18. First Evening

2686 Kata
“Kok Cuma aku doang yang nyoba? Kamu gak nyoba?” tanya Lisa saat mereka berdua menunggu instruktur yang sedang mengambilkan peralatan untuk mencoba paralayang. “Kamu aja duluan, nanti habis kamu baru aku coba.” “Yah curang ah. Kamu gak takut ketinggian kan, Ras? Atau berat kamu diatas 85 kg ya?” tebak Lisa asal. Memang untuk mencoba olahraga paralayang ini terdapat batasan berat badan maksimal yaitu 85 kg. Jika berada di atas itu, sebaiknya mengurungkan niat untuk mencoba paralayang. “Nggak, Lisa. aku gak phobia ketinggian dan berat aku juga masih gak nyampe 85 kg kok. Udah kamu aja yang nyoba duluan. Habis kamu baru aku.” “Yah, nggak asik ah. Kesannya kayak aku jadi kelinci percobaan tahu,” ucap Lisa sambil cemberut memanyunkan bibirnya. “Aku sebelum ini juga pernah nyoba paralayang kok, Cuma udah lama banget. Beberapa tahun lalu kayaknya, aku juga udah lupa.” Percakapan mereka terhenti karena instruktur meminta Lisa untuk memasang perlengkapan keamanan sebelum mereka terbang. Faraz dengan senang hati membantu istrinya memakai perlengkapan itu. Jarak mereka berdua yang begitu dekat menimbulkan desiran aneh di hati mereka. Namun, keduanya bersikap biasa saja. Berlagak sok cool. Hingga sebuah suara yang sudah Lisa hafal memanggil namanya. “Hai Lisa, sang mantan terindah!” Deg! Lisa membelalakkan matanya tak percaya melihat lelaki yang ada di depannya. Dia adalah Revan, mantan pacarnya. Lisa tidak menyangka ia akan bertemu dengan Revan di sini. Faraz menatap Revan dan Lisa bergantian. Faraz tahu, ada yang aneh dengan istrinya dan lelaki yang menyebut istrinya dengan sebutan mantan terindah. Apa mungkin Revan ini mantan pacar Lisa? batin Faraz. Lisa langsung berdekhem untuk menghilangkan rasa gugup dan terkejutnya. Lisa menamppilkan wajah bahagia dan menjawab Revan. “Hai juga, Van. Gak nyangka ya kita bisa ketemu di sini. Lo sama siapa ke sini?” “Sendirian lah, lo kira ama siapa?” “Oh, kirain sama bos gue itu. Kasihan banget lo ke sini sendirian. Gue dong nih, ke sini sama suami gue.” Lisa langsung menggamit lengan Faraz dan memeluknya erat. “Aa Sayang, kenalin nih temen aku namanya Revan,” ucap Lisa mesra pada Faraz. Ia sengaja bersikap seperti itu agar Revan tidak berpikir macam-macam dan mengajaknya balikan. “Su ... suami?” ucap Revan sedikit terkejut. Ia tak menyangka Lisa sudah menikah dan bersuami. Awalnya, Revan hanya mengiran Faraz adalah pacar baru Lisa sehingga ia masih berkesempatan untuk mengajak Lisa balikan atau merebutnya kembali dari Faraz. “Iya ini suami gue, Van. Maaf ya gue gak ngundang lo ke acara nikahan kita.” Revan berusaha bersikap biasa dan mengulurkan tangannya ingin menjabat tangan Faraz. “Kenalin, gue Revan, mantan pacar Lisa,” ucap Revan mantap. Perasaan Faraz bergemuruh tidak karuan. Jadi, dugaanya benar. Revan adalah mantan Lisa. tapi kenapa Lisa berbohong padanya waktu itu dengan mengatakan bahwa Revan hanyalah temannya? Ingatkan Faraz untuk bertanya pada Lisa nanti. Faraz dengan santai menjabat uluran tangan Revan sambil menjawab, “Saya Faraz, suami Lisa.” Lisa telah menggunakan semua perlengkapannya dan sudah siap untuk meluncur dengan ditemani satu orang instruktur. “Sayang, aku coba paralayangnya dulu ya,” ucap Lisa mesra pada Faraz di depan Revan. Lisa mendekatkan wajahnya pada Faraz lalu berbisik pelan di telinganya. “Please, kamu abaikan aja kalau Revan ngomong apa pun sama kamu. Habis ini aku bakal jelasin semuanya.” Usai berbisik pelan, Lisa mengecup pipi Faraz dengan sedikit keras hingga menimbulkan bunyi. Faraz pun melakukan hal yang sama, “Aku tunggu penjelasan kamu.” “Dah, Sayang.” Lisa berjalan mengikuti instruktur bersiap terbang. Rasa antusias dan senang karena akan mencoba paralayang hilang sudah. Sekarang Lisa malah khawatir. Ia khawatir Revan akan menceritakan hal buruk dan bohong tentang dirinya pada Faraz. Tapi Lisa berusaha mengesampingkan hal itu terlebih dahulu. Ia hanya ingin fokus menikmati waktu terbangnya sambil menikmati pemandangan indah Puncak dari atas. Tinggallah Faraz dan Revan yang menatap Lisa yang semakin menjauh. “Jadi waktu itu kamu yang angkat telepon saya ya?” tebak Revan. Faraz hanya diam memerhatikan Lisa yang sudah mulai terbang tanpa berniat menjawab ocehan Revan. “Nggak nyangka Lisa bisa secepat itu nikah sama kamu setelah putus dari saya. Kalian menikah gak karena Lisa hamil duluan kan?” celetuk Revan. Alasan buruk yang melintas di pikiran Revan kenapa Lisa bisa menikah secepat itu dengan lelaki lain hanyalah adanya kemungkinan bahwa Lisa hamil duluan. Revan merasa sangat marah jika hal itu benar terjadi karena Lisa dulu tidak pernah mau disentuh olehnya. Apa karena kecelakaan satu malam ya? Batinnya lagi. Faraz mengernyitkan dahi mendengar ucapan Revan. Menurutnya, mulut Revan terlalu nyinyir untuk seorang lelaki. “Maaf, saya rasa itu bukan urusan Anda, Bung. Yang penting, sekarang saya dan Lisa sudah resmi menjadi suami istri.” Revan tersenyum sinis mendengar ucapan Faraz yang penuh percaya diri.  Revan menatap Faraz yang berdiri di sampingnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia menduga bahwa Faraz bukan orang lelaki biasa. Jika dilihat dari penampilannya, Revan menduga Faraz pastilah orang berada dan terpelajar, tapi Revan tidak bisa menebak apa pekerjaan Faraz. “Ck, ck. Faraz, faraz. Kasihan kamu dapatin Lisa. seharusnya kamu bisa dapat perempuan yang lebih baik dari Lisa, Raz.” “Maksud kamu apa? Lisa bukan perempuan yang baik dan pantas jadi istri saya gitu?” tanya Faraz tajam. Revan menyunggingkan evil’s smirk lalu terkekeh mendengarnya. “Raz, Raz. Gue sama Lisa itu udah pacaran dari SMA dan kita baru putus beberapa bulan lalu. Yah, sebagai cowok, lo tahulah ngapain aja kalo orang pacaran zaman sekarang ini. Gue rasa lo gak polos-polos amat kan ya?” Revan memang sengaja berbohong menjelekkan Lisa, berharap rumah tangga Lisa hancur dan bisa kembali dalam pelukan Revan. Rahang Faraz mengeras dan dua tangan yang ada di samping tubuhnya mengepal, menandakan amarah mulai melanda dirinya. Revan tersenyum senang karena sepertinya Faraz mulai termakan oleh kebohongannya. “Okelah, Bro. Selamat menikmati ya, menikmati barang bekas!” ucap Revan tajam dan penuh penekanan lalu berlalu meninggalkan Faraz seorang diri. Sungguh, rasanya Faraz ingin membuat wajah Revan hancur tak terbentuk dengan kedua tangannya. Namun ia segera duduk di atas rumput tempat ia berdiri tadi dan beristighfar dalam hati untuk mengusir rasa marah yang menguasainya. Ia tidak mau menjadi lelaki yang cepat emosi dan gemar adu otot tanpa mendahulukan otak. Ia teringat sebuah hadits bahwa seorang muslim yang kuat adalah yang mampu menahan rasa marahnya. === Lisa dan Faraz sudah berada dalam mobil setelah mencoba paralayang. Lisa menyadari ada yang berbeda dengan sikap suaminya itu. Apa yang gue takutin beneran kejadian? Jangan-jangan si Revan kunyuk udah ngomong yang nggak-nggak lagi sama Faraz? Batin Lisa bertanya. “Hmm, kita mau ke mana lagi sekarang, Ras?” pancing Lisa agar Faraz mau bersuara. Pasalnya ia hanya diam semenjak masuk mobil tadi. “Makan,” jawab Faraz datar dan singkat. “Oh oke, aku juga udah laper banget.” Faraz membawa Lisa masuk ke dalam rumah makan yang menyediakan sate sebagai menu utama. Kios pedagang sate kiloan memang banyak terdapat di daerah Puncak. “Saya pesan sate kambing ya, Teh.” “Oke, terus si tetehnya pesen apa?” “Sate ayam aja, saya gak suka kambing soalnya.” “Yah, ayamnya abis, Teh. Adanya kelinci, mau? Rasanya mirip-mirip sama ayam kok.” “Apa?” Lisa terkejut mendengarnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana tega menyembelih seekor kelinci yang lucu lalu menjadikannya sate. Lisa jadi bergidik ngeri. Tapi, ia juga tidak bisa makan kambing. Lisa jadi dilema. “Heh, Lisa? kamu jadinya pesen apa? Itu si tetehnya nungguin. Mau coba kambing aja nggak? Enak loh,” tawar Faraz. “Eh, nggak deh. Ya udah saya coba kelinci aja.” Teteh pelayan meninggalkan Faraz dan Lisa berdua di meja. Lisa langsung memberondong Faraz dengan pertanyaan. “Tadi Revan ngomong apa aja, Raz? Dia gak bilang yang aneh-aneh kan sama kamu?” tanya Lisa khawatir. “Aku kecewa, kenapa kamu harus bohong waktu ada telepon dari dia. Kamu bilangnya dia teman. Tahunya dia malah mantan pacar kamu. Kenapa juga kamu gak jujur pas kita bikin biodata tadi pagi, Lisa?” “Hmm, ya itu aku gak bohong kok,” elak Lisa. “Aku memang cuma nganggep dia temen setelah putus. Menurutku juga gak ada gunanya bahas mantan kalau kita udah nikah, buat apa coba? Iya kan?” “Kalo boleh aku tahu, kenapa kalian putus? Padahal kalian udah lama banget pacaran, dari SMA kan?” Sungguh, saat ini Lisa belum siap menceritakan Revan pada Faraz. Lisa menghindar dengan pamit ke toilet. “Ras, aku ke toilet dulu ya? Kebelet nih.” Faraz mendengus pelan. Ia tahu Lisa sedang menghindar darinya. Setelah menunggu beberapa lama, pesanan mereka telah tiba di meja. Tak lama setelah itu pun Lisa kembali dari toilet. Mereka berdua makan dalam diam. Faraz meluapkan kekesalan yang dirasanya dengan makan lahap. Ia bahkan menambah porsi sate kambing dan nasi untuk kedua kalinya. Lisa yang melihat hal itu hanya bisa melongo, tak menyangka bahwa suaminya memiliki nafsu makan yang besar. Ia hanya diam menyantap sate kelincinya. Lisa tahu bahwa Faraz pasti marah dan kecewa padanya. Setelah usai menikmati sate dan membayarnya, Faraz dan Lisa masuk ke dalam mobil untuk kembali menuju vilanya. === “Ras, jangan langsung pulang dong ya? Kita ke mana dulu kek gitu,” ajak Lisa. “Aku capek Lisa, emang kamu mau ke mana lagi?” tanya Faraz sambil fokus mengemudikan mobilnya. “Kita coba tea walk yuk di Gunung Mas. Kayaknya seru deh. Kita pulang juga di vila mau ngapain, bete tahu. Mending jalan-jalan ya kan?” “Kalau kamu mau tea walk doang mah, ntar aku ajak aja di deket vila juga ada kok. Ga usah ke Gunung Mas ya. Lagian sama aja, kebun teh juga.” “Ya udahlah, terserah kamu. Aku ikut aja.” Lisa merasa Faraz sedang dalam suasana hati yang buruk. Padahal baru saja saat pergi tadi mereka terlibat pembicaraan yang akrab, begitu pulang sudah begini lagi. Huh, ini semua gara-gara Revan, pikir Lisa. Lisa terdiam berpikir bagaimana caranya menjelaskan pada Faraz. Mereka tiba di vila bertepatan dengan adzan ashar. Untuk pertama kalinya, Faraz dan Lisa salat berjama’ah sebagai suami istri. Meski mereka belum saling mencintai, ada perasaan haru dan bahagia yang mereka rasakan ketika bisa salat berjama’ah. Lisa sadar sekarang ia sudah mempunyai Faraz sebagai imamnya. Meski dia sering kesal, tetapi Faraz adalah suaminya sekarang dan ia harus bisa menerima semua kelebihan dan kekurangan dalam diri Faraz. Sehari sebelum menikah, Meli juga sempat memberi nasihat pada Lisa agar bisa mnejadi istri yang baik bagi Faraz walaupun mereka belum saling cinta. Karena meski pernikahan itu tidak didasari rasa cinta, kewajiban dan hak sebagai suami istri telah melekat dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti di akhirat oleh Allah SWT. “Setelah ijab qabul nanti, surga dan neraka kamu ada di tangan Faraz, Lisa. Seorang perempuan itu sangat mudah masuk neraka dan sangat mudah juga masuk surga seperti yang ada pada hadits: “ Jika wanita melaksanakan salat lima waktu, berpuasa saat bulan Ramadhan, menjaga k*********a (kehormatannya) dan menaati suaminya. Maka akan dikatakan kepadanya ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana yang kamu kehendaki.’ (HR. Thabrani dan Ibnu Majah) dan juga hadits lain yang berbunyi ‘Sebaik-baik wanita adalah bila engkau pandang dia menyenangkan, bila engkau perintah dia menaati dan bila engkau tak ada dia menjaga hartamu dan kehormatannya.’ (HR. Nasa’i).” “Jadi, kamu sebagai seorang istri harus menyenangkan hati suami, menyenangkan pandangannya, menaati perintahnya dan menjaga harta dan kehormatannya. Insya Allah, rasa cinta perlahan akan hadir seiring berjalannya waktu.” Lisa masih mengingat jelas wejangan kakak iparnya itu. Karena melamun, Lisa tidak menyadari bahwa Faraz telah mengulurkan tangannya di hadapan Lisa. Lisa yang mengetahui maksud Faraz segera mencium tangan suaminya dengan takzim. Ini adalah kedua kalinya ia menicum tangan Faraz setelah akad nikah. “Ayo siap-siap kita ke kebun teh.” “Iya.” Lisa membereskan mukena dan sajadahnya sedangkan Faraz sudah lebih dulu meninggalkannya ke luar kamar. Lisa memutuskan akan menceritakan tentang Revan pada Faraz. === Lisa dan Faraz menyusuri jalan setapak yang ada di perkebunan teh tak jauh dari vila mereka. Mata Lisa terasa segar melihat dedaunan teh yang menghampar hijau di samping kanan dan kirinya. “Ras, ada yang mau aku omongin sama kamu.” “Soal?” “Revan. Aku minta maaf karena sempat gak jujur. Tapi aku rasa memang gak ada gunanya juga bahas dia. Soal kenapa aku putus sama dia setelah sekian lama, itu karena dia yang selingkuh sama atasan kantor aku. Aku gak terima makanya aku putusin dia. Dia memang sempat ngejar-ngejar aku buat ngajak balikan, tapi akunya gak mau. Dia juga sering telepon aku, aku blokir dan dia pakai nomor lain.” “Apa gara-gara dia juga kamu resign dari kantor dan pulang ke rumah bapak kamu?” Lisa tak bisa lagi mengelak jika sudah jujur begini. “Iya, dia juga salah satu alasan kenapa aku pulang.” “Berapa kali kamu pacaran Lisa?” “Hah?” Lisa sedikit terkejut mendengar pertanyaan Faraz. “Oh itu, Cuma sekali kok. Sama Revan doang. Kenapa? Kamu marah dan gak suka ya kalau aku punya mantan? Sekarang aku yang tanya, apa kamu punya mantan?” “Nggak, aku Cuma tanya aja. Mantan? Aku gak pernah pacaran, Lisa. Abah dan ambu mengatakan jika Islam tidak mengenal pacaran. Makanya aku gak punya mantan karena gak pernah pacaran. Satu-satunya perempuan yang aku suka itu Annisa dan aku Cuma bisa memendam perasaanku hingga aku berniat menikahinya. Yah, meski pada akhirnya hal itu gak terjadi.” Lisa merasakan perasaan bersalah lagi ketika Faraz menyebut nama Annisa. Ia merasa bersalah pada Annisa karena telah menggantikan posisinya. Lisa hanya bisa tersenyum tipis. Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak. Sebenarnya Faraz gatal ingin bertanya sudah sejauh mana hubungan dan gaya pacaran Lisa dan Revan. Tapi, ia merasa berat dan ragu untuk menanyakannya pada Lisa. Faraz pikir, hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Cuaca menjadi semakin mendung. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi dedaunan teh. “Ras, hujan.” “Ayo cepet kita pulang aja.” Faraz membuka jaketnya lalu menggunakannya sebagai payung untuk Lisa dan dirinya sendiri. Semakin lama rintik hujan semakin deras. Salah sendiri mereka nekad menyusuri perkebunan teh padahal sebelumnya sudah terlihat awan mendung. Mereka tiba di vila dalam keadaan kuyup. “Kamu mandi aja duluan di sini. Aku pakai kamar mandi dekat dapur,” ucap Faraz lalu bergegas mengambil handuk dan baju ganti. “Iya.” Lisa segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. === Lisa telah usai membersihkan tubuhnya. Lisa keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan kimono handuk dan handuk yang membungkus rambutnya. Ia lupa membawa baju ganti. Lisa pun dengan santainya duduk di meja rias lalu mengeringkan rambutnya. Ia santai karena Faraz tidak ada di kamar ini. Namun, saat tengah menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, Faraz tiba—tiba masuk dan mengejutkan Lisa. Wajah Lisa merona merah karena malu luar biasa. “Eh, ma ... maaf. Aku pakai baju dulu.” Lisa sempat menatap Faraz yang terdiam di dekat pintu. Ada ekspresi aneh yang ditampilkan Faraz. Lisa cepat-cepat menuju lemari dan mengambil baju gantinya. Namun, saat ia berbalik, Lisa memekik terkejut karena Faraz sudah ada di belakangnya. “Awas, Ras. Aku mau ganti baju dulu.” “Jangan dulu, Sa. Begini aja, kamu cantik.” “Eh? Kamu Faraz kan? Kamu gak lagi mabuk kan, Ras?” “Aku, aku ingin kita melaksanakan malam pertama kita sekarang, Lisa. apa boleh?” Faraz meminta izin sambil membelai lembut pipi Lisa yang merona merah. “Eh? Oh, it ... itu ... hmmm ... aku ...” Jantung Lisa berdetak liar, bulu kuduknya pun meremang. Ia merasa belum siap harus melakukan hubungan suami istri dengan Faraz karena mereka belum saling cinta, tetapi di lain sisi ia sadar akan kewajiban seorang istri yang harus melayani suaminya terlepas ada tidaknya rasa cinta. Lisa menganggukkan kepalanya perlahan. Faraz tersenyum ketika mendapat lampu hijau dari istrinya. Ia mendekatkan wajahnya pada Lisa perlahan dan mencium bibir merah lembut istrinya yang tadi pagi mengganggu pikirannya. Mereka awalnya kikuk karena ini pengalaman pertama bagi mereka. Tetapi, naluri dan insting secara alami menuntun mereka. Lama-kelamaan mereka menikmati sentuhan halal yang mereka lakukan. Sepertinya sore sebelum maghrib ini akan menjadi kenangan paling berkesan bagi dua anak manusia itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN