Jennaira Mahiagita

1633 Kata
Jenna hempaskan tubuhnya pada kursi rotan dengan posisi kepala bertumpu pada punggung kursi. Ingin rasanya segera merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Namun, dirinya masih enggan untuk masuk ke dalam rumah. Kedatangan Tyas membuat Jenna merasa tidak nyaman. “Ck, ini semua gara-gara si nenek lampir,” gertunya sambil menghentakkan kaki kanan. Karena insiden di sekolah tadi, suasana hatinya semakin bertambah buruk. Niat untuk kabur ke toko baju langganannya—seperti rencana tadi pagi—pun terpaksa ia batalkan. Tidak mungkin ia datang ke sana dengan wajah murung dan mata bengkak. Ini bukan pertama kalinya Bella mempermalukan Jenna di depan umum, tetapi entah mengapa rasa sakit yang ditimbulkan melebih saat pertama kali statusnya sebagai anak tak berayah dipublikasikan oleh Bella. Kadang Jenna bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat Bella suka menghina dirinya? Apa ada perkataan atau perbuatannya yang membuat Bella sakit hati? Ah, rasanya tidak mungkin. Pasalnya, sejak masuk ke sekolah itu ia tidak pernah bersinggungan dengan Bella. Kenal pun setelah Bella membongkar rahasianya. “Jenna!” seru Nenek Rah sumringah. Riak-riak bahagia terpancar jelas di wajah tuanya saat melihat sang cucu sudah berada di rumah. Biasanya, jika izin mengerjakan tugas di rumah teman, Jenna akan pulang lebih sore bahkan. Sedangkan kali ini, gadis itu hanya terlambat tiga puluh menit saja. Jenna tidak merespon. Ia masih memejamkan mata. Berusaha menenangkan hati dan pikiran yang sama semrawutnya. “Udah dari tadi?” “Hm.” “Kok, nggak langsung masuk?” “Lagi menyiapkan mental untuk ketemu Mbak Tyas.” Tentu saja jawaban itu hanya terlontar di dalam hati. ‘Mbak Tyas’. Ah, sepertinya tidak apa-apa jika ia menerapkan panggilan itu untuk wanita yang membuatnya hadir ke dunia. Bukankah, ia tidak diakui sebagai anak. “Ayo, masuk! Kita makan siang sama-sama.” Jenna membuang napas sedikit kasar. Prediksinya meleset. Ia pikir nenek dan ibunya sudah selesai makan siang mengingat sekarang sudah hampir pukul tiga sore. Padahal, Jenna rela berpanas-panasan karena mengendarai motor dengan sangat lambat demi mengulur waktu. “Jen,” panggil Nenek Rah saat Jenna tidak memberi respon apapun. “Iya,” sahutnya lesu. Tanpa mengubah posisi, Jenna melepas sepatu beserta kaus kakinya. “Kok, jam segini belum makan?” tanya Jenna penasaran. “Ya mau gimana lagi. Ibumu saja baru datang,” jawab Nenek Rah yang sudah bangkit dari tempat duduknya. Jenna tidak penasaran dengan keterlambatan sang ibu. Lebih tepatnya ia tidak peduli … lagi. Dengan langkah gontai dan wajah lesu, Jenna mengikuti Nenek Rah yang sudah masuk lebih dulu. Ia letakkan sepatunya di lemari yang ada di belakang pintu, lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Tidak langsung melepaskan seragam, Jenna malah duduk di meja belajar. Matanya tertuju pada deretan buku yang berjejer rapi di rak tengah. Barangkali membaca bisa memperbaiki suasana hatinya. Jari telunjuknya terulur menyentuh punggung buku, lalu bergerak dari kiri ke kanan sambil mengamati judul yang tertera di sana. Bugh! Sebuah pigura putih terjatuh saat ia menarik salah satu buku cerita bergambar di barisan tengah. Jenna yang sedikit terkejut, langsung mengambil benda tersebut lalu membaliknya. Sorot mata Jenna langsung berubah sendu saat melihat foto sebatas d**a milik Tyas dengan background merah polos yang bersanding dengan foto dirinya. Benda yang dulu menjadi penyemangat belajar dan teman tidurnya. Jenna begitu kagum dan bangga pada Tyas. Tidak peduli apapun omongan orang di luar sana, baginya Tyas adalah ibu yang hebat. Tetapi itu dulu, sebelum Jenna mendengar sendiri pernyataan menyakitkan dari wanita itu. Mendung di wajah Jenna lenyap dalam sekejap. Basah di sudut mata ikut mengering diserap hawa panas yang tiba-tiba menjalar di wajahnya. Dengan kasar ia buka laci terbawah dari meja belajarnya, melemparkan pigura tersebut ke sana, lalu mendorongnya ke dalam dengan kaki. Jenna urungkan niatnya untuk membaca. Ia bawa tubuhnya berbaring di atas tempat tidur dengan kaki yang terjuntai ke lantai. Lelah. Semua yang terjadi hari ini menguras seluruh tenaga Jenna. Hingga tanpa diminta kelopak matanya perlahan tertutup dan napasnya berembus teratur. Sementara, di luar ruangan. Nenek Rah terus mengetuk pintu kamar sambil memanggil nama si penghuni. “Jen! Jenna!” panggil Nenek Rah untuk kesekian kalinya. Makanan sudah siap. tapi Jenna belum juga keluar dari kamar. Jujur saja, ia rela menahan lapar agar bisa makan bersama dengan anak-cucunya. “Jen!” Sekali lagi panggilan itu diserukan. Kali ini dengan ketukan pintu yang lebih keras. “Udahlah, Bu. Mungkin dia lagi tidur,” kata Tyas yang tengah duduk bersilang kaki sambil mengganti-ganti siaran televisi. “JENNA, YAS! NAMANYA JENNA… JENNAIRA MAHIAGITA!” tegas Nenek Rah, murka. Membuat wanita berambut pendek itu tersentak kaget. Cukup sudah selama ini dia bersabar dan memaklumi sikap putri semata wayangnya. “Dari Jenna lahir sampai hari ini kamu belum pernah sekalipun menyebut namanya," lanjutnya dengan intonasi yang lebih rendah. Namun, ada penekanan di setiap katanya. Wanita yang tubuhnya semakin kurus dimakan usia itu kini berdiri di hadapan anak semata wayangnya yang tampak terkejut. Apalagi saat melihatnya yang merah padam dengan tatapan setajam belati. Auranya benar -benar menakutkan. “Sudah delapan belas tahun, apa kamu masih belum bisa berdamai? Kamu belum ikhlas? Apa seumur hidup kamu akan membenci Jenna yang nggak salah apa-apa?” Pertanyaan itu membuat mulut Tyas semakin terkatup rapat. Namun, batinnya ikut menanyakan hal yang sama. “Lahir dari rahim kamu itu bukan kemauannya, Yas,” lanjut Nenek Rah penuh penekanan seraya mengarahkan telunjuknya pada Tyas. Ia hanya memberi jeda dua tarikan napas pendek, Benar-benar tidak memberi kesempatan Tyas untuk berbicara. “Sama sepertimu, Jenna juga menderita. Sejak kecil dia sudah mendapat hinaan, dipandang rendah seperti sampah, dijauhi seolah dia adalah hal yang menjijikan, bahkan …,” Suara Nenek Rah tiba-tiba melirih. Tenggorokannya seakan tercekat dan dadanya terasa begitu sesak. “ada yang sampai hati menyakiti fisiknya.” Nenek Rah tergugu. Sebelah tangannya meremas kain di bagian d**a. Sakit rasanya mengingat Jenna kecil hanya bisa melihat teman-temannya bermain dari kejauhan. Apalagi saat mendapati cucunya pulang dalam keadaan menangis dan baju yang kotor. Nenek Rah mengusap air matanya, lalu kembali menatap Tyas yang masih membisu. “Kalau kamu masih berat menganggapnya anak, setidaknya anggap sebagai adikmu. Tapi, kalau itu masih berat kamu lakukan … berhenti menafkahinya. Ibu masih sanggup.” Nenek Rah berbalik meninggalkan Tyas. Namun, saat tubuh kurusnya sejajar dengan partisi yang menjadi pembatas ruangan ia berhenti. “Yang seharusnya benci itu bukan kamu, tapi Jenna,” katanya tanpa menolah. “Jenna yang seharusnya benci sama kamu.” Nenek Rah memperjelas ucapannya sebelum masuk ke dalam kamar. *** Jenna baru terbangun menjelang magrib. Itupun suara dengungan nyamuk di telinganya. Ditambah suasana gelap dan terpaan angin yang masuk melalui jendela yang belum di tutup. “Ck, nyamuk kurang ajar,” gerutunya dengan mata yang masih terpejam sambil menggosok-gosok telinganya. “Ihhhhh.” Jenna yang sedang berusaha untuk kembali ke alam mimpi, tiba-tiba duduk sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Menghalau nyamuk yang terus saja mendekati telinga. “Nggak manusia, nggak binatang sama-sama suka bikin aku jengkel.” Dengan sempoyongan, Jenna berjalan untuk menutup jendela. Lalu, menekan saklar lampu yang ada di dekat pintu. Jenna keluar kamar sambil membawa satu set pakaian ganti. Ia sengaja tidak menoleh ke arah meja makan dimana Tyas sedang sibuk menata makanan. “Cepat mandi. Habis itu kita makan. Tadi kamu nggak makan siang, kan?” titah Nenek Rah yang baru keluar dari kamar mandi. “Iya, Nek,” jawab Jenna patuh. Selain karena perutnya yang terasa lapar—karena sejak pagi hanya diisi dengan dua buah lemper, ia juga tidak memiliki alasan untuk menghindar. Sambil menunggu Jenna mandi, Nenek Rah membantu Tyas. Ia memindahkan nasi dalam dalam rice cooker ke dalam bakul. Lalu menaruhnya di tengah meja. Ia perhatikan susunan wadah-wadah berisi lauk, lalu memindah-mindahkannya. “Jenna nggak suka ini,” katanya ketus sambil memindahkan wadah berisi sambal goreng kentang hati dari depan piring Jenna, lalu menggantinya dengan wadah acar. Tyas diam saja. Tidak ambil pusing dengan sikap tidak ramah sang ibu dan memilih duduk. Jika biasanya ia akan makan lebih dulu agar tidak berlama-lama satu meja dengan Jenna. Kali ini entah mengapa ia memutuskan untuk menunggu. Setelah terjebak dalam keheningan selama beberapa menit, Jenna datang dengan wajah yang tampak lebih segar. Rambut panjangnya yang setengah basah terurai dengan poni yang menutupi keningnya. Ini pertama kalinya Tyas menatap putrinya dengan saksama. Kulit kuning langsat, mata besar, mancung dan bibir tipis. Tyas baru sadar jika selain rambut yang tebal dan tinggi badan, tidak ada bagian dari gadis itu yang mirip dengan b******n yang telah menghancurkan harga diri dan masa depannya. Jenna mewarisi seluruh fitur wajahnya. Sadar jika sedang diperhatikan oleh wanita yang duduk di seberangnya, Jenna memutuskan untuk menyapa lebih dulu. “Apa kabar, Mbak?” DUAAR! Nenek Rah dan Tyas terperanjat mendengar sapaan Jenna yang tidak biasa. Mereka sama terkejutnya. Nenek Rah menatap cucunya dengan rasa tak percaya. Sementara, Tyas menatap dengan sorot kecewa. Tiba-tiba saja napsanya tercekat dan denyut jantungnya terasa nyeri. Rasa itu kemudian menjalar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan melemahkan seluruh syarahnya. “Kenapa?” tanya Jenna menatap balik neneknya. “Bukannya Mbak Tyas nggak bisa anggap aku sebagai anak. Ya, kan, Mbak?” Jenna melanjutkan kalimatnya tanpa rasa segan sembari menatap Tyas. “Kalau gitu Mbak bisa anggap aku sebagai orang yang dikenal aja,” lanjutnya santai mengabaikan perubahan wajah Tyas. Bongkahan yang mengganjal di tenggorokan Tyas semakin membesar bersamaan dengan rasa nyeri di d**a yang terus bertambah. Matanya pun mulai memanas dan nyaris menjatuhkan bulir-bulir bening andai saja ponsel miliknya tidak berdering. Tyas gegas ke kamar dengan alasan menjawab panggilan. Sementara, Nenek Rah mulai mengintrogasi cucunya. “Kenapa kamu memanggil ibumu seperti itu?” tanya Nenek Rah dengan suara pelan namun tegas. Jenna menghela napas pendek. Menurunkan lagi senduk yang sudah mendekati mulutnya. “Aku hanya belajar menyesuaikan diri dengan kemauannya, Nek.” Jenna kembali mengangkat sendoknya, makan dengan tenang meski yang masuk melewati tenggorokannya terasa seperti kerikil. Sementara Nenek Rah tertegun mendengar jawaban cucunya. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi. Jenna mulai membenci ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN