, "Hallo, siapa ya?" Reya mencoba tetap bersabar, tapi kalau sudah dua kali mengulang sepertinya memang ini hanyalah orang iseng. Cih ... "Dih, gue tutup!" Kesal pasti, siapa yang tidak akan kesal ketika di hubungi orang iseng macam itu. Tut ... Panggilan itupun Reya putus sepihak, percuma juga, karena orang iseng di seberang sambungan sana tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. "Aneh banget," gerutu Reya seraya meletakkan ponsel di atas meja. Dan hal itu ikut menarik perhatian Dhini, sebab ekspresi Reya yang berubah bad mood lagi. "Siapa?" tanya Dhini. Reya pun menggedikkan bahu, "Nggak tau, orang aneh, nelefon tapi nggak mau ngomong." "Salah orang nomor kali," ucap Dhini mencoba menenangkan temannya itu. "Mungkin," Tidak lama setelahnya, bahkan ketika Reya hampir menyuapkan makanan ke dalam mulut dia malah di buat harus mengurungkan niat saat melihat ponselnya kembali bergetar. Dan getaran itu juga sebuah panggilan masuk. Drttt ... Drttt ... Tidak mau merasa tertipu lagi, dia pun mengecek siapa gerangan yang menelfon. Dan rupanya si kutu kupret Reno lah yang menelefon. Karena suah jelas yang menelefon adiknya, jadi dia juga buru buru mengangkat. Sambungan terhubung ... "Kak gimana? Ganteng kan cowoknya," Pertanyaan yang di lontarkan Reno tentu saja membuat Reya plonga plong di tempat, sungguh dia tak mengerti dengan arah pembicaraan Reno yang tiba-tiba macam itu. "Heh?" "Apa maksud elo?" tanya Reya langsung. "Cih, ya kan nomor lo baru aja gue kasih ke temen gue, dan kakak sepupu temen gue bilang 'Menarik', berarti kan dia cocok sama elo. Haha alhamdulillah kayaknya gue bakal dapet ipar kaya raya." Penjelasan panjang lebar dari Reno tentu sana menyebabkan mata dan mulut Reya melebar tidak percaya. Sebelum akhirnya, wajah Reya mulai memerah. Dia naik pitam. "Tai, berani beraninya ya lo," "Bye ..." Belum sempat Reya menyemburkan sumpah serapah pada Reno, adik tidak tau dirinya itu malah menutup sambungan telefon sepihak, dan hal itu menjadikan kemarahan Reya makin menjadi jadi. "Sialan!" desisnya. "Siapa lagi?" tanya Dhini setelah Reya meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja, dia sudah menunggu nunggu dengan rasa penasaran tinggi melihat Reya yang jauh lebih kesal dari telefon pertama. "Si sintink Reno. Bisa bisanya dia ngasih nomor gue ke sembarang orang. Kayak gue nggak laku aja," jelas Reya masih dengan menggebu gebu, kekesalannya sama sekali belum reda. "Emang kan," Delikan mata Reya membuat Dhini tertawa. Tidak tau diri, sahabatnya tengah kesal bukan main, tapi dia malah bercanda. "Terus ini gimana, gue males berurusan sama cowok lagi. Kok aneh juga ya, nelfon nggak bersuara bisa-bisanya bilang gue menarik. Apa suara gue begitu menarik di pendengarannya." Reya sampai mengepalkan kedua tangannya menahan kesal setengah mati. "Udah coba aja dulu Re, siapa tau berhasil." Reya pikir Dhini akan menenangkannya, ternyata temannya itu malah sama sekali tidak membantu. "Ogah ogah, pokoknya ogah, Gue nggak mau nikah!" "Pacaran Re, bukan Nikah." ralat Dhini. "Sama aja!" Huft, merasa kekesalan yang tak mereda, Reya memilih melanjutkan sesi makannya yang sempat tertunda demi meredakannya. Dan lihat lihat, dia malah makan makin menyumpal nyumpalkan makanan ke dalam mulut hingga penuh, tidak perduli image nya sama sekali yang makin buruk di mata orang sekitar. Sungguh Reya tengah kesal saat ini, jadi dia tidak perduli sekeliling. Hanya saja tanpa dia sadari, semua tingkah Reya tersebut tidak luput dari pandangan seseorang yang berada di pojok ruangan, siapa lagi kalau bukan pria itu ... Ronal! Besertaan dengusan pria itu yang keluar setiap kali Reya menyumpal-nyumpalkan makanan lagi ke dalam mulut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN