"Ya. Insya Allah pesawatnya sampai malem. Kamu gak usah jemput. Aku langsung terbang ke Padang soalnya."
"Yah gak mampir bentar? Aku lagi di KL juga."
"Mepet penerbangannya. Gak keburu keluar. Kamu tahu gimana memusingkannya bandara KL."
"Ya udah. Kalo udah sampe, kabarin ya?"
Verrald mengiyakan. Yeah akhirnya ia menyelesaikan pekerjaannya di Jerman. Sesuai janji, ia memang hendak pulang. Kebetulan juga sudah dapat pekerjaan di Indonesia. Tentu saja sebagai kopilot di salah satu maskapai ternama. Ia mungkin hanya libur beberapa hari sebelum memulai pekerjaan barunya.
Hubungannya dan Rain semakin membaik semenjak? Semenjak kapan? Semenjak ayahnya meninggal. Ia tumbuh menjadi lebih dewasa. Yang kekanakan justru Rain. Mereka kerap bertengkar hanya karena salah paham. Ya gara-gara perbedaan waktu dan kesibukan. Kadang Rain sulit dihubungi meski sudah waktubya jam istirahat di Indonesia. Ia tak pernah tahu pekerjaan sampingan Rain. Gadis itu tentu saja tak bisa mengatakannya sekarang. Nanti kalau sudah menikah, akan ada sesinya.
Rain mematikan telepon karena Verrald juga hendak terbang. Dari Jerman ke Padang jelas bukan waktu yang sebentar. Cowok itu akan transit dulu di Malaysia baru terbang ke Padang. Mamanya dan adiknya memang tinggal di sana semenjak almarhum ayahnya meninggal.
Rain bergerak menyusul Arinda yang sudah ingin mengajak jalan. Mumpung dapat jatah dinas ke Kuala Lumpur ya harus diisi dengan jalan-jalan. Meski Rain sudah terlalu sering ke sini. Keluarga besarnya kan kerap berlibur di sini. Apalagi setahun lalu ketika menemani oma dan opa berobat di sini. Suasana di sini meskipun cukup padat anehnya memang menenangkan. Dan lagi, ini kan kampung halaman opanya. Jadi mungkin wajar juga kalau rasanya seperti rumah sendiri.
"Naik taksi nih?"
"Gak dapat mobil," ujarnya. Pasti dibawa semua oleh yang lain. Karena sebagian keluarga besarnya ikut ke sini. Ya sekalian berlibur bagi yang bisa, seperti Farras dan Ando. Katanya baby moon juga. Ah terserah lah. Ia pusing menghadapai bumil yang satu itu. "Gue boleh nanya gak sih, kak?"
"Nanya apaan?"
"Apa yang lo suka dari Verrald? Maksudnya kepribadiannya itu."
Ia hanya penasaran. Ya kalau posisi sebagai pilot sih sudah keren. Jadi tak perlu ditanya. Bagi Arinda, kepribadian seorang laki-laki itu jauh lebih penting dari pada posisi pekerjaannya. Uang bisa dicari dengan banyak cara yang baik.
Rain terkekeh. "Dulu gue suka karena kekanakan dan posesif. Kalo sekarang, dia udah banyak berubah. Makin dewasa dan bisa momong gue untuk jadi lebih baik."
Arinda mengangguk-angguk. "Terus apa yang bikin lo gak suka sama kak Husein?"
Ia dipelototi. Arinda malah nyengir. Ya kan namanya juga penasaran. Memang salah bertanya begitu?
Wajah Rain berubah ketika membicarakan Husein. Tampak datar dan dingin. Ya ekspresi ketidaksukaan yang begitu kentara. Meski Arinda kerap mengingatkan untuk tak terlalu membenci seseorang. Kalau jadi jatuh cinta bagaimana coba?
"Ya gak suka aja."
"Pasti bingung ya?"
Ia berdesis sementara Arinda terbahak. Tapi benar sih ucapan Arinda. Rain tak punya jawaban untuk itu. Karena apa? Husein tampak terlalu sempurna sebagai seorang laki-laki. Ia dewasa dan matang. Agamanya pun baik. Mapannya sih jangan ditanya. Husein sudah punya rumah dan apartemen sendiri. Ia berkembang jauh lebih pesat dari beberapa tahun lalu. Jabatan cukup banyak. Meski belum sekaya para sepupunya. Tapi sudah cukup mapan. Husein juga baik kan? Makanya Rain tak punya celah untuk membuat Husein terlihat buruk. Lantas jawabannya?
Ya hanya berkenaan soal perasaan saja. Husein memang jauh dari tipenya. Tapi ayahnya selalu mencari yang dewasa untuk anak-anaknya. Ya lihat saja kakak iparnya. Kurang dewasa apa Pandu? Meski masih enak diajak bercanda. Namun tentu saja bukan tipe yang bisa ia toyor seenaknya. Hahaha. Jangan kan Pandu, ia juga tak punya nyali menoyor Farrel kok. Kalau pada Ardan sih tak perlu ditanya.
"Kalo gue jadi lo, gue pasti--"
"Gue udah bosen dengernya." Arinda langsung tergelak. "Lo lama-lama kayak ayah tahu gak? Promosiin Husein mulu. Udah tahu anaknya mau lamaran."
Arinda makin terbahak. Ya sih. Bosnya tampak belum menyerah. Meski kini sudah tak terlihat lagi pergulatannya. Mungkin memang sudah saatnya berhenti.
"Itu karena bos pengen banget punya menantu kayak bang Husein, kak. Gak rugi emang kalo punya menantu kayak dia. Bang Husein kan bukan tipe yang pendiam-pendiam amat juga. Humble sama orangtua. Baik. Hafiz Quran lagi. Bisa lirus lo kalo sama dia!"
Ia terbahak usai mengatakan itu. Ya untuk Rain yang berkelok-kelok ini, Husein akan menjadi cahaya penerang jalannya menuju kebaikan. Hahaha. Sama posisinya dengan Izzan yang menerangi jalan Tiara tapi saat keduanya menikah, Tiara kan sudah berubah. Sudah meluruskam hidupnya. Kalau Rain sampai sekarang juga masih meleng.
"Asem emang lo ya!"
Keduanya asyik bercanda di dalam taksi. Ya setidaknya, begitu Dina, Farras, dan Tiara menikah, ia jadi punya teman baru. Karena Arinda mampu mengimbangi ketengilannya yang tiada duanya. Dibandingkan ketiga gadis itu, ia yang justru paling tengil. Ya maklum lah, namanya kembaran ayahnya yang juga kembaran Ferril.
@@@
"Sen!"
Ia melambaikan tangan sebagai tanda akan menyusul beberapa menit lagi. Ia masih menjelaskan sesuatu pada beberapa mahasiswa magang dan juga mahasiswi pascasarjana yang sedang meneliti di kantor mereka. Setelah itu, ia baru bergerak menyusul Ferril dan yang lain. Kalau sudah mampir ke kantor ini, pertanda terjadi sesuatu atau akan terjadi sesuatu. Jika bukan yang berkenaan dengan pekerjaan ya berarti hanya sekedar nongkrong. Tapi itu juga jarang terjadi. Pasti akan selalu ada hubungannya dengan pekerjaan.
"Ada apa?" tanyanya begitu masuk ke dalam ruangannya. Yeah, malah berkumpul di sini. Yang hadir juga hanya Darren, Juna, dan Ferril. Yang lain kan ada di Kuala Lumpur.
"Baru ada kabar dari tim. Bocoran informasi tapi masih gak jelas."
Ia menyalakan televisi di ruangan Husein lalu mengirim sebuah gambar hingga dapat muncul di televisi itu.
"Pesan elektronik dari hacker. Kayaknya sih begitu. Tapi diterjemahkan dalam bahasa apapun, sulit dimengerti."
Mereka terpekur menghadap ke layar. Sama-sama gak paham dengan bahasa alien itu.
"Kira-kira apa?"
"Udah hubungi bos atau yang lain?"
"Lo tahu mereka masih berada di Malaysia semua. Gak ada yang bisa dihubungi apalagi bokap gue yang punya kesempatan buat grepe-grepe bunda gue sepuasnya di sana."
Darren, Juna, dan Husein langsung terbahak mendengar itu. Astagaaa. Mereka bahkan sedang serius sekarang.
"Kalau isinya ancaman bagaimana?"
"Biasanya memang ancaman. Tapi gue dan para om kayaknya gak lagi nyari ribut sama bisnis orang beberapa bulan terakhir."
Ia mengaku tak sedang ada masalah.
"Atau perlu menunggu dulu dari atasan yang lain? Karena gak ada satu pun dari kita yang bisa mencari alasan dibalik ini."
Ya memang. Tapi Ferril was-was. Ini mungkin bisa saja ancamam atau peringatan. Karena tak semua hacker jahat. Mereka mengenal dan pernah bertemu dengan beberapa dari mereka yang juga baik.
@@@