Satu tahun sebelumnya.
"Si Rain masih sama itu? Jadi?" tanya Farras. Mereka kurang update dengan asmaranya Rain karena gadis itu memang sering menyembunyikan asmaranya dalam dua tahun terakhir. Tidak ada alasan khusus kenapa disembunyikan. Mungkin Rain hanya ingin menyimpannya sendiri.
"Tau tuh," jawab Dina. Ia mengendikkan bahu. Lalu menoleh ke arah Fasha. Perempuan itu sedang memantau Aziel yang bermain bersama Faris. Kalau anak kembarnya Dina pulas di rumah Mamanya. Mereka saat ini memang sedang mampir ke rumah Farras. "Sha!"
"Sama Verrald sih kayaknya. Terus beberapa hari kemarin ngomong sama Ibu juga."
"Ngomong apaan? Tumben?"
Fasha terkekeh. Sepertinya adiknya mulai serius. Maklum, mungkin karena usianya juga sudah menginjak usia 28 tahun. Jadi mulai serius memikirkan masa depan terutama pernikahan.
"Mau nikah. Katanya Verrald dapat kerjaan di sini."
"Jadi pilot?"
Fasha mengangguk-angguk.
"Bagus deh," komentar Farras. Ia turut senang. Setidaknya asmara Rain menemui titik terang.
"Tapi dia udah yakin sama Verrald? Tuh dua orang sama-sama bocah pikirannya."
Fasha terbahak mendengar kata-kata Dina. Ya memang benar sih. Mau usia berapapun Rain, kelakuan dan pikirannya terkadang masih bocah sekali. Tapi ya pasti adalah keinginan untuk menikah. Iya kan?
"Makanya. Ibuk juga bilang untuk omongin baik-baik sama Verrald. Kalo udah sama-sama yakin, ya orangtua gak mungkin ngelarang lah."
"Om gak ngelarang?"
Pertanyaan itu terdengar sangsi. Fasha terkekeh. Ia akui kalau ayahnya sangat selektif dalam memilih pasangan untuk anak-anaknya. Termasuk pada Fasha dulu. Insting ayahnya benar jika Pandu memang cocok dengannya. Apalagi kehidupan mereka saat ini, bisa dibilang naik drastis dengan posisi Pandu sebagai anggota DPR RI yang sangat sering tersorot kamera. Fasha sebagai istrinya juga sering. Itu lah yang membaut Fasha was-was. Apalagi semua orang tahu pekerjaannya sebagai arsitek. Ditambah titel anak konglomerat. Sungguh sangat memberatkan Pandu sebetulnya. Apalagi jika gosip-gosip miring bermunculan. Seperti bulan-bulan lalu di mana para media ingin mencoreng nama baik Pandu dengan menyorot perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya dalam satu kamera. Padahal kenyataannya tidak sedekat itu.
"Ayah udah pasrah. Terserah katanya."
Farras dan Dina terbahak mendengar itu. "Tumben," komen Farras. Itu sungguh tidak seperti Om-nya.
Fasha terkekeh. "Rain kan gak bisa diatur. Kalau diatur, yang ada bakalan ngelawan. Dan lagi, Ayah juga malas ribut. Yang penting anaknya bertanggung jawab ya sudah."
Kedua perempuan itu mengangguk-angguk. Memang benar. Rain kan bukan Fasha. Kalau Fasha masih manut. Kalau Rain? Anak yang satu itu memang berbeda alam dengan para saudaranya. Adik bungsu mereka, meskipun bawel, masih takut dan manut dengan perintah Fadli. Tapi Rain? Jangan harap. Itu musuh terbesar Fadli di rumah. Menghadapi Rain seperti menghadapi diri sendiri. Hihihi.
Tak lama, Rain muncul dengan mengucap salam nada tinggi. Yeah, kalau gak rusuh memang bukan Rain. Mana wajahnya tampak girang sekali. Seperti baru memenangkan lotre.
"Farid lagi tidur ih!" omel Farras. Anak bungsunya yang baru berusia beberapa bulan memang sedang tidur. Tapi tadi yang ketawa juga tidak mengontrol sih. Hihihi.
Mendengar itu, Rain cuma nyengir. Ia datang membawa martabak ganteng. Padahal tadi janjinya mau membelikan sesuatu tapi malah meminta gratisan di martabak gantengnya Farrel. Emang tidak mau rugi! Hahaha!
"Tadi gue liat Fara yang jagain martabaknya sama Farrel. Manis banget deh," tuturnya sambil membuka bungkusan martabak di atas meja.
Farras terkekeh. Ia juga sering iri dengan keromantisan mereka. Namun di sisi lain, itu juga yang membuatnya lega. Melihat mereka tampak harmonis dan terus bersama. Sementara Dina tampak memerhati wajah Rain yang memang sedang sumringah. Matanya juga berbinar. Seperti ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa?
"Lo katanya jadi sama si Verrald," tutur Dina. Ia menunggu jawaban Rain atas pertanyaan tidak langsung itu. Dan gadis itu terkekeh ceria. Farras menatapnya dengan senyuman. Turut senang kalau Rain bahagia. Apalagi kan dalam dua tahun terakhir ini, hanya Rain yang belum menikah di antara mereka. Jadi mungkin ia merasa kesepian.
"Iya dooong! Minggu depan dia bakalan pulang ke sini!"
"Widiih!"
Dina kaget karena secepat itu. Tapi di sisi lain juga bahagia.
"Teruuuuus?" tanya Farras yang kepo. Rain tertawa. Ia tak bisa menyembunyikan kabar bahagia ini.
"Insya Allah dia juga mau melamar dalam waktu dekat."
Uwaaaaaa! Kabar yang tentu saja mengejutkan. Bahkan Fasha juga akget mendengarnya karena ibunya tidak menceritakan mengenai hal ini. Tapi apapun itu, ia turut senang. Yang penting adiknya bahagia dengan siapapun lelaki yang dipilihnya.
@@@
Masih ada beberapa hal yang harus aku urusin di sini. Semoga bisa secepatnya ketemu sama kamu ya :)
Rain terkekeh kecil. Mereka lebih sering mengobrol lewat pesan karena perbedaan waktu. Ditambah lagi, pekerjaan Verrald lebih banyak di atas awan jadi memang sulit dihubungi. Sekalinya punya kesempatan mungkin hanya sebulan sekali. Itu lah yang membuatnya dan Verrald sering bertengkar di awal Verrald bekerja di Jerman. Tapi seiringnya waktu berjalan, ia mengubah pola kekanakan dalam pikirannya dan Verrald juga menjadi lebih dewasa. Akhirnya mereka sama-sama belajar untuk mengatasi masalah ini yang sebetulnya hanya lah masalah kecil. Masalah komunikasi biasa. Kalau dulu kan, meski sudah berusia 26 tahun tapi Rain tak menampik kalau ia memang kekanakan.
Oke! Amin! Semangat kerjanya! Nanti hubungi lagi kalau sudah memijak di bumi ;)
Rain mengunci layar ponselnya lalu beranjak mandi. Ia harus segera berangkat untuk mengurus studionya.
"Azieeeel duduuuuk!"
Suara Tata sangat berisik di bawah. Rain baru saja keluar dari kamar mandi dan sekarang sedang mengelap rambutnya. Ia menggelengkan kepala mendengar suara berisik itu. Dan lagi, Aziel yang awal lahir memang tampak kalem, semenjak bisa berjalan memang mulai memperlihatkan kelincahannya. Baru dua tahun lebih dua bulan tapi sangat-sangat melelahkan kalau mengasuhnya. Cuma dengan ayahnya, bocah cilik itu bisa diam dan hari ini pasti dititipkan lagi di sini karena ayah dan ibunya sibuk bekerja.
"Ibuuukkk! Aziel gak bisa dieeeem!" lapor Tata. Tata sekarang sudah masuk sekolah menengah pertama. Jadi siang-siang begini memang sudah di rumah. Beberapa hari terakhir sudah merengek untuk meminta agar bisa les di bimbel. Tapi tentu saja perizinannya tidak mudah.
"Azieeel! Siniiii sama Oma!" teriak Ibunya dari dapur. Rain terkekeh sendiri mendengar berbagai teriakan. Ia yakin kalau bocah cilik itu langsung berjalan ke dapur.
Rain keluar dari kamar lalu celingak-celinguk menuruni lantai dua dan bersitatap dengan Aziel yang baru tiba di ruang keluarga. Ibunya sedang duduk di dapur, sepertinya sibuk merapikan isi kulkas. Dan Aziel terheran-heran melihatnya turun dengan langkah pelan.
Rain menyuruhnya diam dengan memberi kode telunjuk di depan bibir. Bocah cilik itu menirunya tapi mengeluarkan suara. Rain terkekeh tanpa suara. Ia memang sudah pandai meniru. Terakhir, Rain ajarkan acara kentut di depan ayahnya dan bocah cilik itu menirukannya dengan sangat baik. Hahahaha. Ayahnya sih tak marah pada Aziel tapi marah sekali pada yang mengajarkannya. Hahaha. Ayahnya bilang untuk tak mengajarkan hal-hal aneh pada Aziel karena anak diusia seperti itu akan suka meniru apa saja yang diajarkan. Apalagi yang diajarkan adalah ilmu ketengilan.
"Ibuuuk! Rain ambil uang Ayaaah di brankaaas!" teriaknya usai lari dari ruang kerja ayahnya. Caca terkekeh mendengar teriakan itu. Paling suaminya mengomel. Sementara Rain baru saja mengipas-ngipas uang merah yang lumayan tebal itu dan ia masukkan ke dalam dompet.
"Dadaaah!" tutur Rain usai menyalakan mesin mobil. Ia melambaikan tangan ke arah Aziel yang berdiri di pintu rumah, melihat kepergiannya. Pintu teralis itu menahan langkah Aziel untuk menyusul.
Ia memundurkan mobilnya dengan lihai lalu membelokkan setir dan melaju dengan cepat meninggalkan rumah. Untuk apa uang ini? Hahaha. Ia hendak membeli sesuatu dan berencana untuk mengirimkan barang ke rumah calon ibu mertua. Hahaha.
Semalam, ia sudah menelepon ibunya Verrald. Mereka banyak mengobrol dan membahas tentang pekerjaan Verrald. Erinna tentu saja sudah tahu dengan rencana anaknya maka itu ia juga merasa kalau perlu membicarakan banyak hal dengan Rain. Saat ini, Erinna dan adiknya Verrald tinggal di Padang. Rey juga kuliah di sana sembari menemani ibunya. Semenjak kepergian suaminya, almarhum ayahnya Verrald, mereka memang memilih untuk menetap di sana. Pulang ke kampung halaman ibunya. Pemakaman ayah Verrald harusnya juga sudah dipindahkan tahun lalu ke Padang. Tapi tak jadi karena beberapa hal. Dan rencana dalam waktu dekat. Namun sayangnya, Rain tak sempat menyaksikannya karena sedang ada pekerjaan yang benar-benar tak bisa ia tinggalkan. Tapi katanya, jasadnya yang tersisa tulang-belulang itu dibawa ke Padang untuk dikubur bersama pemakaman orangtua Erinna. Kalau mengingat itu, Rain masih teringat kepedihan dan kesedihannya. Meski Verrald tampaknya telah kuat dan berkat itu pula, cowok itu akhirnya mau bekerja keras. Karena ia tahu, ia yang akan menjadi tumpuan keluarga semenjak ayahnya tiada. Ia adalah orang yang harus ia andalkan. Tak heran kalau dalam dua tahun terakhir, Verrald memang berubah banyak. Ia makin dewasa dan bisa mandiri. Bahkan karir Verrald juga berkembang pesat. Ia punya rencana banyak di masa depan termasuk persoalan Rain. Sudah setahun terakhir ia membicarakan keseriusannya untuk hubungan mereka. Rain tentu sangat senang. Apalagi cowok itu juga berjanji akan kembali ke Indonesia secepat mungkin. Maka itu, Verrald mengambil beberapa lisensi untuk bisa membawa pesawat di Indonesia. Ia merasa pengalaman di Jerman selama dua tahun sudah lebih dari cukup.
@@@
Rain membeli beberapa makanan kering yang tahan lama jika dikirim ke Padang. Selain itu, ia juga banyak membelikan barang-barang untuk calon ibu mertua dan adik ipar. Meski ia sudah akrab sekali dengan Rey. Cowok itu sering digunakan Verrald untuk mencari keberadaan Rain yang tentu saja diketahui oleh Rain. Rain kan detektif cerdik. Jadi ia pasti tahu kalau sedang diincar.
"Oi! Lo di mana?"
Itu suara Ferril. Ia baru saja masuk ke dalam mobil usai mengirim semua barang-barang di jasa pengiriman. Suaranya bergema karena ponsel Rain memang tersambung ke speaker mobil.
"Di jalan!"
"Buruan ke kantor Bang Adit!"
"Ngapain?" tanyanya. Ia baru saja membelokkan mobilnya. Ia sih tak ada pekerjaan yang benar-benar darurat.
"Meeting lah. Penting nih! Ada banyak hal yang harus dibahas!"
Rain berdecak. "Ada urusan apalagi?" tanyanya. Ia sedang malas hilir-mudik. Ini saja hanya mau mampir sebentar ke studionya. Kalau ada yang darurat, ia pasti sudah menerima sinyal sedari tadi. Lah ini kan tidak!
"Helah! Tinggal dateng doang apa susahnya?"
Rain mendengus. "Ya udah tungguin!" dumelnya tapi bukannya segera memutar balik kendaraan, ia malah tetap melanjutkan arah perjalanan yang sama. Tujuannya tetap studionya. Ia sampai di sana setengah jam kemudian. Ia hanya datang untuk melihat studinya. Memang studio ini tidak begitu besar. Hanya dua lantai. Lantai satu, ada ruang tunggu, hal-hal yang berhubungan dengan administrasi, keuangan dan lainnya. Lantai kedua, ada studio pemotretan dan deretan kursi tunggu.
Ia mengecek area pemotretan, memantau sekilas kemudian turun ke ruangan kecil yang ada di belakang bagian administrasi. Ia punya ruangan sendiri di sana. Karyawannya tidak sampai sepuluh orang. Di bagian depan ada dua orang. Di atas ada tiga orang. Lalu ditambah Aidan yang juga ikut mengontrol jika ia tak datang dan lelaki itu punya waktu.
"Ayu! Minggu ini klien spesial kosong kan ya?"
"Iya, Mbak. Sampai hari ini belum ada yang kontak lagi."
Rain mengangguk-angguk. Tak lama, ia segera pamit dan kembali mengendarai mobilnya menuju kantor Adit. Meski mengomel, ia tetap datang ke sana. Tapi kalau kedatangannya ke sana sama sekali tak berguna, ia akan menghajar Ferril habis-habisan. Bodo amat mau punya istri atau enggak, ia sudah tak perduli. Cowok sableng itu masih sering mengerjainya.
Tiba di kantor Adit, ia memarkirkan mobilnya. Lalu berjalan masuk, menerobos tangga dan jangan hiraukan keramaian di bawah. Kantor ini terlihat sangat kecil sebetulnya. Tapi pembangunan gedung baru belum selesai. Rencananya perusahaan Adit memang akan pindah di sana, berada di bawah perusahaan milik ayahnya. Begitu membuka pintu lantai tiga, ia melihat beberapa cowok berkumpul. Semua orang yang ia kenal bahkan termasuk wakil manajer IT bernama Zafir.
"Widih! Dari tadi ditungguin juga!" dumel Ferril. Cowok itu malah sedang membuat kopi di dapur mini milik Adit. Rain tidak menanggapi. Ia memilih untuk bergabung bersama Arinda. Satu perempuan yang juga menemaninya selama menghadapi berbagai situasi. Cewek tomboy itu lebih lihai meski usianya lebih muda dibandingkan Rain. Masih 23 tahun tapi sudah menjadi tim inti di sini. Untuk seseorang yang bukan keluarganya, sudah jelas kalau itu adalah pencapaian yang sangat bagus. Rain mengambil tempat duduk di samping Arinda.
"Ada operasi apaan lagi?" tanyanya. Seharusnya tidak layak dibicarakan di sini.
"Kali ini bukan kasus yang penting sebetulnya. Tapi perlu bantuan lo berdua," tutur Farrel. Seperti biasa, kalau urusannya dengan Farrel, maka obrolan ini menjadi lebih serius. "Lo kenal Arabella kan? Secara pribadi."
"Kak Asha lebih kenal," sahutnya. Ia memang pernah bertemu dengan artis cantik itu selama beberapa kali.
Farrel mengangguk-angguk. "Kita perlu menguntit dia untuk kasus suaminya. Bisa saja dia terlibat atau tidak terlibat atau tidak sengaja terlibat. Lebih bahaya kalau sampai terjerumus."
"Kasus apa?"
Rain agak kaget mendengar fakta ini sebetulnya. Farrel berdeham. Ia memulai ceritanya dengan serius.
@@@