***١٣***

1187 Kata
"Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum sholat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah sholat isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nur 24: Ayat 58) "Jika nanti kiamat, Rasulullah bangun dari kubur lalu bertanya, "Ini hari apa, Jibril?" Jibril menjawab, "Ini hari pertemuan di mana Allah janjikan buat kita semua, ini hari kiamat Muhammad." Keluar dari mulut Rasulullah yang mulia, "Jibril! Kalau benar ini hari kiamat Aini Ummati, aini ummati umatku di mana, Jibril? Umatku di mana?" Rasulullah pertama kali bangun dari alam kubur, tau itu hari kiamat. Yang beliau cari bukan istri, bukan anak, bukan sahabat. Tapi yang beliau cari kita! Iya kita umat kesayangan beliau. Sudah tahu belum? Rasulullah pernah berdiri hingga pecah kulit kakinya karena menangis selama 6 jam untuk mendoakan umatnya. "Ya Allah ampunilah dosa umat-umatku." Ehh umatnya malah nangis diputuskan pacar. "Allahumma salli alasayyidina Muhammad!" "SALLALLAH HUALAIH!" seru semua santri. Acara maulid Nabi berlangsung meriah seperti tahun lalu. Namun, tidak dengan Hilma yang baru di pesantren. Perintah yang Umi Fitri terangkan bahwa akan ada makan malam dibatalkan. Karena ada kendala dari tamu tersebut. Jadi, Hilma harus menunggu kemungkinan akan dimulai lepas isya. Benar saja, tiga orang datang ke dalam rumah. Secepat mungkin Hilma berada di dekat keluarga tetua Kiai Hikam. Diantaranya, ada Ustaz Yusuf dan sang istri Khoerunnisa atau kerap dipanggil Nisa. Paling muda, Ustaz Hasbi menunggu tidak tenang di samping Umi Fitri yang tak sabaran. Salam dari ketiga tamu penting itu menyadarkan. Berbasa-basi di ruang tamu. Beruntungnya sajian untuk tamu sudah ada di sana, tetapi Hilma tetap dapat panggilan dari Umi Fitri. "Hilma, tolong bawakan air hangat tiga, ya," titahnya dengan suara lembut, jauh dari sifat tadi siang. "Baik, Umi." Dari sana, Hasbi mulai tidak enak. Ia tebak, Hilma yang berada di rumahnya karena uminya sendiri. Apa rencananya? Mengapa umi berbuat demikian? Apa untuk membuktikan kepada Hilma, bahwa dirinya sudah memiliki gadis calon pendamping hidupnya? Bukankah yang salah adalah dirinya? Ia tak tahu. Hilma menyukainya juga, bukan? Ah, mengapa ibunya itu berpikir jauh sampai mempekerjakan Hilma? Hasbi menelan pahit ludahnya. Sekarang ia bisa menatap leluasa iris bola mata yang cantik. Dihiasi riasan mata hitam legam, teduh tatapan yang diberikan. "Hasbi, kamu masih ingat bukan? Ini Dijah," terang Umi Fitri. "I—iya, Umi." "Memang kapan, Umi, akan melangsungkan acara yang diharapkan?" goda Yusuf diakhiri tawa. Dijah ataupun Hasbi tidak memberikan respon malu-malu. Mereka berdua hanya bisa membatu. Apakah Dijah enggan dengan niat kedua orang tuanya juga? Bukankah Hasbi nampak lelaki yang baik? Ia pula sering mengajar di pondok Nabawiah rumah bagi keluarga Dijah. "Saya belum siap, jika memang tahun ini harus merencanakan ikatan," cicit Hasbi, sambil menunduk dalam. Dari belakang Hilma sudah berjalan dengan nampan, membawa tiga gelas air hangat. Di saat itu pula, Umi Fitri berucap, "Untuk pernikahan, tidak secepat itu, Hasbi. Kamu dan Dijah bisa saling mengenal lebih dalam lagi, tetapi jangan melamakan niat yang sudah lama ingin disegerakan." Umi Fitri mengetahui kedatangan Hilma, lalu melanjutkan, "Takut ada godaan yang membuatmu pergi tanpa alasan." Hilma permisi, menyimpan ketiga air hangat. Kembali ke belakang. Jadi, Hasbi akan menikah dengan gadis bercadar di sana? Pertama, Hilma tidak peduli. Toh, siapa dia? Hanya seorang santriwati biasa. Namun, Hilma merasa tidak enak di dalam hati kecilnya. Mengapa ia merasa tidak suka? Ada apa? Ah, ya, mungkinkah Hilma masih mengingat sosok lelaki yang menyerahkan kerudungnya? Bukankah itu Hasbi? Sosok yang diidamkan semua santriwati? Dari suara dan wajah tampannya? Namun, Hilma berpikir lagi. Ia tak seharusnya memendam rasa suka seperti mereka juga. Hilma harus tutup mulut. Santriwati yang sibuk memasak di dapur juga tidak tahu apa-apa. Jadi, hanya dirinya saja yang tahu. Apakah Hilma akan membagi informasi penting itu kepada tiga temannya? "Seharusnya enggak, untuk apa? Ketiga temanku hanya kagum biasa, tak lebih," gumam Hilma, lalu kembali duduk di tempatnya. Mencuri pandang sosok Hasbi yang tetap menunduk dalam. Tanpa diharapkan, Hasbi beranjak pergi. Hilma mulai gelagapan, lelaki itu akan melewatinya sekarang. Benar saja, Hasbi sedikit tersentak mendapati Hilma. "Assalamualaikum, Ustaz," salam Hilma, lalu menunduk. Hasbi menghentikan langkah kakinya. "Waalaikumsalam." Ia menggantung ucapan yang ingin ditanyakan. Hilma mendongak, lalu melempar senyum. Hasbi memutuskan kembali berjalan menuju pintu paling belakang. Yaitu kamarnya sendiri. Hilma mengembuskan napasnya panjang. Lalu segera merapikan penampilannya, apa nampak buruk? Tiba-tiba ia tersadar. Mengapa harus memerhatikan penampilannya di hadapan Hasbi? Siapa dia? "Astagfirullah." Hilma menepuk keras kedua pipimya. "Kenapa, kamu?" Hilma tersentak. "U—umi," gagapnya. Umi Fitri mendelik sebal, lalu pergi menuju kamar Hasbi yang terkunci. "Hasbi, buka pintunya, Nak." Dapat Hilma tebak, mungkin Ustaz Hasbi tidak menyukai acara malam ini? Sebelum Hilma menebak segala hal lagi. Umi Fitri datang, memintanya untuk pergi dari sana. "Pergilah, diam di tempat para penonton." Hilma pamit, pergi dari pintu belakang. Dari depan, dapat dilihat jelas gadis bercadar itu sedang berbincang kaku. Hilma berlalu, mencari tempat duduk untuknya. Namun, dihentikan oleh lelaki yang tak pernah ia temui. "Ukhti, taukah siapa tamu di dalam rumah, Kiai Hikam?" tanyanya, dengan wajah penuh harap. Hilma menoleh, ia harus merahasiakan siapa tamu yang datang. "Tidak." "Baiklah, maaf mengganggu." Dia adalah Ikhsan Zaini Ilyas. Santri yang mengikuti suara terbawa angin dari rumah Kiai Muhammad Nabawiah. Bahwa Dijah dan kedua orang tuanya diundang ke acara maulid Nabi di pesantren Al-Fikri. Mendengar jelas kabar tersebut, Ikhsan yang menjadi pengurus pondok bisa leluasa pergi. Mengikuti, tetapi yang didapati bukan Dijah sebagai penonton di kursi paling depan. Yang didapati Ikhsan adalah gadis yang disukainya tidak ada di sana. Namun, melihat ambang pintu terbuka lebar dari rumah Kiai Hikam, Ikhsan menebak ada Dijah di sana. Sedang apa mereka? Apakah pertemuannya sangat rahasia? Bisa saja sedang memperbincangkan perjodohan? Saat Ikhsan sedang pusing memikirkan, sosok Hasbi keluar dari rumah tergesa. "Apakah aku harus bertanya langsung kepadanya?" pikir Ikhsan, tetapi ia memilih menyembunyikan diri. Membiarkan Hasbi melewatinya begitu saja. "Bukan waktunya," gumam Ikhsan. Duduk diantara ketiga temannya membuat Hilma melepas penat dan ribuan pertanyaan tentang Hasbi dan gadis bercadar tadi. Beruntungnya, temannya itu tidak mempertanyakan hal apa pun. Di atas panggung, beberapa santri mulai dengan alat musik yang setiap minggu mereka mainkan. Bergema, dengan salawat yang menenangkan hati juga gombalan yang tersemat. Sekaranglah, mereka siap berpentas di depan penonton banyak. "Oi, adek berjilbab putih ... ini Abang jomlo bersedih. Bolehkah adek, Abang pilih 'tuk jadikan kekasih?" "Oi, adek berjilbab merah ... maukah diajak menikah. Abang tunggu lulus kuliah, kupinang engkau dengan bismillah!" Zahra, Intan, Rahma dan Hilma saling cekikikan. Kerudung yang mereka pakai sekarang adalah biru. Jadi, masih menunggu gombalan para santri di sana. "Oi, adek berjilbab biru ... cantik manis semanis madu. Dapat salam dari ayah ibu maukah menjadi menantu." Keempat gadis yang merasa kerudungnya biru itu saling melempar senyum geli. Intan paling parah, ia mencubit satu-satu temannya itu karena gemas. "Maulah masa enggak!" sosor Intan diakhiri tawa. "Maula, ya, salli wasallim da'iman abadan. Ala habibika khayril khalqi kullihimi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN