Tidak seperti gadis remaja pada umumnya yang akan berbunga-bunga bahkan salah tingkah saat ada lawan jenis yang mengajak berkenalan, Jenna malah terlihat biasa saja dan terkesan cuek.
Dua hari berturut-turut nomor asing yang mengaku sebagai Jeffrey itu menghubungi secara intens, tetapi tidak ada satupun pesan atau telepon yang ia tanggapi.
Seperti pagi ini, nomor tersebut kembali mengirimkan ucapan selamat pagi melalui aplikasi obrolan. Lengkap dengan pesan jangan lupa sarapan dan hati-hati di jalan.
Setelah membaca pesan tersebut, Jenna meletakkan ponselnya di bawah bantal. Kemudian, ia mengambil tas ransel lalu keluar dari kamar.
Di ruang makan yang hanya disekat dengan partisi sebagai pembatas dengan ruang tamu, sang nenek sedang menata kue ke dalam kotak-kotak kecil yang berjejer rapi di meja makan.
Susah rasanya bagi Nenek Rah untuk meninggalkan pekerjaan yang membuat mereka bisa bertahan hidup hingga sekarang. Meskipun saat ini kebutuhan mereka sudah ditanggung oleh Tyas---Ibu Jenna---yang bekerja sebagai TKW di luar negeri.
“Diangkat, Jen. Jangan diseret!” tegur Nenek Rah tanpa menghentikan aktivitasnya. Namun, wanita yang masih terlihat sehat di usia senja itu melirik Jenna sejenak.
“Siap, Ndan!” sahut Jenna sambil membuka daun pisang yang membungkus nasi ketan berisi suwiran ayam.
Bagi gadis yang gemar menggunakan hoodie itu, pagi hari tanpa omelan sang nenek terasa kurang lengkap. Jadi, ia dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak disukai neneknya. Salah satunya adalah mendengar suara deritan kursi.
“Pesanan siapa, Nek?” tanya Jenna setelah menghabiskan sebuah lemper.
“Bu RT.”
Jenna mengangguk paham. Istri dari ketua RT itu memang sering memesan snack box untuk keperluan rapat di sekolah tempatnya mengajar.
Jenna kembali mengambil lemper yang ada di piring, menikmatinya tanpa suara sambil memperhatikan Nenek Rah yang tengah menutup kotak-kotak berisi kue dan teh kemasan itu, kemudian menyusunnya ke dalam plastik besar sembari menghitung jumlahnya.
“Duduk!”
Suara tegas Nenek Rah membuat Jenna yang baru saja berdiri dengan gelas yang menempel pada bibir, kembali duduk.
“Padahal lagi sibuk,” gumamnya sambil melirik Nenek Rah yang masih sibuk menghitung snack box-nya.
Gadis itu bangkit, berjalan ke arah dapur untuk mencuci gelasnya. Setelah itu, ia menghampiri sang nenek untuk berpamitan.
“Pergi dulu, Nek.”
Tak lupa ia membawa kue-kue buatan sang nenek yang akan dititipkan di kantin sekolah.
“Astaga! Hampir lupa.”
Jenna yang sudah duduk di atas motor dan siap untuk pergi, kembali menurunkan standar samping kendaraannya. Ia kembali masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatu.
“Jen,” panggil Nenek Rah tepat ketika Jenna baru keluar dari kamar sambil menenteng sebuah tote bag.
Jenna sudah berprasangka buruk. Ia kira sang nenek memanggil karena ingin memarahinya yang masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatu.
“Sepatu aku bersih, kok, Nek,” sanggahnya cepat sambil menunjukkan satu persatu tapak sepatunya, sebelum sang nenek mengeluarkan kata-kata mutiaranya.
“Iya tahu.” Nenek Rah menyahuti.
“Nanti pulang sekolah nggak usah kemana-mana. Pokoknya tunda semua keperluan kamu hari ini,” titah wanita itu yang membuat Jenna melemparkan tatapan yang menyiratkan pertanyaan ‘kenapa?’.
“Hari ini ibumu datang. Jadi, Nenek mau bikin syukuran kecil-kecilan. Bagi-bagi nasi kotak ke tetangga kiri-kanan saja. Habis itu kita makan bareng.” Nenek Rah menjelaskan dengan antusias. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah tuanya.
Berbanding terbalik dengan raut Jenna yang mendadak sendu. Otaknya sudah membayangkan suasana canggung yang membuatnya tak nyaman nanti. Namun, dalam hitungan detik ia sudah menormalkan mimik wajahnya.
“Nggak janji, Nek,” katanya membuat binar di mata sang nenek seketika meredup.
Melihat itu, otak Jenna bergerak cepat memikirkan alasan. “Soalnya hari ini aku mau ngerjain tugas di rumah Anggun.”
Nenek Rah mengembuskan napas sedikit kasar, lalu mengangguk lemah. Ia tahu itu hanya akal-akalan Jenna untuk menghindari interaksi dengan Tyas. Ia berusaha untuk memaklumi. Namun, mau sampai kapan?
“Iya. Tapi usahakan pulang cepet, ya.”
“Iya.”
Jenna berangkat ke sekolah dengan perasaan tak karuan. Di satu sisi ia tidak tega melihat raut sedih sang nenek, tetapi disisi lain ia tidak ingin membuat sang ibu merasa tidak nyaman berada di rumah karena keberadaannya.
Dulu---saat masih kecil---Jenna akan menyambut kepulangan sang ibu dengan sangat antusias. Ia akan memeluk dan mengatakan rindu meski tidak pernah mendapat balasan dari wanita yang melahirkannya.
“Ibu nggak kangen Jenna?”
“Kenapa ibu nggak pernah peluk Jenna?”
“Kenapa ibu nggak mau cerita-cerita sama Jenna?”
“Kenapa ibu nggak pernah mau ngantar Jenna ke sekolah?”
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu Jenna kecil lontarkan setiap kali Tyas ada di rumah. Bukannya menjawab, wanita yang melahirkannya itu memilih masuk ke dalam kamar.
“Bukan nggak kangen, tapi ibu lagi capek. Jenna tahu ‘kan, kalau tempat kerja ibu itu jauh? Harus naik pesawat berjam-jam.”
Kalimat itu selalu Nenek Rah ucapkan untuk menenangkan Jenna kecil yang menangis. Semakin bertambahnya usia, Jenna semakin merasa kalau Tyas memang tidak pernah menganggap keberadaannya.
Semua itu diperjelas saat ia yang duduk di kelas dua SMP tidak sengaja mendengar percakapan Nenek Rah dengan ibunya.
“Mau sampai kapan kamu bersikap seperti itu sama Jenna. Dia itu anakmu, Yas?”
“Aku belum bisa nerima dia, Bu. Melihat dia saja bikin aku ingat sama kejadian itu. Kalau saja waktu itu ibu nggak halangin aku buat gugurin---“
“Istighfar, Yas,” bentak Nenek Rah dengan mata yang melotot. “Kejadian itu musibah. Dan itu bukan salah Jenna. Sama seperti kamu, dia juga korban dari kebejatan Hen---“
“CUKUP, BU!” potong Tyas dengan suara tinggi. Ia tidak mau mendengar nama laki-laki yang sudah menodainya.
“Jangan paksa aku untuk menerima kehadirannya. Bagiku dia itu luka. Luka yang nggak akan pernah sembuh.”
Jenna yang bersembunyi di balik tembok tersentak. Sesak mulai terasa, seperti ada batu besar yang mengganjal di rongga d**a. Perlahan-lahan cairan bening yang menggenangi pelupuk luruh membasahi pipinya.
Meskipun demikian, Jenna tidak berniat pergi. Ia tetap bertahan di sana sambil membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangan.
“Membiarkan dia tetap hidup dan membiayai kehidupannya itu sudah lebih dari cukup. Jadi, jangan paksa aku untuk memperlakukan dia sebagai anak.”
Sejak saat itu, Jenna mulai menjaga jarak dengan ibunya. Ia tidak lagi memeluk atau merajuk minta ditemani tidur. Jenna bahkan lebih banyak berdiam diri di kamar dan makan belakangan setiap kali Tyas pulang ke Indonesia.
Jenna juga mulai belajar mencari uang dengan membantu ibu kantin sekolah dan membantu menjaga toko baju milik tetangganya.
Mengingat itu, air mata Jenna kembali menetes. Ia yang sedang berhenti di lampu merah gegas mengusap wajah basahnya dengan punggung tangan yang tertutup hoodie, kemudian menurunkan kaca helm agar tidak dilihat orang lain.
Sedetik setelah menurunkan kaca helm, sebuah slayer hitam dengan corak batik terlulur di depan d**a. Ia pun menoleh ke kanan. Melihat siapa gerangan orang yang mengulurkan benda tersebut.
Dari balik kaca helmnya yang gelap, Jenna memicingkan mata mengamati sosok pemuda berkaca mata hitam yang mengendarai motor sport. Berusaha mengingat-ingat apakah ia mengenali pria tersebut atau tidak.
“Ambil!” perintah pemuda itu sambil mengayunkan kain hitam yang dilipat membentuk persegi.
Jenna tidak menanggapi. Ia hanya memperhatikan kain dan pemuda tersebut secara bergantian. Sedikit khawatir kalau-kalau kain itu sudah dituangi cairan yang bisa membuatnya tidak sadarkan diri.
Pemuda itu tersenyum lalu memasukkan kain tersebut ke kantong motor Jenna. Setelahnya pemuda itu melajukan kendaraannya karena lampu sudah berubah hijau, meninggalkan Jenna yang masih dilanda perasaan heran.
TIN! TIN!
Pekikan klakson dari pengendara menyadarkan Jenna dari keterpakuannya. Ia pun gegas menarik handle gas motornya, melaju sedikit lebih cepat untuk menghindari omelan pengendara lain.
***
“Jen, pesananku ada, kan?” tanya seorang siswi yang berpapasan dengan Jenna di depan pintu kelas.
Jenna yang berniat ke kantin untuk mengambil uang hasil penjualan kue, dengan senang hati kembali masuk ke dalam kelas.
“Ada, dong.” Jenna lekas mengambil tote bag yang ia sandarkan pada kaki meja.
“Tumben kamu nyamperin pas istirahat kedua? Biasanya kamu yang paling nggak sabaran liat barang baru,” tanya Jenna sambil mengeluarkan isi tote bagnya.
“Ada dua. Yang satu biru muda, yang satu agak abu. Kamu pilih aja. Barangkali suka dua-duanya,” jelas Jenna sambil tersenyum penuh arti yang ditanggapi lawan bicaranya dengan cebikkan bibir.
Gadis itu membuka perekat plastik dan mengeluarkan selembar romper denim yang panjangnya hanya setengah paha.
“Bagus mana?” tanya gadis yang satu tahun ini menjadi pelanggan tetap Jenna.
“Dua-duanya.”
“Ya, maunya.”
Jenna terkekeh. Sebagai penjual ia pasti berharap temannya ini mengambil keduanya.
“Yang biru saja deh,” putus gadis itu lalu mengeluarkan uang dari saku bajunya.
“Makasih, ya. Kabarin aja kalau kamu minta carikan sesuatu,” kata Jenna sambil menyerahkan uang kembalian.
“Pasti.”
Setelah gadis itu keluar dari kelas. Jenna langsung merapikan sisa barang dagangannya lalu kelas. Meneruskan niatnya yang sempat tertunda.
Kalau bukan karena ibu tempatnya menitipkan kue akan tutup lebih cepat, Jenna tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat ini saat jam istirahat.
Bukan karena ingin berhemat. Tetapi ada saja siswa yang mengejek statusnya yang tidak memiliki ayah.
“Habis, ya, Mbak,” kata pemilik kantin yang kemudian menghitung jumlah uang yang harus ia serahkan pada Jenna.
“Kasih tahu Nenek besok minggu, Ibu pesan bingka labu 100 biji, ya.”
“Siap, Bu.”
Jenna keluar dari area kantin. Ia memilih memutar jalan melewati ruang kesenian dan laboratorium demi menghindari kerumunan laki-laki yang sedang duduk di depan kelas dua belas jurusan IPS.
“Kak Jenna!”
Seruan seorang gadis membuat Jenna menoleh.
“Iya.” Alis Jenna mengernyit saat seorang gadis yang tidak ia kenali menghampirinya.
“Dapat Salam dari Bang Jeffrey.”
Belum sempat Jenna menanggapi perkataan dari adik kelasnya itu. Seruan dari belakang tubuhnya membuat Jenna spontan memejamkan mata.
“Wah, Jenna dapat salam dari cowok! Anak mana, nih?” tanya gadis dengan seragam yang tampak kekecilan.
“Anak UN---“
“Bilang aja wa alaikum salam,” sela Jenna yang langsung berbalik berniat meninggalkan tempat tersebut.
Malas meladeni gadis yang terkenal sering melakukan perundungan ini. Namun, ia urung mengayunkan kakinya saat mendengar perkataan gadis bernama Bella itu.
“Kasih tau aja, salamnya nggak diterima. Soalnya Jenna takut diperkosa kayak ibunya,” kata Bella yang langsung disambut tawa oleh dua temannya.
“Cowok itu pasti nggak tau kalau Jenna anak haram, kan? Anak hasil pemerkosaan,” lanjutnya yang membuat teman-temannya semakin meledak hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Tanpa rasa bersalah ketiganya melanjutkan langkah.
Sementara itu, kedua tangan Jenna sudah mengepal kuat. Sambil memejamkan mata ia menghela napas panjang, berusaha untuk meredam rasa sakit yang membaur dengan amarah.
“Pemerkosaan berarti memaksa dengan kekerasan.”
Suara tegas gadis bertubuh kurus itu membuat Jenna terperanjat dan membalikkan badan, begitu pula dengan Bella dan antek-anteknya.
“Berarti ada korban yang dirugikan. Lain cerita kalau menyerahkan diri dengan sukarela atau mau sama mau. Seperti ...,” Gadis itu melangkah mendekati Bella tanpa rasa takut. Lalu berbisik, “dua orang siswa yang kemarin berciuman sambil meremas-remas di belakang gudang.”
Bella sontak membelalak. Tangan Bella sudah terangkat ingin menjambak, tetapi kembali ia turunkan saat gadis kurus itu mengatakan kalau ia sempat merekam adegan tak senonoh itu.
Dengan perasaan geram, Bella pergi meninggalkan Jenna dan siswi kelas sepuluh yang berani mengancamnya.
“Makasih.” Jenna berucap tulus. Namun, dengan perasaan getir ia melanjutkan. “Tapi apa yang dia bilang itu benar. Aku memang anak haram.”
Jenna berjalan cepat meninggalkan gadis itu. Sesekali ia mendesah kasar untuk melepaskan sesak yang menyiksa dadanya.
Sambil menahan tangis batinnya bersuara pilu, “Harusnya dulu Nenek nggak larang ibu untuk menggugurkan kandungannya. Harusnya aku nggak dilahirkan. Harusnya waktu itu ibu buang aku ke sungai. Harusnya aku nggak hidup kalau cuma menjadi beban ibu dan dihina seperti ini..”