"DHINI!!"
Pagi ini nampak begitu cerah, dengan awan putih, langit biru, dan sinar matahari yang memanjakan mata setiap orang. Hanya saja sangat di sayangkan perasaan Reya sekarang malah berbanding terbalik dengan itu semua. Di mana tubuh Reya seolah di selimuti kepulan awan hitam yang siap menyemburkan sebuah lahar api dari dalam diri.
Ya, benar sekali. Reya sedang sangat marah!
"DHINI!!!"
Teriakan menggelegar Reya lagi-lagi memenuhi setiap sudut unit apartemen milik temannya itu _Dhini.
"Dhin, keluar lo!!" Reya bahkan terus berteriak tanpa malu-malu menambah beberapa oktaf ketinggian setiap nada yang keluar.
"Apa sih Ya?"
Orang yang di tunggu-tunggu Reya pun akhirnya keluar dari salah satu bilik kamar, tentunya dengan muka bantal khas bangun tidur namun di sisipi raut kesal yang kentara. Mungkin karena pagi indahnya harus rusak karena teriakan maha dahsyat Reya. "Apaan woy?"
Dhini tidak habis pikir dengan teman sejawatnya itu, sudah datang pagi teriak-teriak macam debkolektor, dan setelah di tanya balik apa kemauan Reya, gadis itu malah terdiam dengan mata nyalang nyaris keluar. Sebenarnya Dhini agak ngeri juga melihat Reya sekarang.
"BERANINYA LO TINGGALIN GUE!!" Lagi-lagi Reya berteriak, tapi bedanya kalau yang tadi hanya diam di tempat, sekarang gadis itu sudah berlari kencang hendak menerjang Dhini temannya.
Dhini yang merasa kelangsungan hidup terancam pun segera berlari mundur memasuki kamarnya tadi, dan menutup pintu rapat sebelum Reya mencapainya.
Brakkk...
"Sialan buka nggak?" Reya menggedor-gedor pintu kamar Dhini keras-keras.
Brakk... Brakk... Brakk..
"Enggak." Dhini sendiri kekeh tidak akan membuka kalau Reya masih seperti itu. Takut say.
"Dhini kampret buka!"
Brakk... Brakk... Brakk...
"Ogah. Gue masih sayang nyawa. Lagian lo kesurupan jin tomang dari mana dah, pagi-pagi udah kayak mau makan gue!" Ucap Dhini masih sedikit keras dari dalam kamar.
Reya mengeram makin marah, "Diem lo. Ini semua salah lo, lo harus tanggung jawab!" Ia terus menggedor pintu itu berkali-kali, tidak perduli tangannya yang terasa sakit atau pegal.
"Gue salah apa sih, Astaghfirullah. Perasaan gue nggak ngapa-ngapain, Ya." Dhini penahan pintu kamarnya yang bergetar, ia takut pintunya malah akan rubuh karena ulah Reya yang sangat bar-bar dalam mengetuk pintu.
"Mata lo nggak ngapa-ngapain, lo semalem kenapa ninggalin gue." Tak terima sahabatnya itu berkata sok tidak bersalah. Alhasil Reya makin menambah suara teriakannya dengan hati yang sebenarnya sudah menjerit menangis.
"Lah emang semalem lo nggak pulang duluan?"
Geram, Reya makin geram dengan Dhini yang sok polos-polos taik.
"Sial lo Dhin. Serah deh serah." Reya menggenggam tangannya erat, sebelum berbalik dan melangkah pergi dari depan kamar Dhini. Lagi pula tangannya sudah lelah, suaranya pun begitu, jadi lebih baik ia duduk dulu dan menyambung lagi beberapa saat nanti.
Reya duduk di sofa yang berada di depan televisi _kasar_, lalu mengipas-ngipas wajah dengan kedua tangannya sendiri, meski tidak cukup dingin, menurutnya itu lumayan untuk mengurangi panas tubuh karena kemarahan yang mendera.
Cklekkk...
Mendengar suara pintu yang dibuka pelan, Reya pun segera menolehkan kepalanya ke belakang _lebih tepatnya ke arah kamar milik Dhini_. Dilihatnya kepala temannya itu yang menyembul dari balik pintu, sedangkan seluruh badannya masih enggan untuk keluar.
"Serius lo kemaren nggak pulang duluan? Gue cari kemana-mana lo nggak ada, kirain udah pulang." Tatapan nyalang Reya tak membuat Dhini takut, gadis itu malah bertanya dengan nada tanpa rasa bersalah.
Reya menyatukan giginya erat, hingga menciptakan bunyi gemelutuk dari sana. "Belom pulang Dhin, aishh. Kalo pulang pun gue juga bakal kabarin."
Dhini mengangguk mengerti, seperti memang benar ia sudah meninggalkan sahabatnya itu semalam, tapi-tapi kan salah Reya sendiri yang di cari tidak ada di mana-mana.
Dhini keluar dari kamar pelan. Dengan harap-harap cemas Reya masih akan menyerangnya atau tidak. "Sorry lah Ya. Gue nggak tau kalo lo belom pulang. Alah lagian lo juga nggak kenapa-kenapa, sehat walafiat aja tuh gue liat." Jujur saja Dhini tidak ingin di salahkan oleh Reya.
"Sial!" Reya bangkit dari duduknya secara tiba-tiba, dan hal itu sukses membuat Dhini yang berdiri di belakang sana langsung memasang raut terancam.
Tapi beberapa detik Dhini menunggu temannya itu tak kunjung hendak menyerangnya seperti tadi.
"Batin gue yang nggak sehat." Gumam Reya, dengan mata menatap lurus ke arah depan, jangan lupakan bibir yang ikut di cebikkan. Ingatan Reya berputar pada kejadian semalam dan tadi pagi. Sebuah kejadian yang membuat Reya ingin mengubur diri dalam-dalam.
Flashback:
Malam ini Reya dan Dhini datang bersama menghadiri sebuah pesta, yang mana pesta itu di adakan untuk merayakan ulang tahun dari bos Dhini. Perusahaan yang bergerak di bidang properti dan industri itu telah menampung Dhini sebagai karyawan tetap selama hampir 4 tahun, maka dari itu Dhini juga di izinkan mengajak pasangan atau teman ke dalam acara.
Reya juga Dhini ternganga-nganga melihat Ballroom hotel benar-benar nampak mewah dengan segala printilan-printilan khas pesta besar. Seperti karangan bunga, permata, meja penuh makanan, minuman, dan juga kursi-kursi berjajar rapi di sana. Dan lagi ternyata di bagian pojok ruangan juga terdapat mini bar yang menyajikan minuman-minuman beralkohol.
Duh, padahal Reya sudah mengejek pesta ini tadi. Ya gimana ya, ia pikir pestanya akan seperti acara ulang tahun anak tk biasanya, tapi ternyata sudah macam sebuah pesta pernikahan besar saja.
Ck, kalau ini Reya, lebih baik uangnya di tabung saja, toh setiap tahun umurnya juga bertambah. Tambah umur padahal juga kurang usia, usia berkurang kok di selamatin.
Lima belas menit sudah berlalu sejak Dhini berpamitan, "Gue sama temen-temen kantor pergi bentar ya, mau ucapin selamat ultah ke pak bos."
Karena Reya memaklumi, ia tadi langsung saja mengangguk mengerti tanpa berkata apapun. Lagi pula ia juga tidak ingin ikut, ia tidak kenal teman-teman dan Bos Dhini loh.
Awalnya Reya memilih tempat duduk yang di sediakan untuk tamu-tamu sebagai tempat menunggu. Tapi karena ia duduk sendiri dan Dhini tidak kunjung kembali. Ia pun memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat ke sisi makan dan minuman. Sebenarnya ia sudah lapar sejak tadi, hanya saja ia sempat berencana makan bersama Dhini, sebelum akhirnya khilaf saat melihat makanan yang menggiurkan di sana.
Reya berjalan penuh girang karena eskrim dan kue-kue merek terkenal juga di sediakan.
Ia memesan satu cup besar es krim mint coco dari merek Baskin Robbin. Tapi baru saja ia menjilat sekali, ia malah di senggol oleh pria asing yang menyebalkan, membuat es krim itu terjatuh ke lantai yang sebelumnya sempat menyentuh pakaian pria itu. Rasakan!
Sebenarnya Reya tak ingin marah untuk sebuah es krim saja, toh ia bisa mengambil lagi, hanya saja raut gelap tidak mengenakkan yang di tunjukkan pria tidak tau diri ini membuatnya harus mengumpat dalam hati.
"Dasar. Arogan banget, kuburan sempit baru tau rasa." Reya sangat geram karena pria itu langsung pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun, sekedar ungkapan minta maaf saja tidak. Cih.
"Ck." Reya jadi tidak mood makan kalau begini caranya. Mana temannya itu tidak kunjung kembali lagi, Sial. Kalau tau akan di tinggal lama gini, ia ogah di ajak pergi ke sini.
Tangan Reya terulur mengambil gelas berisi cairan merah yang berjajar rapi di meja stan minuman. Lalu meminum minuman itu sedikit demi sedikit.
Eh,
Pandangan Reya tiba-tiba terhenti pada sebuah mini bar di pojok ballroom. Wah, meski ia sudah sering menulis cerita tentang bar, Club, Pub, Longue dan lainnya, ini kali pertama bagi Reya melihat banyak jajaran minuman-minuman beralkohol. Biasanya ia hanya searching dan tanya-tanya kepada orang-orang yang biasa ke sana, seperti teman SMA-nya _Terry.
Reya pun segera melangkah ke arah bar itu, seraya tersenyum miring setelah mendapat ide yang cemerlang untuk mengisi ke gabutannya di tinggal Dhini.
Reya akan duduk di sana dan melakukan panggilan video kepada bumil Sia, yakni temannya sejak duduk di bangku SMA. Karena temannya itu pasti shock mengetahui dirinya yang anak baik-baik ini berani mencoba minuman beralkohol.
Reya sebenarnya bukan pecandu minuman. Pencandu bagaimana, pernah mencoba minuman haram itu saja tidak. Ia hanya ingin berpura-pura dengan meminum sirup warna merah di tangannya itu, istilah jaman sekarang-nya itu nge-prank.
"Ehm," Reya berdehem canggung setelah sampai di depan bar, juga sebab sang bartender menatapnya menelisik, mungkin merasa aneh karena ada wanita yang mendatangi bar tapi tangan membawa minuman sendiri.
"Mau numpang duduk, boleh?" Reya berusaha tersenyum semanis mungkin, agar di izinkan oleh pria bartender yang kemungkinan berusia beberapa tahun di bawah Reya.
Cih. Kesal karena si bartender tak menjawab dan fokus dengan apa yang di kerjakan.
Tanpa peduli si bartender Reya pun segera duduk di kursi depan meja bar, dan membenarkan gaunnya yang menyingkap saat di buat duduk. Bukan Reya lancang loh, lagi pula tempat di sini kan di tujukan untuk para tamu.
"Rileks Ya, Rileks." Reya bergumam pelan. Kenapa sih orang-orang yang ia temui tidak ada yang berkelakuan benar. Ck, Reya jadi ingat pria menyebalkan yang menabraknya tadi.
Langsung saja ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecil yang ia bawa, dan menekan sebuah kontak orang yang di beri username 'Bumil Bucin'.
Memanggil...
Reya menghubungi Sia, dengan sambungan video call. Dan setelah menunggu beberapa saat akhirnya tersambung, temannya itu mengangkatnya.
"Halo Ya, ada apa?"
Saat wajah Sia _temannya_ sudah terlihat di layar ponsel yang ia genggam. Lalu Reya segera mengangkat gelas yang berisi cairan merah itu agar bisa nampak di kamera, "Gimana ...," Reya menaik-turunkan alisnya menggoda Sia.
Dan benar saja, Sia langsung mendekatkan wajahnya ke arah kamera dengan mata yang membulat sempurna.
Temannya itu pasti shock.
"Lo minum Ya?" Bagaimana Sia tidak langsung tertuju ke arah sana, mengingat background belakang Reya adalah jejeran minuman-minuman beralkohol yang memang beberapa kali pernah ia lihat sebelumnya.
"Iya nih, enak juga ternyata." Reya tertawa kecil seraya memutar ponsel hingga menghadap ke arah belakang, tepatnya tertuju ke deretan minuman-minuman haram untuk di konsumsi beberapa umat beragama itu.
"Ya ampun, Reya. Kok bisa sih lo minum." Sia di sana nampak mengacak rambutnya, masih sangat tidak percaya dengan temannya yang memang seumur hidup tidak pernah menyentuh benda-benda haram seperti itu, siapa pula yang memberi contoh tidak baik ini.
"Ya bisa lah." Agar meyakinkan Sia, Reya segera meminum minuman di tangannya itu cepat. Jujur saja awalnya ia merasa sangat aneh dengan rasanya. Pahit dan juga terasa agak panas di tenggorokannya. Bahkan ia ingin memuntahkannya, tapi ia terlanjur meminum tengsin juga kalau mengeluarkannya kembali.
"Wah gilak lo. Mana Dhini, kenapa dia biarin lo minum," pekik Sia, raut wajahnya benar-benar cemas tak terima.
"Dhini aja izinin. Haha." Reya tertawa lagi. Hingga membuat Sia berubah kesal, tidak habis pikir dengan perbuatan Reya.
"Terserah deh terserah elo. Gue tutup!"
Eh,
Jelas, sahabatnya itu sudah marah besar kepada Reya. Apalagi Sia tengah hamil, jadi sangat sensitif kalau sudah berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya.
"Eh tunggu-tunggu. Gue nggak minum kok, ini mah bukan minuman beralkohol___" Ucapan cepat Reya sudah terlambat, karena Sia sudah lebih dulu memutuskan sambungan.
"Ck." Salah Reya juga sih yang jahil, padahal ia sendiri tahu tidak ada faedahnya menge-prank Sia. Okay, Reya berjanji akan menjelaskan semuanya pada Sia nanti.
By the way, Reya, Dhini, dan Sia adalah teman dekat sejak masa putih abu-abu, dan berlanjut hingga usia mereka menginjak 26 tahun ini, dengan Reya juga Dhini menjomblo, dan Sia yang sudah menikah dengan sang pujaan hati sejak SMA itu.
Jika kalian penasaran apakah Reya mengiri karena masih jomblo? Jawabannya tidak sama sekali, Reya senang dengan status free-nya sekarang, ia merasa bebas melakukan sesuatu.
Santai aja Brodie, Jomblo itu pilihan. Yang good looking memilih jomblo, yang b aja di pilih untuk jomblo.
Baru lima menit berlalu sejak meminum minuman, Reya tiba-tiba merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia pun meletakkan kepalanya di atas meja bar. Kepalanya terasa pusing, matanya terkunang-kunang, dengan perut yang terasa di aduk-aduk ingin memuntahkan isi di dalamnya.
"Aish, gue kenapa?" Reya memegangi kepalanya sendiri, seraya meringis. Sangat pusing.
Tunggu,
Yang ia minum tadi minuman biasa bukan?
"Mas, minuman yang ada di meja sana minuman biasa kan?" Tanya Reya dengan tangan lemas yang menunjuk ke arah belakang, dan juga sedikit kesadaran yang tersisa.
"Iya biasa mbk ..."
Sang bartender nampak mengerutkan kening melihat keadaan wanita di depannya itu, mata dan wajahnya sangat memerah. Jelas wanita ini mabuk.
Dan mata yang bartender langsung tertuju pada dua buah gelas yang berbeda di samping sang wanita, yang satu kosong dan yang satu masih penuh minuman.
Ah, bartender muda yang kira-kira berusia di bawah Reya itu mengangguk paham, "Mbak nggak salah minum kan?"
"Min-num apa?" Reya kelimpungan, tak nyaman sekali. Ia bahkan kembali meletakkan kepala di atas meja, ia sudah tidak kuasa untuk sekedar mengangkatnya.
Bartender mengambil gelas kosong itu, dan saat di dekatkan ke arah hidung, ciumlah aromanya minuman beralkohol dengan kadar yang cukup tinggi yang memang sudah di siapkan untuk orang lain.
"Mbak..." Bartender menggoyangkan bahu sang wanita tapi wanita itu tidak mau bergerak. Hanya bergumam kecil.
Sang bartender panik, tapi saat ia hendak meminta bantuan orang, seorang pria dengan pakaian jas formal datang menghampiri.
"Biar saya saja yang mengurusnya."
Sang bartender hanya diam patuh, ia mengenal pria itu, dan ia tak berani untuk sekedar membantah.
Lalu setelah itu Reya benar-benar di gendong dan dibawa pergi dari sana.
*****
"Mmm."
Perempuan berwajah bulat oval, rambut panjang kecoklatan, dengan bibir tipis pink alami itu terus bergumam tak nyaman, tepat ketika selimut yang ia pakai di tarik beberapa kali oleh seseorang.
Wanita itu adalah Reya, wanita 26 tahun yang berstatus jomblo. Hm, jomblo akut yang memang sudah mendarah daging pada diri seorang Reya.
"Aishh." Tanpa di sangka, selimut tersebut berlanjut di tarik cukup keras, membuat Reya mau tak mau menahannya dengan sekuat tenaga tanpa perlu repot-repot membuka mata.
Tak ...
Detik berikutnya selimut itu benar-benar sudah menghilang dari atas tubuh Reya. "Mama kenapa sih, pagi-pagi dateng ke sini malah gangguin orang tidur," gumamnya dengan nada kesal yang kentara. Reya sendiri juga tak perduli meski suasana terasa sedikit dingin, ia akan tetap melanjutkan tidurnya dengan meringkuk ke samping.
Tapi belum sepuluh detik Reya kembali ke alam bawah sadar, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedua kakinya yang di tarik paksa oleh seseorang, yang sudah pasti adalah ulah wanita yang begitu bawel akhir-akhir ini.
"Aaaa," Reya sontak memekik dengan mata yang melebar sempurna, karena tarikan kuat mamanya terus berlanjut hingga sebagian besar tubuh Reya sudah tidak berada di atas ranjang, mungkin jika kakinya di lepas ia akan terjatuh dengan b****g yang mencicipi kerasnya lantai.
Nafas Reya memburu, bisa kalian bayangkan bagaimana rasa takut Reya, apalagi ia baru bangun tidur, dan nyawanya saja belum terkumpul semua. Aishh, bisa-bisanya mamanya berbuat seperti ini.
"Mam ... Ma ..." Ucapan Reya menggantung, bukannya mengeluarkan jurus omelan-nya, Reya malah di buat menganga dengan mata membulat sempurna. Pasalnya orang yang di kira 'Mama' sedari tadi bukanlah seperti yang Reya duga, melainkan seolah pria tampan penuh pesona dengan balutan jas berwarna biru navi tengah menatap penuh Reya menggunakan mata tajamnya itu.
Reya terkejut bukan main. Tapi di sisi lain dia terkejut dan nge-bug, dia juga menyadari sesuatu,
Tunggu ...
KENAPA ADA LAKI-LAKI DI KAMARNYA?
Memang benar ekspresi Reya sudah tak seterkejut tadi, tapi tetap saja dia masih bingung kalut dan sebagainya mungkin. Di dalam otak cantiknya saja Reya sudah panik memikirkan hal yang sama sekali buntu dan tak dapat dia nalar itu. Bagaimana bisa ada seorang pria asing di kamarnya? terlebih sekarang pria itu malah lancang membangunkannya dengan cara kasar.
Ah, terserahlah! Reya memang bingung. Tapi ... Hei, kakinya saja masih di pegang oleh pria itu!
"Lepas, lepas!" Reya berusaha memberontak agar kedua kakinya yang di cekal erat bisa terlepas.
Hanya saja, bukannya menuruti perintah Reya langsung, pria itu malah memegangnya makin erat saja dan berniat seperti akan melanjutkan kegiatan tadi yakni menarik kaki Reya hingga seluruh tuh Reya jatuh ke lantai.
Mata Reya membulat lagi, "Lep__Aaaa"
Bruk...
Tak di sangka-sangka, belum saja Reya berteriak memberontak lagi, ternyata pria itu sudah lebih dulu melepaskan cekalan pada kakinya tanpa adanya tambahan tarikan, membuat tubuh krempeng Reya mau tak mau jatuh lantai depan ranjang.
Bruk ...
"Aws ... Sialan." Desis Reya pelan dengan nafas memburu penuh penuh amarah. Siapa pria lancang ini, berani-beraninya dia melakukan hal seperti ini terhadapnya. Mata sinis Reya menatap wajah pria yang setia berdiri dengan pandangan membalas Reya.
"He ..." Reya hampir berteriak, akan tetapi ia malah mengurungkan niatannya itu dan segera menutup mulut dengan kedua tangan.
Tung-tunggu! ... Reya teringat sesuatu ... Apa jangan-jangan pria ini penculik? Penganiaya? Pemutilasi? Oh Oh, atau mungkin malah perampok + penculik + penganiaya + pemutilasi yang datang kerumahnya?
Wuaaaa ... Ti-tidak, tidak mungkin kan? Benar kan? Karena kalau Reya telisik lagi pakaian pria ini sangat bagus, rapi, dan terlihat mahal.
Meski begitu Reya masih ingat dengan kata-kata yang pernah dia baca di Twitter, kalau orang jahat selalu bersembunyi dengan sesuatu yang baik untuk mengelabuhi mangsa ...
What the hell,
Apa mungkin benar, orang ini betulan jahat!
Kalau begitu ... bagaimana nasib Reya sekarang!
"Bangun!"