"Kau terlihat lucu." Sahutnya, seketika tubuhku terdiam.
Kakek tua ini menatap wajahku dari samping, perlahan aku juga menatapnya. Hingga tatapan kami bertemu, aku tetap diam mematung, berbeda dengannya yang malah tersenyum padaku.
"Kau bisa melihtaku?"
Pria paruh baya ini mengangguk.
"Tak mungkin jika aku tak bisa melihatmu."
"Tapi kenapa bisa?"
"Kenapa tidak, aku yang memanggil mu kemari. Mana mungkin aku tak bisa melihatmu."
Dum...
Dum...
Dum...
Bukan hanya terkejut dengan pengakuannya, tapi aku juga terpesona dengan aura berbeda yang di keluarkan pria paruh baya ini. Tak ada kumis, ataupun janggut, wajahnya bersih, tatapannya begitu lembut. Meskipun penuh kerutan, itu tak menghalangi tatapan lembutnya padaku, tubuhnya memang besar, di tambah perutnya yang buncit ini, terlihat imut.
"Aku?...."
"Duduklah, biar aku jelaskan."
Aku mendudukkan tubuhku di hadapannya, sementara pria ini duduk di sebuah kursi lipat.
"Baik, sekarang kau bisa menjelaskannya." Ucapku.
Pria ini tersenyum lagi, senyuman yang membawaku untuk tersenyum juga.
"Camlo Zeema, itu namamu bukan?"
Aku mengangguk.
"Saat aku muda, aku adalah seorang pemburu. Aku memang bisa merasakan hal-hal yang di luar nalar manusia, aku di berikan kelebihan oleh tuhan, aku bisa berkomunikasi, mengusir, atau bahkan mengundang mereka." Jelasnya padaku, aku masih terduduk manis, seolah tengah mendengar sebuah cerita dongeng seorang ayah pada anaknya.
"Ketika aku datang ke tempat ini, aku melihat ada banyak pertumpahan darah di sini, aku mencoba memanggil seseorang yang memang dulunya tinggal di sini. Aku memanggil seorang anak remaja laki-laki keturunan Belanda, wajahnya penuh luka, pakaian nya koyak, rambutnya keriting."
"Dia yang memberi tahumu tentangku?" Tanyaku.
"Ya, aku bertanya tentang tempat ini, anak itu memberitahu semuanya tentang tempat ini, lalu dia menceritakan tentang mu yang juga tinggal di sini dulu. Barulah aku menyimpulkan, jika kisah mu lah yang paling menyedihkan."
Aku terdiam cukup lama, hingga elusan lembut di kepalaku menyadarkan ku dari lamunan.
"Anak itu mengatakan, jika kau, jiwamu itu tengah berdiam diri begitu pilu di tengah laut. Menatap tubuhmu yang jauh berada di dalam lautan sana, jadi aku memutuskan untuk memanggil mu kemari. Memanggil mu ke tempat tinggalmu dulu." Lanjutnya.
"Terimakasih, terimakasih tuan. Berkatmu, aku mendapatkan beberapa jawaban dari seribu pertanyaan ku."
"Kau bisa memanggilku kakek, dan jika kau mau. Kau bisa ikut denganku."
"Sungguh?"
"Ya, aku sengaja datang kemari untuk menjemput mu, kebetulan juga lahan ini milik ku. Aku tahu jika kau berada di sini, saat aku mendapati mu berkeliling di kota, dan kau kembali masuk ke dalam hutan ini, itu sebabnya aku menyempatkan diri datang kemari."
"Kakek, jika aku mengikuti mu, apa aku bisa kembali ke hutan ini? Jika suatu saat aku merindukan hutan ini?"
"Tentu, ini rumahmu. Bagaimana bisa aku melarang mu."
Senyuman ku mengembang, segera aku mengangguk pasti. Namun tak lama setelah perbincangan itu, beberapa pria paruh baya lain datang menghampiri. Mereka datang dengan beberapa senjata api yang mereka bawa, membuatku seketika ketakutan hingga menyembunyikan tubuhku di balik tubuh kakek. Meskipun aku tahu, mereka tak mungkin dapat melihatku.
Halisku saling bertautan saat melihat seorang pria bertopi hitam, wajahnya sangat tak asing, aku merasa pria ini pernah ku lihat sebelumnya. Saat aku berfikir tentang gedung, barulah aku teringat akan pria itu.
"Kakek aku mengenali pria bertopi hitam itu, dia pria yang aku temui di gedung tinggi kemarin. Kalau tidak salah, ada yang memanggilnya dengan panggilan asisten wan! Ya betul!"
"Permisi tuan, apa anda melihat seorang wanita membawa anak kecil di sini?" Tanya pria bertopi hitam itu pada kakek.
"Bilang saja tidak kakek." Pintaku.
"Tidak." Kakek mengikuti ucapan ku, terlihat jika mereka cukup curiga pada kakek.
"Tuan, bisakah kami melihat tempat ini. Hanya sebentar."
"Kalian curiga padaku? Sangat tidak sopan."
"Iya betul!" Sahutku, aku berkacak pinggang menatap mereka.
"Bukan seperti perkiraan anda tuan, ini perintah dari atasan kami. Kami hanya menjalankan tugas, tolong kerjasamanya tuan."
"Periksa lah, tapi jika tak ada yang kalian cari di tempatku. Silahkan tinggalkan hutan ini, lahan ini milikku!" Sahut kakek tegas, begitupun denganku yang merasa puas dengan ucapan kakek.
Para pria itu mulai menggeledah gubuk kecil milik kakek, berbeda dengan pria bertopi yang masih berdiri menatap kakek dengan kedua alisnya bertautan. "Maaf, anda pemilik hutan ini tuan?"
Aku teringat akan sesuatu, perbincangan antara pria bertopi ini dengan tuan menyeramkan itu. Segera aku menepuk pundak kakek.
"Ya, aku pemiliknya." Aku menghela nafas pelan, aku lupa memberi tahu kakek jika pria ini menginginkan lahannya.
"Kakek! Kenapa jujur sekali!"
Aku melihat kakek menatapku sekilas, seolah bertanya tentang mengapa.
"Aku lupa memberitahu mu, pria ini. Dia dan bosnya menginginkan lahan mu kakek!" Setelah penjelasan ku, kakek terlihat begitu tenang. Seolah ini adalah hal yang biasa, atau mungkin sangat biasa.
"Tuan ini sangat kebetulan sekali, bisa kita berbicara singkat?"
"Tentang apa?"
Pria bertopi itu menatap anak buahnya. "Cukup, kalian bisa meninggalkan ku di sini. Kembali saja ke kota, katakan pada Mr.D jika semuanya telah ku urus." Perintah nya, barulah orang suruhannya berhenti dan satu persatu dari mereka keluar dari gubuk kakek meninggalkan kami bertiga.
Pria itu duduk di atas dahan pohon besar yang sudah di tebang, menatap formal ke arah kami.
"Kakek begini, sebelumnya aku meminta maaf jika tindakan kami terlalu berlebihan. Kedatangan kami kemari mencari dua orang yang hilang, sekaligus aku mencari pemilik dari lahan yang begitu luas ini." Jelasnya panjang lebar, kakek masih diam.
"Atasanku, memintaku untuk berunding dengan mu. Kami ingin membeli sebagian lahan ini untuk proyek kami kakek, berapapun harga yang anda minta akan kami berikan." Lanjutnya.
Terdengar helaan nafas dari kakek, membuatku semakin bimbang. Jika lahan ini di beli, itu artinya rumahku juga di beli.
"Kakek, kakek bilang ini tempat tinggal zeema, jika di jual itu artinya kakek menjual tempat tinggal zeema." Ucapku begitu lembut.
"Aku mengerti, tapi tuan. Sayang sekali, aku tak akan memberikan lahan ini kepada siapapun, dan anda bukan orang pertama yang menginginkan lahan ini." Sahut kakek, sekaligus menenangkan hatiku yang bimbang.
Tapi mimik wajah terkejut yang di berikan pria asing ini membuatku semakin ragu, terlebih firasat ku tentang orang ini begitu buruk.
"Bolehkah saya tahu alasannya?"
"Tempat ini, bukan lahan yang bisa sembarangan kamu beli. Ada banyak kisah yang jika aku jelaskan, akal sehat mu itu akan sulit menerimanya."
"Betul!"
"Tuan, kami sangat membutuhkannya."
"Tidak, pergilah. Jangan mengangguk waktu bersantai ku."
"Berapapun yang kau minta tuan."
"Heiss pria bodoh ini!" Aku sangat merasa kesal, aku beranjak. Mengayunkan tangan ku, dan dalam hitungan detik. Tubuh pria itu terhempas begitu saja.
Blam!
Tawaku terdengar saat aku melihatnya wajahnya yang penuh rasa terkejut, bergantian menatap kakek dan pepohonan lain.
"Kau yakin tidak ingin segera pergi anak muda?" Tanya kakek, pria itu menggeleng.
"A-aku pamit kakek, aku akan menemuimu lagi nanti. Permisi!" Ucapnya, gelak tawaku semakin kencang.
Kakek yang melihatku, "Sudahlah Zeema, suaramu hilang nanti."
"Pria itu sangat memaksa kan kakek?"
"Hm..."