Pembicaraan pria

1200 Kata
Delshad berjalan gontai menuju masjid, tubuh tingginya yang cendrung sedikit kurus berjalan terseok menyusuri jalan, menuju rumah Allah. Ia datang telat. Lagi. Ini sudah kali keduanya Delshad terlambat datang salat jum'at. Delshad tertidur dan tepat saat suara adzan sudah berkumandang lima menit yang lalu, ia baru terbangun. Delshad kecewa, tepatnya kecewa pada dirinya sendiri. Biasanya ia akan berangkat sebelum azan berkumandang atau paling telat saat azan dikumandangkan muadzin. Dan sekarang, liat apa yang terjadi. Delshad berada di baris paling akhir, dengan segalanya terburu-buru. “Eh, ente, ana pikir salat di masjid lain,” sapa Giffari. Giffari duduk di sudut masjid, seraya mengeluarkan biji tasbih dari kantong baju kokohnya. Delshad membisu. Ia menjatuhkan dirinya di ubin masjid, bergabung dengan Giffari yang sudah duluan duduk di sana. “Gimana kegiatan aktivisnya? Kayaknya ente sibuk banget, sampai kita hampir jarang ketemu sekarang....” Giffari tersenyum, mulutnya bergerak melafazkan dzikir tanpa suara. “Iya, ana lagi sibuk sama kegiatan aktivis. Lagi banyak-banyaknya kegiatan.” Delshad menghela nafas panjang. “Kenapa ? Kayaknya lelah banget?” “Hem, ana takut lalai Gif,” Delshad menatap nanar, mushaf Al-Qur’an yang ada di rak masjid. Menjadi aktivis bukanlah hal mudah, sering kali Delshad tanpa sadar mengalami fultur akibat kelelehan atau tanpa sadar menomor duakan urusan akhirat. Giffari menepuk pelan pundak Delshad. “Ente harus lawan itu, Shad. Ente gak boleh nyerah.” “Apa lebih baik ana keluar aja ya, Gif ?” “Ente pikir baik-baik dulu, Shad. Bukannya saat memutuskan jadi aktivis, ente udah tahu semua resiko ini. Waktu dan tenaga.” Delshad memandang jauh keluar masjid, matanya memperhatikan anak-anak kecil yang sedang bermain bersama. Mereka semua tertawa dengan tawa ceria tanpa beban. “Ente, masih lama di sini?” “Na'am,” jawab Giffari. “Ana temanin ya....” tanya Delshad, Giffari mengangguk. “Ente sekarang sibuk ngapain selain kuliah? “ “Hem, ana yah gini-gini aja. Kuliah, menghafal dan ikut pengajian.” Giffari tersenyum lebar. Wajahnya berseri-seri enak di pandang mata, efek samping berwuduh. “Di Pengajian, alhamdulillah makin rame aja. Ente kenapa kemarin gak datang? Biasanya ente yang paling pertama datang. Ustadz Ridwan juga tanyai ente.” “Hem...ana ketiduran,” jawab Delshad sedih. “Ana kelelahan karena semua kegiatan aktivis ini. “ “Ana rasa ente harus bisa atur waktu. Ingat waktu itu pedang, Shad. Kalo ente lengah, ente yang bakal tertebas.” Delshad menghembus nafas panjang. “Waktu adalah pedang sedangkan ana tidak pandai bermain pedang.” “Jangan bilang gitu. Semua orang mampu kok, asal punya tujuan dan tekad yang kuat. Insyallah karena seizin Allah juga.” “Hem, Gif, nasehati ana... “ “Ana gak tahu mau nasehati apa sama ente. Ana cuman bisa doain ente.” “Apa ana berhenti aja jadi aktivis, Gif ? Ana takut fultur, Gif,” sedih Delshad. “Hafalan ana gak nambah-nambah, murojah ana berantakan, salat ana telat terus, ana juga sering bolos ikut pengajian.” Delshad menghela nafas kuat seolah ada batu di dalam tenggorokannya. “Apa jalan yang ana pilih salah? Ana memang butuh dunia, tapi jauh dari itu tujuan ana adalah akhirat. Ana tidak mau terbutakan oleh dunia hingga silau dan melupakan akhirat. Ana gak mau menjadi manusia merugi, Gif. Ini fitnah yang besar Gif. Ana tersibukan oleh dunia! Ini fitnah besar Giff...,” Suara Delshad parau. Ya Allah lindungi sahabatku dari segala fitnah, fitnah nampak mau pun tidak nampak—batin Giffari. “Ana harus apa Giff ?” tanya Delshad lagi. Kali ini tersirat rasa putus asa pada suara Delshad. Giffari berdeham pelan. Lalu merangkul pundak Delshad, mencoba memberi semangat. “Coba ente tanya hati ente, balik lagi ke tujuan ente, apa tujuan ente jadi aktivis. Jangan pernah berhenti meminta perlindungan sama Allah, semoga Allah selalu membimbing jalan ente.” Giffari melihat kecemasan yang Delshad rasakan. “Aamiin,” lirih Delshad. “Udah sekarang jangan sedih. Mending sekarang kita bersihin masjid. Lumayan buat tabungan amal.” Giffari bangkit, menyimpan biji tasbih di saku. Delshad juga ikut bangkit. Menghampiri Giffari yang sudah lebih dulu mengangkat ujung karpet masjid. “Ana bantuin.” Delshad menawarkan diri, Giffari mengangguk pelan. Keduanya lalu menggulung karpet bersama, meletaknya di sisi sudut masjid. Giffari mengambil sapu sedangkan Delshad mengambil kain basah, pel, dan ember. Mereka membersihkan masjid bersama. “Alhamdulillah, selesai juga.” Delshad terduduk di depan teras dengan kaki terjulur, merenggangkan kakinya. Satu tanganya mengibas-ngibas berusaha menghasilkan udara dengan telapak tanganya. “Minum, Shad. ” Giffari muncul, membawa dua cangkir kopi hangat yang masih terlihat menggembul. “Syukron....” Delshad tersenyum. Pandangan matanya kembali pada anak-anak yang tengah bermain. “Kalo liat gini jadi ingat pondok ya, Gif ? Apa lagi ditemani kopi gini. Hem.. Ana jadi makin rindu suasana pondok.” Pondok—penjara suci. Begitulah yang Delshad tahu. Ia merasa nyaman dan tentram di sana. Jika ia mengalami fultur dalam beribadah, ia tidak perlu cemas, ada banyak saudara-saudara semuslim yang akan selalu mengingat kan dan menasihatinya. Ia merasa terjaga di sana, berbeda dengan di sini. Di sini, ia merasa sendirian. Di dunia yang besar dengan segala hiruk-pikuk dan kemeriahannya. Ini dunia baru untuk Delshad. Giffari menyeruput kopi miliknya. “Hem.... fabiaaiallairrobi kuma’tukajiba. Nikmat tuhan mana yang engkau dustakan ?” Keduanya lalu sama-sama diam, membiarkan kebisuan hangat menyapa mereka. Keduanya dalam-dalam menyeruput kopi, dengan memori indah yang membumbung dalam ingatan masing-masing. Mereka menikmati sepenggal memori indah sembari di temani kopi dan suara tawa anak-anak yang bermain di sekitar masjid. “Aneh-aneh saja.” Tawa Delshad memecah hening. Kepala Delshad menggeleng-gelang pelan, tidak habis pikir akan sesuatu. “Kamu tahu, Shad. Tadi di basecamp, ada gadis ABG, adiknya salah satu aktivis akhwat. Hem.... bawelnya minta ampun, sepanjang duduk dia bicara terus. Topik pembicaraannya ada-ada aja. Mulai dari gajah terbang, naga merangkak, atau semut raksasa. Kalo bosan bahas itu, dia bakal cari-cari alasan buat bisa bawa motor untuk beli gorengan atau cam-cam. Semua jurus dia keluarin biar bisa yakinin orang pinjamin motor. “Kakaknya cemas banget pas tahu adiknya bawa motor. Tapi yang gak ana pikir, tuh anak cerdas banget. Di gerbang depan, dia minta tolong mahasiswi buat ngaterin dia pulang ke basechamp, minta dia yang di bonceng. Jadinya dia bebas dari kemarahan kakaknya. Ada-ada aja tuh anak.” “ Kids zaman now,” komentar Giffari. “Kalo ana dulu, yang namanya buat salah tuh udah keringat dingin. Belum di tanya abi, ana udah nangis duluan. Boro-boro mau nyari cara buat ngeles.” “Sama.” Delshad tertawa. “Ana gak pernah berani bohong. Ana tuh kebiasaan, kalo bohong suka ke bawa mimpi. Ngigau gitu. Jadi kalo ana bohong, abi udah berdiri di depan kamar nungguin ana.” “Pantas, kamu polos ya... “ “Polos apa sih? Ana gak ngerti ? Tolok ukur orang di bilang polos tuh gimana sih? Kamu orang kesepuluh yang bilang ana polos. Bahkan si remaja ABG itu juga bilang anak polos? Emang ana motif baju, polos? “ “Polos tuh...apa ya? Ana gak bisa mendeskripsikannya. Ya intinya gitu, Shad.” “Ente mah... “ “Eh, tapi ente di bilang gitu? Kok bisa? “tanya Giffari. “Kadang ana gak ngerti, padahal ana udah sangat menjaga, biar ana gak terlihat, kalo bisa ana ngilang. Ana gak mau cari masalah sama dia, apalagi dia kan masih kecil, terus kakaknya juga baik banget sama semua orang, ana jadi gak tega mau marahi adiknya. Kakaknya tuh, pintar, sholeha, baik dan lemah lembut, selain itu dia juga sebagai salah satu pentolan aktivis pemberantasan kejahatan, wajar sih kalo banyak yang segan. Kayaknya semua orang tuh juga mandang kakaknya, makanya mereka tetap diam sama tingkah adiknya, nah tapi adiknya malah ambil kesempatan buat ini-itu seenaknya.” “Kayaknya ente suka sama kakaknya, ya? “ “Ha? “ Wajah Delshad langsung bersemu merah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN