CHAPTER 12 - MEMORI CIUMAN

1871 Kata
"RENO KAMPRETTTT!" Teriakan nyaring tersebut sukses menggelegar memenuhi rumah. Dan jelas suara itu berasal dari mulu Reya Sarastika yang meski baru mencapai tengah tengah tangga tapi sudah berteriak sekuat tenaganya, jangan lupakan wajahnya yang memerah padam menandakan ada sesuatu yang memicu sesuatu yang menggebu gebu di dalam hati. Dan setelah sampai di tempat yang di tuju, yakni depan pintu bercat putih yang saat ini tertutup rapat. Tanpa pikir panjang Reya langung saja memutar knop, hanya saja tidak bisa, pintu tidak mau terbuka barang sedikit saja. Oleh karena itu Reya memutuskan menggunakan cara lain, yakni menggunakan kekuatan tangan samson-nya itu. Brakk ... Brakk ... Brakk ... Ya ... Reya mengetuk, ah ralat, menggedor gedor pintu tersebut tanpa henti dan jelas menggunakan tenaga dalam yang amat ekstra. Brakk ... Brakk ... "Buka nggak! Gue bilang buka cepet!" Gedoran pintu tersebut juga di iringi teriakan yang tak lain tak bukan di tujukan untuk seseorang yang berada di balik pintu, siapa lagi kalau bukan Reno adik Reya sendiri. "RENO!" Brakk ... Brakk ... Sungguh kemarahan Reya saat ini tengah tidak terkontrol, sepanjang perjalanan pulang dari cafe dia tak henti hentinya mengumpati Reno setengah mati. Ya bagaimana tidak dia benar-benar tidak terima adiknya berani memberikan nomornya pada orang asing, padahal tadi kan dia juga tidak melaporkan kesalahan adiknya itu pada sang mama. Kalau sudah begini makanya Reya harus meminta pertanggung jawaban bocah tengik itu. Baru saja Reya hendak berteriak lagi, tapi dia mengurungkan niat ketika mendengar suara wanita paruh baya dari belakang, yups dia Gita mama Reya. "Kenapa sih pulang pulang teriak-teriak, di dengerin tetangga nggak enak tau." omel Gita, yang ternyata datang menaiki tangga tidak lah sendiri, melainkan juga bersama pria paruh baya yang sering Reya panggil papa itu. Reya menoleh menghadap mama papanya, masih dengan wajah kesal yang tak di tutup tutupi, "Reno kunyuk tuh ma," adu Reya langsung, berharap mama papanya akan bersimpati. "Reno kenapa?" ganti papa Reya lah bertanya. Pria dengan rambut mulai beruban itu nampak mengerutkan dahinya yang memang sudah sedikit keriput itu. "Dia kasih nomor aku ke orang yang nggak kenal," Reya tak berniat menutup-nutupi. "Cuma aku kasih ke sepupu temen aku ma." Suara itu berasal dari dalam kamar, Reno pasti menguping pembicaraan, dan merasa tidak terima atas tuduhan yang dilebih lebihkan, kalau Reno tak segera meluruskan, bisa-bisa dia akan kena jauh lebih banyak. Reya mendelik ke arah pintu yang masih saja tertutup, "Tapi sama saja kan pa, sama-sama nggak kenal." Reya juga berusaha keras agar di bela oleh papanya. Ckleekkk ... Tak lama setelahnya, pintu yang mulanya Reya gedor-gedor pun terbuka perlahan, menampakkan kepala Reno yang menyembul dari dalam. Dan ... Pekikan Reya pun kembali terdengar seraya wanita itu yang bergerak hendak menyeret Reno keluar sepenuhnya, "Sini lo," Hanya saja niat Reya itu tidak jadi terlaksanakan, sebab ibu Gita a.k.a mama mereka malah lebih dulu menarik tangan Reya agar berhenti di tempat. "Hust, bentar-bentar, biar Reno jelasin." Mama Reya mulai jengah dengan kedua anaknya tersebut, yang memang jarang atau malah tidak pernah aku. Haha beginilah perasaan seorang ibu yang setiap hari mendengar pertengkaran anak-anak mereka, yang padahal jika salah satu dari keduanya berada di tempat jauh, mereka juga merasa rindu satu sama lain. Memang dasar ya. Sepertinya semua saudara seperti itu. "Gimana No?" tanya Aris, papa dari Reya dan Reno, mencoba menegaskan. Tanpa berniat keluar dari kamar, Reno pun membuka suara menjelaskan dengan posisi tersebut, "Ya niat aku kan baik, sebagai adek yang penuh pengertian melihat kakak tercinta itu jomblo, aku tulus kasih nomor dia karena temen aku bilang suruh nyariin pacar kakak sepupunya." Reno sendiri juga berkata jujur, selain niatnya balas dendam yang di tutupi sih. Tapi ya, alasan utamanya juga karena siapa tau kakak perempuannya itu bisa tidak jomblo lagi. "Tapi ya nggak gue juga yang di sodorin," desis Reya menahan diri dengan mengepalkan kedua tangan di samping badan kanan dan kiri. "Hust hust, Reya jadi cewek yang kalem dikit dong." Ungkapan Gita malah membuat Reya ingin memukul Reno. Dia bertingkah bar-bar juga karena si sialan itu kan. "Tapi yang salah Reno ma, terakhir kali dia gitu aja Reya hampir kena masalah kan." Ya, Reya ingat. Memang sebelum kasus ini, sudah sering kali Reno memberinya nomor atau nomornya di berikan pada teman-teman bocah itu, kadang Reya heran masih bocil SMA bisa-bisanya sircle-nya pria-pria dewasa atau setidaknya sudah lulus SMA. Tapi ya itu, tidak pernah bener. Yang paling parah karena Reno memberi nomor ya, Reya terkena teror, terus-menerus di telefon, juga ada satu lagi, dia kakak teman Reno juga, sampai sekarang masih tergila-gila dengan Reya, padahal mereka awalnya hanya bertemu beberapa kali, tapi posesifnya sudah macam calon suami. "Benar juga sih," Gita yang ingat tentang kasus anaknya pun mengangguk setuju. Dia juga tidak ingin membiarkan anaknya berada di lingkup bahaya. "Ei ei, ini beda ya, Reno udah cari tau bobot bibit bebet nya dulu loh ma pa," Reno masih saja membela diri. "Serius kamu No?" Gita terlihat mengerutkan dahi, penasaran akan fakta bibit, bobot, bebet yang anaknya maksud. "Iya ma, mereka keluarga Rivendra," Dan detik berikutnya, Gita di sana nampak membuka mulutnya tidak percaya. Sedangkan Ares juga sedikit menunjukkan keterkejutan. Cih, apa-apaan mereka ini. Berbeda sekali dengan Reya yang malah jengah bukan main. "Rivendra?" tanya Ares memastikan. "Haah Pa, mantep kan." Dan seolah mendapat dukungan penuh, Reno juga sontak berbinar senang. "Wah, tapi kayaknya nggak mungkin orang terpandang kayak gitu mau sama kakak kamu," Mendengar mamanya yang berucap seperti hinaan, Reya tak segan untuk memelototkan mata. Mamanya ini benar-benar ya, Reya tau memang fakta adanya, tapi tidak perlu di perjelas juga dong. "Emang aku kenapa? Aku juga gak butuh keluarga keluarga Rivendra apalah itu." Cih. Makin kesal juga lama-lama. "Ye niat gue kan baik," celutuk Reno. Reya mencibir, jari telunjuknya terangkat dan di arahkan pada wajah Reno. "Diem lo! Asal papa tau anak paling ganteng papa ini tadi siang bolos sekolah." "Woyy ..." Reno kelimpungan bukan main ketika sang kakak malah berbicara seperti itu. "Bukannya Reno sakit?" tanya Papa mereka. "Enggak dia malah main hp di kamar!" Ingin sekali Reya tertawa keras melihat wajah adiknya. Rasain, emang enak, karena Reno berani melawannya, Reya juga berani membocorkan semua kelakuan bocah itu pada mama papa hingga tak tersisa. "Beneran kamu bolos Ren?" Ares kembali bertanya karena anak laki-laki nya tidak kunjung menjawab. "Sakit kok pa, pusing tadi." Reno pun menjawab berusaha semeyakinkan mungkin. Reya terkekeh mendengar ucapan Reno, lalu dia tersenyum miring. "Halah bo'ong, biasanya ..." Dan ... "TUNGGU ..." Pekikan keras Reno berhasil menghentikan Reya yang hendak membongkar tipis-tipis kelakuan bocah tengik itu. "Ayo ikut," Srett ... Dan siapa sangka jika Reno malah menarik tangan Reya ke dalam kamar Reno, "Eh eh, pelan-pelan napa." Reya juga mengaduh, karena adiknya benar-benar tergesa-gesa dalam menarik. Setelah berada di dalam kamar, Reno pun menutup pintu rapat. Agar mereka bisa melanjutkan sesi berikutnya di balik pintu tanpa ketahuan mama papanya. "Okay fine, gue kasih tau ke temen gue kalo lo nggak bisa lanjut. Biar dia kasih tau ke kakak sepupunya. Tapi please jangan kasih tau papa mama." Dengan berat hati, Reno lah yang mengalah. Dia sampai menunduk dan menautkan kedua tangannya agar sang kakak bisa memberi belas kasihan dikit dengan adik gantengnya itu. "Iya tapi __" "Jangan keras-keras," sela Reno akibat Reya tak dapat mengontrol nada suara yang keluar. Reya menghela nafas, tidak ada pilihan lain. "Iya deal, tapi pokoknya lo juga harus janji nggak bakal ngasih nomor gue lagi ke orang yang nggak di kenal." Reya juga tidak akan sejahat itu membongkar sisi buruk adiknya, ini semua tadi hanya sebagai bentuk ancaman saja. Dan ternyata lihat, semua berjalan lancar seperti yang dia bayangkan. Reno mengangguk penuh keyakinan. "He'em, janji deh." "Okay, awas aja lo, kartu as lo ada di gue soalnya," ancam Reya lagi. Haha beginilah enaknya kalau memiliki adik yang enak di ancam. "Dih," "Okay bye," Setelah itu Reya pun keluar kamar. Tidak mau berlama-lama berada di dalam kamar bau itu. Reya agak terkejut, posisi papa mamanya sama sekali tidak berubah di depan pintu sana. Lalu dia pun menghampiri keduanya. "Re, jadi beneran Reno bolos?" tanya Gila, raut khawatir tak dapat tertutupi di wajah setengah baya-nya itu. Reya mengangguk. "Iya bolos tadi. Ei ei, tapi jangan di marahin ya tuh anak. Dia lagi putus cinta pa, makanannya tadi badan jadi pusing lemes mual. Tadi Reya nuduh macem-macem gara-gara marah." Pret ... Putus cinta apanya. Reya bahkan tidak tau adiknya itu tengah menjomblo atau memiliki pacar. "Jangan di marahin pa, dia udah janji cuma hari ini doang." Reya ganti berbicara pada papanya yang sedari tadi diam saja tak merespon. "Tapi Re," Reya menautkan kedua tangan dan memasang wajah melas. Benar-benar berbanding terbalik dengan rautnya ketika baru tiba tadi. "Reno udah janji beneran deh," "Jangan tutup-tutupi kesalahan adik kamu loh Re," peringat Aris, takut-takut anak anaknya malah kongkalikong. "Iy-iya pa enggak kok." Reya berusaha tidak ragu dalam berucap. "Okay deh, jadi kamu sendiri gimana sama sepupu temen adik kamu?" papa Reya masih bertanya, tidak seperti Gita yang diam saja nampak melamun. "Ya nggak ada apa-apa, kenalan aja belom." Jujur saja Reya agak ngeri kalaupun di lanjutkan. Belum apa-apa hanya mendengar dua patah kata sudah berkata menarik. Apalagi kedepannya. "Nggak mau lanjut dulu Re, siapa tau nyaman." Gita sudah tidak diam lagi, dia ikut nimbrung di percakapan anak dan bapak tersebut. "Enggak ma, Reya nggak mau sama yang terlalu tinggi. Reya nggak mau tertindas." Haha alasan klasik. Padahal aslinya juga memang tidak akan mau. "Iya juga sih, yang setara aja sama kita pa," Setuju sangat sepertinya Mama Reya. Karena seperti prinsipnya sejak awal, dia tidak ingin anaknya kenapa-napa. "Iya udah kalo gitu, kapan-kapan papa kenalin ke anak temen-temen papa aja." Papa Reya juga tidak memaksa. Meski wajahnya lumayan sangar, tapi Ares selalu pengertian terhadap anak-anaknya jika memang memiliki alasan jelas. "Ok okay, Reya ke kemar dulu." Dan tanpa menunggu balasan, Reya lebih dulu ngacir pergi takut jika pembahasan malah akan menyebar kemana-mana lagi. Jadi kabur adalah solusi terbaik. Ckelekkk ... Reya membuka pintu, dan buru-buru masuk ke dalam. "Huft," tanpa sadar dia menghela nafas cukup berat. Lalu dengan langkah gontai bergerak menuju ranjang, dan menjatuhkan dirinya di sana. Huft, Lelah juga ya ternyata seperti itu. Tapi sungguh Reya benar-benar tak ingin mengenal laki-laki. Dia merasa cukup kalaupun hidup sendiri. Untuk masalah anak, Reya juga bisa mencari cara lain. Jujur saja Reya takut pria pria yang datang tidak sesuai ekspetasinya, dia takut mereka malah menyakitinya, terlebih malah membuang buang waktu berharga Reya. Sudah cukup Reya stress dengan pekerjaan, tidak perlu menambah-nambahi beban dengan berpacaran ataupun menikah. Seumur-umur Reya hampir tidak pernah dekat dengan yang namanya lelaki, hanya beberapa kali bertemu dengan pria-pria kenalan adiknya. Makanya untuk masalah praktek uwu-uwu Reya sangatlah nope, bersentuhan lebih saja tidak pernah seintim itu, apalagi yang lain kan. Eh tapi ..., Sial! Reya baru teringat dengan bibirnya yang sudah tidak suci lagi. Bibir yang telah di lahap oleh pria itu. Pria menyebalkan. Tapi kalau boleh jujur Reya merasa ada yang aneh saat berciuman. Perasaan yang baru pertama kali Reya rasakan. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya memanas. Argh ... Sial! Bibir itu benar terasa kenyal dan lembut, di tambah pria itu yang melingkarkan tangan di pinggang Reya membuat tubuh keduanya menempel erat. Sialan! Sudah berapa kali Reya mengumpat? Tuk! "Mikir apa lo Reya!!" Reya memukul pelan kepalanya agar otaknya tidak menjerumus kemana-mana. "Gila!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN