Tidak ada kata

1090 Kata
“Bissmilah.... “ lirih Azzura. Azzura kembali mengatur nafasnya, sebelum memantapkan langkah kakinya semakin dekat menuju mobil. Di luar dugaan, di mobil kosong melempong. Tidak ada siapa pun. Azzura menghela nafas, bayangan akan di sudutkan dengan pertanyaan sulit, menguap dari kepala Azzura. Azzura merasa lebih lega dari sebelumnya. Tampaknya di sini hanya Azzura lah yang berlebihan. “Udah selesai? “ Azzura tersentak. Aariz berdiri di moncong mobil seraya fokus menatap layar ponselnya. Azzura tidak menyadari keberadaan Aariz di sana. “Hem. Yang lain ke mana? “tanya Azzura, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. “Di sana.” Jari Aariz menuju pada warung di seberang jalan, sedangkan matanya tetap fokus pada layar ponsel. “Mereka pikir kamu mabuk perjalanan, jadi Bahia berinisiatif membeli wedang di sana.” Azzura refleks mengendarkan pandangannya menuju warung yang Aariz tunjuk. Mata Azzura langsung menangkap sosok Bahia di seberang sana. “Mereka terlalu polos,” desis Aariz pelan. Azzura kembali menoleh dan mendapati Aariz masih tetap pada fokusnya—ponsel. “Apa benar wedang jahe cocok untuk orang yang mabuk perjalanan ?” kalimat kembali mengudara dari mulut Aariz. Itu kalimat tanya. Tapi Aariz seperti tidak sedang bertanya. Dahi Azzura berlipat, ia tidak tahu sebenarnya apa yang Aariz lakukan. Aariz sedang berbicara padanya atau pada ponselnya. “Sebaiknya aku susul Bah—“ “Tapi apa cocok untuk orang yang butuh obat ketimbang wedang?” desis Aariz. “Ha? “ Azzura kembali di buat bingung mengenai kalimat tanya yang Aariz lontarkan. “Maksud ka—“ “Huft. Kalah....,” sela Aariz sebelum Azzura selesai dengan kalimatnya. Aariz menghela nafas panjang dan menyimpan ponselnya di saku. Raut wajah Aariz terlihat kurang bersahabat. Sepertinya ia kalah dalam game. “Masih di sini ?” tanya Aariz, terkejut. Perkataan Aariz seperti baru menyadari kehadiran Azzura. Namun entah kenapa Azzura sangsi jika Aariz baru menyadari kehadirannya sejak tadi. Meski fokus pada ponselnya bukan berarti orang tidak menyadari kehadiran orang lainkan? atau memang begitukah kenyataan? ponsel terlalu menyita banyak kepekaan manusia. Termasuk peka akan orang di sekitarnya ? Azzura hanya diam. Hipotesis kedua, Azzura ambil untuk meredam rasa bingungnya. Sudahlah— batin Azzura. “Zura....” teriak Bahia dari seberang sana. Azzura langsung tahu dari mana asal suara itu. Terlihat Bahia melambai-lambaikan tangan ke arahnya. “Sini.... “ pergerakan tangan Bahia memberi isyarat untuk Azzura datang ke sana. “ Riz, mau gabung ke warung? “tanya Azzura. Aariz menggeleng. “Kalo gitu aku ke sana ya....” pamit Azzura. Aariz hanya diam saja saat Azzura berbalik hendak melangkah pergi. Tapi saat Azzura baru berjalan tidak jauh dari mobil, Aariz sudah menghentikan Azzura. “Ini ! sepertinya kamu butuh ini.” Azzura termenung melihat bungkus biru berukuran sedang yang kini berada di tangan Aariz. Bungkus itu amat Azzura kenal dengan tulisan dibagian depan. Diminum 2 x sehari. Seketika mulut Azzura terasa kaku bahkan untuk sekadar bertanya dari mana Aariz mendapatkan obat ini. *** “Zura.... kamu mau pesan apa?” Bahia menyambut antusias Azzura yang baru saja menyusul ke warung. Azzura hanya menggeleng sebagai tanda tidak ingin memesan apa pun. Bahia langsung kembali ke ‘singgasana’ pembeli sedangkan mata Azzura menangkap bangku kosong dan ingin menjatuhkan dirinya di kursi. “Beneran gak mau pesan makanan?” tanya Bahia lagi. Bahia masih setiap berdiri di depan bolongan yang di fungsikan pemilik warung sebagai tempat komunikasi langsung antara pembeli dan penjual. Azzura kembali menggeleng.“Aku hanya ingin du— “Aw!” Dari belakang seorang pria tanpa sengaja menyenggol tas Azzura. Mata Azzura menyalak tanpa sadar. Rahang Azzura mengeras, meski tubuhnya gemetar. Emosi Azzura terpancing. Azzura belum pulih sepenuhnya. Azzura kesulitan mengendalikan kemarahan yang meluap-luap di benaknya. Ia marah untuk hal sepel. Sangat sepele. “Azzura....” tepukan pelan mendarat di bahu Azzura. Bahia berdiri sembari menatap Azzura yang tidak biasanya menampilkan ekspresi seperti itu. “Aku ingin kembali ke mobil,” putus Azzura cepat, sebelum ia hilang kendali atas dirinya. Di mobil, Azzura masih bergulat dengan batinnya. “Astagfirullah....astagfirullah...astagfirullah... “ Azzura terus mengulang dzikir itu. Berkali-kali Azzura berbisik pada dirinya untuk merendam semua kemarahan ini. Berkali-kali pula Azzura tertolak. Azzura mengingatkan pada dirinya, bahwa itu hanya masa lalu. Azzura harus berdamai dengan hal ini. Namun egonya menolak mentah-mentah. Mereka tidak ingin berdamai, melainkan menghapus. Dan Azzura harus membantu misi mereka. Azzura harus ikut kendali itu. Azzura teringat obat yang Aariz berikan. Cepat-cepat Azzura meneguk obat itu. Lalu perlahan, segala sesuatu di dalam dirinya mulai mereda. Azzura mulai memegang kendali dirinya. Tubuhnya lemas seketika. “Udah agak mendingan, Zur ?” tanya Giffari yang baru saja datang ke mobil bersama Bahia, Delshad dan Aariz di belakang. Azzura mengangguk, menyenderkan kepalanya di kursi mobil dengan mata yang masih enggan terbuka. “Minum dulu, Zur. Biar eneg-nya hilang.” Bahia menawarkan wedang jahe pada Azzura. “Makasih, Iah,” ucap Azzura seraya menyeruput wedang hangat dari cup kecil yang Bahia berikan. “Wedangnya enak,” gumam Azzura. “Masih gak enak badan ya? Muka kamu masih pucat gitu,” Bahia menelisik wajah Azzura. Pikiran Azzura kembali melalang buana entah kemana. Setelah enam bulan tidak lagi mengalami hal tadi, Azzura jadi lengah dan nyaris telendor. Hingga tidak memperhatikan obat yang seharusnya selalu ia bawa. Azzura pikir ia tidak perlu obat lagi. Nyatanya Azzura salah. Ia masih perlu obat. Selama Azzura belum siap menerima semua ini, maka selama itu pula semua itu akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun. “Seharusnya kamu bilang kalo kamu mabuk perjalanan. Gak perlu malu. Aku dulu juga suka mabuk. Kata Mama wedang jahe cocok buat menghangatkan tubuh. Cocok juga kalo buat hilangin mual. Sekarang masih mual gak? ” Azzura menggeleng. Rasa mualnya perlahan sirna meski tubuhnya masih gemetar. “Dingin ya, Zur ?” tanya Giffari tiba-tiba. “Nih pakai jaket, ana.” Giffari melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Azzura. Azzura sedikit ragu menerima jaket dari Giffari. Azzura merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan orang lain. “Jaketnya wangi kok, Zur. Lebih wangi dari biasanya. The first, ana dirty,” canda Giffari. Logat Giffari terdengar aneh saat melafadzkan kalimat Eropa itu. Bahia terkekeh. “Kayaknya jaketnya tahu mau dipinjam Azzura. Makanya minta dicuci.” “Iya kayaknya.” sahut Giffari. “Nih Zur, pakai aja. Gak perlu sungkan.” Azzura meraih jaket Giffari lalu memakainya. “Syukron Giff.” “Afwan, ukhti.” Lalu setelah itu keheningan menyapa mobil. Semua orang mulai kelelahan dan memilih menikmati perjalananan dalam diam. Bahia, Giffari dan Delshad tertidur diposisinya sedang Azzura masih tetap terjaga. Mata Azzura menatap jauh ke luar jendela mobil, mengamati jalan yang seolah ikut bergerak bersamaan dengan laju mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN