Semuanya membaik, Azzura sudah diperbolehkan pulang setelah dua hari di rumah sakit. Dan selama itu juga semua orang menjaga Azzura. Daffa—kakak Azzura juga ada di sana.
“Bu, saya titip Azzura ya, Bu... Maaf kalo Azzura selalu merepotkan Ibu,” kata Daffa.
“Azzura gak pernah merepotkan Ibu Nak Daffa, Ibu malah bersyukur ada Azzura dan Bahia di sini. Ibu jadi gak ngerasa sendirian. Mereka udah kayak putri Ibu sendiri.” Bu Nirmala tersenyum tulus.
“Terima kasih banyak, Bu...” Daffa tersenyum haru.
“Ah, nak Daffa, sejak tadi bilang terimakasih terus. Ibu ini udah kayak ibu kamu sendiri. Gak perlu sesungkan itu,” tegur Bu Nirmala. “Nak Daffa juga sudah banyak membantu Ibu. Ini cuman hal kecil yang bisa Ibu lakukan membalas semua kebaikan kamu.”
“Bu, ini bukan hal kecil, bagi Daffa, kasih sayang dan kebaikan Ibu pada Azzura—adik Daffa rasanya amat besar, hingga satu kali perkataan terima kasih saja tidak cukup.”
Bu Nirmala tersenyum lebar. “Yowes, kamu masih lama kan di Jakarta? Kamu pokoke harus mampir ke rumah dulu. Kemarin kamu ke rumah tapi Ibu belum sempet buatin sup kesukaan kamu. ”
“Daffa pengennya gitu Bu, tapi Daffa gak bisa lama-lama di sini, kasihan Sarah ngurus anak sendirian.”
“Oh iya Ibu lupa. Azzura sering liatin foto-foto anak kamu...gemes banget Ibu mau bawa pulang.” Bu Nirmala terkekeh. “Tapi apa kamu gak mau mampir sebentar aja ke rumah. Kamu gak kangen sama rumah? “
“Kangen Bu. Tapi mungkin lain kali, Daffa akan ke sana lagi, sekalian bawa Sarah dan anak.”
“Oh, iya, sekalian pas nikahan Azzura aja. Azzura nikah di Bandung atau di Jakarta? “
Daffa tertegun. Ia sudah tahu segalanya. Azka sudah mengatakan mengenai pembatalan pernikahan meski Azzura masih memilih bukam.
“Nak, kamu udah putusin mau nikah di Bandung atau Jakarta? Bentar lagi loh, waktunya...”
Senyum Azzura seketika sirna. Bahia yang sudah mengetahui hal ini mencoba memberi kekuatan melalui senyum pada Azzura.
“Loh kenapa pada diam? “bingung bu Nirmala. “Tidak masalah mau di mana saja. Yang penting pernikahannya berjalan lancar. Ngomong-ngomong kenapa selama Azzura di rumah sakit, Azka tidak datang? Apa ke luar negeri lagi? “
Bahia menoleh pada Azzura. Azzura terlihat sangat sedih. Matanya sudah memerah. Ia berusaha menahan tangisnya.
“Jangan sedih Azzura. Insyallah semua ada hikmahnya,” bisik Bahia.
Azzura mengangguk kaku. Jelas ia kecewa. Jelas ia terluka. Dan kesedihan itu nampak jelas di mata Azzura.
“Apa semuanya sudah siap? Mobilnya sudah datang,” kata Giffari seraya masuk ke dalam ruangan. Kedatangan Giffari, tepat waktu. Bu Nirmala jadi lupa mengenai pertanyaannya.
“Iya, semuanya sudah siap.” Daffa menyahut.
“Ayo Azzura, kita pulang... “ lirih Bahia.
“Biar ana bantuin bawa barangnya.” Giffari lalu bergerak mengambil tas yang berisi beberapa stel baju Azzura selama di rumah sakit.
“Gif, kemana Aariz dan Delshad ?” tanya Bahia.
“Aariz nunggu di luar. Dia yang bawa mobilnya. Kalo Delshad, dia ada urusan jadi pulang duluan.”
Mereka semua sengaja menyewa mobil untuk kepulangan Azzura dari rumah sakit.
“Azzura...” panggil Daffa. Azzura berusaha memaksa senyumnya untuk tampil di depan kakaknya.
“Setelah ini, Kakak langsung pulang ke Bandung? “ Azzura berusaha mengalihkan perhatian Kakaknya yang sejak tadi sudah memandangnya dengan tatapan sedih, terutama saat bu Nirmala menanyai mengenai Azka.
Azzura terus memaksa senyum tampil di wajahnya. Ia takut, rasa sedih itu akan terlihat jelas.
“Hem.” Daffa tersenyum tipis. “Kakak tahu kamu sedih. Kakak minta maaf karena tidak bisa selalu ada untuk adik kecil kesayangan Kakak ini.”
“Tidak masalah Kak. Doa Kakak sudah cukup untuk Azzura. Azzura juga beruntung di pertempukan dengan orang-orang sebaik mereka, bu Nirmala, Bahia, Delshad, Giffari, Aariz... semua itu juga gak lepas dari doa Kakak... “ kata Azzura pelan.
Daffa bahagia mendengar perkataan Azzura. Sungguh ia amat menyayangi adik kecilnya ini. Mengetahui apa yang baru saja ia alami membuat Daffa ingin berlama-lama bersama dan menjaga Azzura. Namun kenyataan berkata lain. Ia tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya kepada anak dan istrinya.
“Kakak, sayang Azzura. Apa pun yang dulu pernah terjadi di masa lalu, bagi Kakak, Azzura tetap adik kecil yang sangat Kakak sayangi. Berhenti membenci masa lalu Azzura.” d**a mengelus pucuk kepala Azzura yang tertutup kerudung.
Azzura mengangguk. “ Azzura mengerti Kak. Kegelapan tidak akan selamanya menyelimuti langit, akan ada pagi yang menggantikan malam. Itu kata Kakak waktu itu.”
Daffa tersenyum. “Wah... ternyata kamu masih ingat sama perkataan Kakak. “
Azzura mengangguk seraya tersenyum lebar. “Azzura selalu mengingat apa yang Kakak katakan.”
“Adik kecil kakak.. “ Tangan Daffa bergerak mengacak pucuk kepala Azzura yang menyebabkan jilbab Azzura jadi berantakan.
“Kakak.... “ cemberut Azzura.
“Kenapa? Malu ya ?” Daffa malah menertawai wajah cemberut Azzura. Azzura kini seperti Azzura kecil. “ Kakak, langsung pulang ya... jaga kesehatanmu. Dan mengenai semua yang terjadi. Jangan jadikan ini akhir dari langkah tapi jadi awal yang lebih bermakna.”
Azzura mengangguk. Ia segera masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil sudah ada Giffari yang duduk di kursi paling belakang, Bahia di tengah bersama Azzura dan bu Nirmala duduk di bangku depan bersama Aariz yang bertugas mengemudi.
“Azzura pulang ya, Kak... Salam buat Kak Sarah sama dedek bayi,” kata Bahia.
Daffa mengangguk. Mobil melaju meninggal Daffa di sana. Daffa menatap kepergian mobil itu. Ia lantas memutar langkahnya ke tempat yang jelas bukan tujuan awalnya.
“Saya Daffa. Kakaknya Azzura. Saya harap kamu masih mengingat saya!”
Pria itu tertegun. Ia hendak kabur karena merasa tertangkap basah. Namun pergerakannya pergerakannya lebih cepat Daffa baca. Daffa langsung menahan bahu pria itu.
“Kamu yang datang pada saya dan berkata bahwa kamu bisa menjaga Azzura. Dan menerima Azzura. Lalu kenapa sekarang kamu hendak lari?! “
Pria itu langsung melepaskan cengkaman erat Daffa dari bahunya.
“Maaf. Saya harus pergi.”
“Azka! “ teriak Daffa. “Saya sempat mempercayai Azzura padamu, bagaimana bisa saya tidak mengenalimu! “
“Jelaskan pada saya kenapa kamu memutuskan hubungan ini? Kalian akan menikah dua bulan lagi!!”
“Maaf, karena saya tidak bisa. Saya rasa ini keputusan terbaik.”
“Keputusan terbaik!? Terbaik karena sudah menghancurkan hati Azzura maksud kamu!? HA! “ emosi d**a terpancing. “Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? “
“Tidak ada apa pun.”
“Lalu, kenapa kamu ke sini?”
“Saya hanya lewat tadi.”
Daffa menghela nafas panjang. “Baiklah. Teruslah mencari alasan. Apa pun yang terjadi, semua akan berpengaruh pada masa depan. Kamu sudah melepas Azzura. Dan saya harap kamu tidak menyesal. Semiga kalian kelak mendapat jodoh terbaik. Aamiin. “
“Sekarang, saya akan pulang. Terimakasih karena sempat membuat Azzura bahagia."
Daffa pergi meninggalkan Azka yang membisu di tempat.
“Kenapa harus seperti ini, kenapa harus ada luka demi terhindar dari luka? “—batin Azka.
“Azzura. Maaf. “