Apa yang tidak terlihat

1026 Kata
“Bucin is b***k cinta.” “b***k cinta? “Delshad manggut-manggut, “Jadi itu arti dari perkataan mereka. Aariz si b***k cinta Bahia ? “ Bahia yang baru saja di sodorkan Azzura cemilan. Terbatuk-batuk mendengar kalimat Delshad. Secepat kilat, Aariz menepikan mobil dan langsung memberi Bahia air mineral. Bahia menolaknya dan menuntaskan batuknya hingga selesai tanpa bantuan air. “b***k cinta seperti itu kan? “ tanya Delshad pada Giffari setelah menyaksikan sepenggal cuplikan rasa khawatir ‘berlebihan' Aariz terhadap Bahia. Aariz menganggap hal ini biasa saja. Sedangkan Bahia merasa butuh untuk klasifikasi. “Aariz hanya mencoba menjagaku. Bukan bucin. Mereka semua gak ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu saja,” jelas Bahia. "Jadi Aariz gak bucin ya? " “Ih ente mah....” Giffari jadi tidak enak sendiri. “Bahia, kamu gak papa kan? “ “Iya gak kenapa-napa. Cuman batuk doang,” jawab Bahia. “Ya Allah, ana salah bicara ya? Duh ana gak maksud apa-apa. Ana cuman penasaran aja. Para akhwat di kampus bilangnya begitu..... ana pikir bucin itu sejenis fi'il Amr.” Giffari, Azzura dan Bahia refleks tertawa mendengar penuturn Delshad. “Kayaknya kamu emang harus ikut organisasi, Shad. Biar bisa tumbuh jadi kupu-kupu di luar kepompong,” lanjut Giffari. “Ana emang lagi daftar organisasi aktivis kemanusiaan. Doain ke terima ya... “ “Aamiin... “ sahut semuanya serempak kecuali Aariz yang terlalu fokus pada jalan hingga terlambat untuk bersama mengucap aamiin. Aariz memilih mengaamiin doa Delshad di dalam hati. “Setelah ini belok atau lurus? “ tanya Aariz menoleh sedikit pada Azzura yang bertugas sebagai maps manual. Kebetulan maps digital pada mobil itu rusak, dan mereka terpaksa menggunakan maps pada ponsel sebagai penunjuk arah. Azzura yang mendapatkan tugas itu. “Belok ke kanan, terus lurus aja ikutin jalan, “info Azzura. Aariz mengangguk. “Masih lama ya, Zur? “ tanya Giffari. “Tiga puluh menit lagi kalo gak macet.” Azzura menoleh ke kursi belakang. Wajah Giffari terlihat bosan. “Shad, kita rebanahan aja yuk. Aku simpan instrumen musik rebana di ponsel. Kita tinggal nyanyi aja,” ajak Giffari. “Wah ide bagus tuh,” Bahia menyahut. Gadis itu memutar setengah tubuhnya mengadap ke kursi belakang kedua pemuda itu. “Riques satu lagu. Man ana. “ “Baiklah....,”setuju Giffari, instrumen rebanah mulai terdengar dari ponsel Giffari. Musik itu mengalun di dalam mobil, dengan batas wajar. Sebelum masuk ke nada, Giffari melakukan tes-tes suara, kecil-kecilan. “Man... ana... man ana ...lailakum.. “ “Kaifaman hubukum... kaifama afwakum...” Dan selanjutnya ketiganya mulai bernyanyi bersama. Terkadang menyanyikan lagu religi dari penyanyi yang Azzura kenal sampai penyanyi yang sama sekali tidak Azzura kenal. Azzura tidak bergabung dengan ketiganya. Azzura memilih membenamkan dirinya dalam lantunan ayat Al-Qur’an pada ponselnya. Azzura menyenderkan kepalanya di jendela mobil sembari menatap ke arah luar. Menikmati pemandang jalan raya dari jendela mobil dengan handset yang terpasang di kedua telinganya yang tertutup jilbab. “Zur, mau riquest lagu gak ? “ tanya Bahia. Namun Azzura tidak merespon bahkan tidak menoleh pada Bahia. “Lagi dengerin apa sih?” Bahia tiba-tiba mengambil alih sebelah handset dari telinga Azzura. “Masyaallah... “ Bahia berdecak kagum . Azzura masih belum pulih dengan rasa terkejutnya. “Kita nyanyinya udah dulu yuk. Sekarang mari kita dengarin murotal Al-Qur'an, biar dapat pahala kayak Azzura.” Tanpa aba-aba Bahia langsung menarik ujung hetset Azzura hingga suara dari ponsel Azzura menyambar keluar. “Masyallah ukhti, “komentar Giffari. Sebelum keheningan menguasai mobil dengan suara murotal yang bersenandung indah. Giffari, Delshad dan Bahia mendengar di khidmat. “Apabila dibacakan Al-Quran, perhatikanlah dan diamlah, maka kalian akan mendapatkan rahmat.” (Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 204) “Sadaqallahuazim....” ketiganya kompak mengakhirinya bersama mengikuti murotal Al-Qur’an itu. Lalu di susul Azzura dan Aariz yang melafadzkannya pelan. “Rasanya hati jadi lebih nyaman,” gumam Delshad. “Terimakasih ya, Zur.” Azzura mengangguk kepalanya seraya mengulas senyum kaku yang dipaksakan. “Iya ih, jadi enak,” tambah Giffari. “Sahabat kayak Azzura ini yang harus di pertahankan.” “Iya, betul banget. Azzura itu kayak lonceng pengingat di saat aku lalai dan pecut penegur saat aku akan atau sedang melakukan dosa. Wawasan Azzura mengenai islam juga luas banget. Bergaul sama Azzura itu berasa lagi baca kitab-kitab, nambah ilmu banget,” puji Bahia. “Makasih ya, Zur. Semoga kita akan selalu menjadi sahabat Lillah.” Bahia tiba-tiba memeluk Azzura yang berada tepat di sampingnya. Azzura terkejut dan tidak langsung membalas pelukan Bahia. Azzura membalas sebentar pelukaan Bahia satu menit sebelum Bahia melepas peluknya. “Aamiin... “ sahut Delshad dan Giffari. Doa Bahia luput dari pendengaran Azzura. “Kamu wanita baik. Aku beruntung bisa punya sahabat se-shaliha kamu. Kamu panutan ku, hafizho Azzura,” Bahia masih mendominasi pembicaraan dengan pujian-pujian yang memabukan. Azzura diam-diam mencoba mengatur nafasnya yang mulai berantakan. Azzura tidak suka pujian. Pujian hanya akan menerbangkan ingatannya pada sosok Azzura dulu. Membawa kenangan buruk dari masa lalu. Mengenai betapa jahiliahnya Azzura hingga kehilangan kehormatan di usia muda. “ Dan siapa pun kelak yang jadi suami Azzura pasti beruntung banget. Azzura itu wanita shaliha. Bagai mutiara yang berkilau namun tetap tersimpan. Terjaga, ttidak terjamak sembarangan orang dan Azzura itu—“ “STOP! “ pekik Azzura. Azzura tidak tahan lagi. Nafasnya semakin berantakan, Azzura tidak bisa bernafas dengan benar seperti ada sesuatu yang menghalangi saluran pernapasan nya. Sindrom itu kembali menyerang Azzura dengan telak. “Kenapa Zur? “tanya Bahia heran. Begitupun dengan Delshad, Giffari dan Aariz. Aariz bahkan spontan menghentikan mobilnya di tengah jalan. Azzura tersadar. Luapan kemarahan dalam dirinya sudah membuat ia lupa bahwa mereka tidak pantas merasakan uap itu. Mereka tidak tahu apa pun tentang Azzura. Azzura tidak ingin mereka merasakan percikan ini. “Tolong, menepi di pinggir...,” suara Azzura sedikit gemetar. Wajahnya juga pucat pasi menahan diri sebaik mungkin. Aariz menepikan mobilnya. “Kenapa?” bingung Bahia. “Kamu mabuk perjalanan?” tambah Bahia lagi. Azzura memaksa senyum terbit di wajahnya sebelum turun dari mobil. “Maaf, tapi aku butuh udara segar sebentar,” kata Azzura. Bahia mengangguk, mengerti maksud Azzura yang tidak ingin ia temani. “Azzura kenapa? “ perkataan Delshad mewakili pertanyaan semua orang, termasuk Aariz yang diam-diam melirik kepergian Azzura. *** Azzura terburu-buru berlari kembali ke mobil, entah sudah berapa lama ia meninggalkan mobil. Azzura tidak tahu apa yang harus ia katakan pada semua orang mengenai alasan ia menghilang selama beberapa jam tadi. Azzura mencoba menenangkan dirinya dan bersiap menghadapi semua kemungkinan buruk, bahkan jika ia harus jujur. Meski belum siap, Azzura harus tetap berani. Lima menit Azzura sudah berlari menuju mobil. Terlihat mobil berwarna hitam terpakir di tepi jalan, sama persis di tempat Azzura turun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN