"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 23)
Di dalam kamar pondok Hasbi mengajak Rizwan berbicara. Mengenai percakapan tadi bersama uminya. Karena mereka sudah lama bersama sebagai sahabat, Rizwan menceritakan pertanyaan dan jawaban yang ia berikan. Padahal Umi Fitri sudah mewanti-wanti jangan menceritakan kepada anaknya.
Namun, Rizwan tak bisa apalagi sudah melihat raut wajah sahabatnya itu. Awalnya mereka sedikit cekcok karena Rizwan yang menjadi awal dari permasalahan. bagaimana nasib Hilma sekarang? Itu bukan urusan Hasbi sebagai senior di pondok.
Semuanya sudah memiliki tanggung jawab sendiri. Termasuk dirinya, harus membagi tugas untuk beberapa santri saat terlaksananya maulid Nabi nanti. Bukan hanya permasalahan barusan yang membuat Hasbi termenung lama, mengabaikan maaf Rizwan.
"Kamu pasti tidak lupa, Hasbi. Dia akan datang dengan kedua orang tuanya. Biasa ada makan malam bersama sebelum acara dimulai," terang Yusuf melalui sambungan telepon.
Siapa yang sedang ia pikirkan? Seseorang yang sudah lama menjadi rahasia antara keluarganya dan keluarga gadis di sana. Sebuah perjodohan. Makanya Umi Fitri sangat sigap dalam hal kisah percintaan Hasbi. Ia takut sang calon dilupakan, padahal sudah sejak dini tahu bagaimana sikap dan keturunannya.
"Masih marah, Bi? Nanti, deh, saya cari cara biar Umi gak ngasih hukuman apa pun buat kamu."
Bukan itu yang Hasbi takutkan. Jauh sebelum ia mengenal cinta, sosok santriwati yang diam-diam menyukai tiba-tiba hilang menyembunyikan diri. Hasbi tidak diam, dia mencari tahu penyebabnya. Waktu yang diharapkan pun tiba kedatangan gadis manis hanya terlihat bola mata cantiknya saja.
Dijah Putri Nabawiah. Nama gadis bercadar yang memiliki suara merdu dan dinobatkan menjadi Qiraah paling muda di usi lima belas tahunnya dulu. Saat pertama kali bertemu, Hasbi kira Dijah hanya bersilaturahmi dengan keluarganya, tetapi bisikan dari kakaknya membuat Hasbi berpikir keras.
"Nanti, dia jadi teman hidup kamu," ucap Yusuf menjawab kebingungan Hasbi.
Sekaranglah. Maulid Nabi digelar. Hanya Hilma yang tidak diberikan tugas apa pun. Ia sadar, mungkin karena sikapnya yang sangat tidak dapat disebut sebagai santriwati. Beruntungnya ketiga temannya selalu ada menyemangati. Semua orang mulai sibuk dengan busana yang akan mereka pakai untuk pentas.
Acara dimulai dari pagi hari, dengan sambutan meriah para santri. Selain maulid Nabi, beberapa santri memang senang merayakannya karena ada niat lain. Yaitu bisa mengenal lebih dekat dengan santri lain yang datang. bahkan ada yang sampai ke pelaminan karena dipertemukan berkenalan langsung tanpa hambatan seperti hari biasanya yang sangat ketat.
"Kalo emang udah serius, lelaki itu akan mendekati bukan hanya melontarkan gombalan beraktir di-ghosting doang!" ujar Intan.
"Karena kebanyakan santri itu mantap sama pandangan pertama, kecuali kalo yang kepandang itu udah punya calon terpaksa mereka mundur." Sekarang Zahra yang berucap.
Hilma mengangguk. "Beda lagi kalo buat para pewaris pesantren? Pasti mereka sudah memiliki calon yang menjanjikan masa depan?"
Ucapan Hilma barusan membuat Zahra memalingkan pandangan, menatap kemeriahan para santri yang sudah tampil di atas panggung. Benar apa kata Hilma. Pasti Ustaz Hasbi juga sudah memiliki calon yang Umi Fitri ataupun Kiai Hikam berikan. Lalu selama ini Zahra hanya sebagai santriwati saja?
Zahra membatin, "Gak, Umi sudah menganggapku sebagai anak. Berarti nantinya ia ingin lebih dari itu bukan? Tapi sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal perjodohan. Toh, bukankah umur masih terbilang remaja?"
Setelah melihat jadwal dalam selembar kertas, ketiga teman Hilma mulai pergi satu persatu dan Hilma hanya akan menjadi penonton setia mereka. Namun, sebelum langkahnya menuruni anak tangga seruan Umi Sarah dari belakang membuatnya menghentikan langkah.
"Kamu tidak ada tugas, kan?" tanyanya.
Hilma melempar senyum, lalu segera menjawab, "Tidak, Umi. Saya berharap ada tugas untuk saya."
Umi Sarah segera mengajaknya menuruni tangga. Memasuki rumah tetua di pesantren dari pintu belakang. Bagi Hilma ini pertama kali baginya. Ada banyak santriwati sedang memotong sayuran, daging mentah dan di ruangan lain mereka sedang memasak nasi di atas tungku, bukan kompor.
Hilma terus mengikuti langkah Umi Sarah. Sesampainya di ruang tamu yang dulu sempat Hilma kunjungi, didapati Umi Fitri sedang duduk tenang, membaca kitab kuningnya. Kedatangan keduanya menyadarkan, lalu ia melepas kacamata. Menatap penampilan Hilma.
"Kamu tidak diberi tugas oleh, Mariyam?"
Anggukan lemah Hilma menjadi jawaban. Umi Fitri meminta Umi Sarah kembali ke pondok. "Kamu yang baru masuk lima bulan?"
"Iya, Umi."
"Saya sengaja, meminta kepada Mariyam agar kamu tidak memiliki tugas," jelasnya membuat Hilma mengerutkan kening dalam. "Karena kamu anak baru, takut terjadi hal yang tidak diinginkan di atas panggung atau malahan merusak makanan di dapur."
Mengapa Umi Fitri berkata seperti itu? Bukankah semua orang akan merasakan kegagalan lalu harus berani mengulang agar bisa? Tapi kenapa pernyataan Umi tanpa disadari menganggap Hilma dipastikan tak mampu berbuat apa-apa. Ini pesantren yang Hilal jungjung akan sikap dan peraturannya?
Apa, salah Hilma? Rasanya seorang guru yang sepatutnya ditiru malah memberikan contoh buruk, bukan? Dan memang, kenyataan Umi Fitri yang jauh dari kata harus ditiru jauh dari harapan sudah menjadi rahasia umum. Beruntungnya, kedua anaknya tidak memiliki sifat seperti ibunya itu.
"Kenapa tidak duduk?"
Sebuah suara terdengar dari ambang pintu depan. Kiai Hikam melempar senyum dan dibalas Hilma dengan senyum kaku. Hikam mulai menebak, istrinya itu berbuat masalah apalagi?
"Ada masalah apa, Umi?" Kiai Hikam duduk di samping istrinya. "Duduklah," pintanya kepada Hilma.
Hilma duduk di seberang keduanya. "Dia, saya berikan tugas untuk membantu acara makan malam nanti, tapi dia harus ada di sekitar kita. Bukan seperti santriwati yang diam di dapur," jelas Umi Fitri.
Hilma membatin, "Bukankah tadi, Umi bilang tidak akan ada tugas untukku?"
"Baguslah. Bekerja yang baik, ya," pesan Kiai Hikam lalu beranjak pergi masuk ke kamarnya.
Umi Fitri menatap Hilma tak suka. "Datang lepas salat magrib, jangan telat!"
"Baik, Umi."
Langkah Hilma terasa tidak bertenaga. Ia memutuskan pergi ke kamar mandi. mengingkari janji sebagai penonton setia bagi ketiga temannya. Di dalam kamar mandi, Hilma menatap kosong pintu kayu yang sudah tua. Ada apa sebenarnya? mengapa Umi terlihat membencinya? Apakah ia berbuat salah lagi? Perasaan tidak bukan?
Padahal di saat Zahra setiap pergi dengan Umi temannya itu selalu ceria. Tidak ada pertanda atau ciri-ciri Umi memiliki sifat seolah bermuka dua di hadapan beberapa orang. Apa hanya kepada Hilma saja? Hilma menggeleng lemah, ia mengambil air wudu lalu kembali berjalan menuju kamarnya. Namun, Umi Mariyam menghalangi jalannya.
"Umi Fitri, bicara apa saja?"
Hilma menjawab, "Saya dapat tugas, Umi."
Umi Mariyam menatapnya ragu. "Kamu gak papa, kan? Jangan anggap serius ucapan, Umi, ya. Semua santri sudah tahu sifatnya, kamu harus terbiasa."
"Terbiasa dengan apa?" tanya Hilma.
Kedatangan Intan dan Rahma menghentikan pembicaraan mereka. "Maaf, Umi, kami mengganggu," ucap Intan.
"Tidak, saya sudah selesai kok."
Selanjutnya Intan mengajak Hilma pergi ke kamar bersama Rahma. Mereka mempertanyakan Hilma yang hilang dari pandangan. Lalu dijelaskanlah tentang Umi Fitri yang bicara aneh dan membuat Hilma bingung sampai sekarang.
"Aku gak ngerti. Perasaan aku udah bisa belajar kayak kalian, terus salahnya di mana?"
Intan menggeleng. "Apalagi kita, Hilma. Sama sekali gak punya penjelasan dari siapa pun, kenapa kamu gak dapat tugas."
"Terus tiba-tiba dapet sekarang," timpal Rahma.
Pintu kamar diketuk, Zahra memberikan salam lalu duduk di antara ketiga temannya. "Kata Umi, kamu dapat tugas nanti malam, ya?"
Zahra mengangguk lemah. "Kamu bisa bantu aku, gak, Za?"
"Sebelum kamu minta, aku udah cari cara kenapa awalnyua kamu gak dapet tugas. Sayang, Umi gak ngasih penjelasan. Cuma bilang, kamu anak baru yang gak tau apa-apa."
Baiklah, mungkin sudah jalannya seperti ini. Keempatnya mulai bersiap menunaikan salat asar berjamaah, menandakan juga Hilma harus membersihkan diri siap bertugas di rumah Kiai Hikam dan Umi Fitri. Di mana, ia sama sekali tak tahu bahwa akan ada tamu spesial akan datang.