Pencuri dengar

2290 Kata
“Tumben ya hari ini kajiannya telat banget, udah jam tiga belum juga mulai,” kata seorang gadis di barisan belakang satu saff di belakang Azzura. Azzura mengecek jam tangan yang terlilit di tangannya, rupanya sudah pukul tiga sore. Azzura tidak memperhatikan waktu yang berjalan sangat cepat, ia terlalu terlena dengan ruas-ruas dzikir dengan jari-jarinya. “Kayaknya hari ini, kajiannya gak diisi sama Ustadz biasanya.” “Loh kenapa? “ tanya gadis satunya, mewakil Azzura yang diam-diam mencuri dengar obrolan kedua gadis yang duduk di barisan belakang Azzura. “Soalnya tadi ana gak sengaja papasan sama beliau di teras masjid...beliau keliatan buru-buru banget. Mukanya kelihatan cemas gitu.” Ingin rasanya Azzura ikut bergabung pembicaraan mereka, menanyakan apa yang kini sedang membumbung tinggi di benaknya, namun ia terlalu malu jika ketahuan sebagai dengar. Sepanjang pengajian, Azzura memendam semua tanda tanya di benaknya, pengajian benar-benar di ganti dengan orang lain. Pembawa materi hari ini sebenarnya sangat bagus, materi di bawakan sangat simple dan mudah di cerna, juga sekali-kali terlontar candaan yang mampu membuat para jemaah tertawa, tapi tidak dengan Azzura. Azzura masih terus memikirkan perihal mengenai ‘apa, kenapa dan bagaimana'. Apa yang terjadi? —batin Azzura bersuara nyaring. “Astagfirullah... “ Azzura segera menepis semua itu dan mengingatkan dirinya bahwa semua ini bukan rananya dan tidak halal baginya untuk memikirkan pria yang mahrom-nya. Sadar Azzura! Sadar !— batin Azzura. Azzura kembali berusaha untuk fokus pada materi kajian hari ini, ia mengambil pulpen dan kertas, berusaha menyibukkan dirinya agar tidak terjebak pikiran yang haram untuknya. “Sebelum kita tutup pengajian hari ini, kami selaku pengurus masjid dan teman-teman pengajian, kami baru mendapatkan kabar duka adik, saudara, sahabat, teman kami, akhi Azka yang baru saja mendapat musibah.” Deg Hati Azzura kembali merasa tidak enak. “Inalilahi wainalilahi rojiun. Telah kembali ke haribaan Allah SWT, ibunda beliau, ibunda Maryam binti Rojak tadi siang. Tepatnya pukul 3 siang tadi. Kami semua berencana melayat sehabis kajian, barang kali ada yang ingin ikut, di persilakan.” “Inalilahi Wa inalilahi rojiun...” gumam Azzura. Ponsel Azzura berdering, buru-buru Azzura melangkah keluar masjid untuk mengangkat panggilan masuk di ponselnya. Tertera nama Lisa di sana. “Assalam—“ “Zura, Mama kecelakaan.... “ Terdengar suara tangis di sebrang sana. “Lisa, tenang, kamu sekarang di mana? “ “Aku...aku....aku di rumah.” “Tenang, jangan cemas. Aku ke sana ya....“ Azzura segera memasukan ponselnya ke dalam tas. Ia bergegas ke rak sepatu mengambil sepatunya. “Eh, ukhti, gak ikut ngelayat ke tempat akhi Azka kah? “ Azzura menggeleng. “Saya tidak bisa ukhti....tolong sampai turut berduka saya pada keluarga yang ditinggalkan,” ujar Azzura, berpamitan. Azzura melewati dua orang yang tengah obrolan. Azzura tidak sengaja mendengar, saat ia lewat. “Ana dengar sih, ibunda beliau meninggal dunia secara mendadak. Padahal kemarin-kemarin masih sehat aja.” “Yah, begitulah kematian. Gak ada syarat dan ketentuan khususnya. Mau sehat, mau sakit, mau tua, atau muda semua berpeluang untuk mati kapan saja.” “Betul akhi, tapi jika meninggal mendadak begini, pastilah menimbulkan luka yang lebih dalam.” “Yah, setiap perpisahan pasti menimbulkan kesedihan. Tugas kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas menerima segalanya. Kuncinya itu. Ikhlas dan pasrahkan segalanya pada Allah.” Ingin rasanya Azzura ikut berduka cita bersama mereka, bergabung, datang dan melayat guna memberikan dukungan untuk keluarga yang di tinggalkan. Tapi Azzura tidak bisa. Lisa lebih membutuhkan dirinya, mengingatkan trauma Lisa mengenai kecelakaan. Azzura takut Lisa kembali merasakan perasaan tertekan dan ketakutan. “Lisa...assalamualaikum... “ Beruntung rumah Lisa dan masjid tidak terlalu jauh. Hanya butuh lima menit untuk sampai. Kini Azzura sudah berada di depan pintu rumah Lisa. Pintu rumah itu tidak terkunci. Azzura bergegas masuk mencari keberadaan Lisa. “Lisa... “ “Azzura...” Lisa langsung memeluk Azzura. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di pelukan Azzura. “Kita...kita harus ke rumah sakit sekarang, “kata Lisa di sela tangisnya. “Hem. Baiklah. Tapi biar aku yang bawa motor kamu ya.” Lisa mengangguk pasrah. Keduanya segera pergi menuju rumah sakit. Lisa langsung berlari ke ruangan rawat Mamanya. Beruntung kecelakaan itu tidak menimbulkan luka serius, mama Lisa hanya mengalami cedera luka ringan di bagian pergelangan tangan dan kaki. Mama Lisa sekarang tengah beristirahat untuk pemulihan, Lisa dengan setia duduk di di kursi sebelah kasur rawat. Ia memilih untuk tidak duduk di soda bergabung dengan Azzura. “Zur, aku titip Mama ya bentar. Om dari dari tadi siang telepon, tapi aku cemas milik Mama makanya gak keinget. Aku telepon om dulu ya. Takutnya ada yang penting.” Lisa melangkah keluar ruangan, setelah Azzura mengangguk. “Ya Allah...” tubuh Mama Lisa bergerak. Tidak lama perlahan matanya membuka. Azzura segera mendekat. “Alhamdulillah tante udah sadar,” Azzura berdiri di samping ranjang pasien. “Biar Zura panggilkan Lisa.” “Tunggu,” Mama Lisa menahan lengan Azzura. “Kenapa Lisa ada di sini?” Kening Azzura berkerut, jelas Lisa ada di sini untuk menemani ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. “Mama.... “Lisa masuk dengan wajah beruraian air mata. Ia memeluk Mamanya, tidak peduli meski ia harus bersaing dengan kabel infus. “Eyang meninggal...,” kata Lisa dengan bibir gemetar. Mata Mama Lisa seketika berkaca-kaca, tangannya yang di infus, bergerakan pelan untuk mengelus pucuk kepala Lisa. “Kok mendadak gini, Ma? Eyang bilang mau ke temu Lisa besok. Tapi... “ “Mama juga terkejut dengar kabar ini, Nak. Makanya Mama mau buru-buru ke sana. Tapi Mama malah kecelakaan,” lirih Mama. “Kata, Om Ustadz, Eyang udah di makami tadi siang... Lisa bahkan gak bisa liat eyang untuk terakhir kalinya.” Air mata mulai berjatuhan di pipi Lisa. “Lisa mau meluk eyang, cium eyang dan tidur sama eyang lain, Ma.. “lirihnya “Sabar ya, Nak. Kita harus ikhlas, mungkin ini sudah takdir. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya memberi doa buat eyang....” “Ma...tapi... Lisa sayang eyang. Lisa gak nyangka secepat ini, Ma. Lisa gak nyangka makan popcorn itu adalah makanan terakhir yang Lisa makan bareng eyang.” Lisa tidak sanggup lagi membendung rasa sedihnya. Gadis itu menangis menumpahkan kesedihannya. Lisa merasa menyesal, jika saja waktu bisa ia putar, ingin rasanya ia menghabiskan banyak waktu bersama eyang. Tiap menit bahkan tiap detik. Mengukir tiap kenangan yang kini hanya terjebak dalam ruang memori. Tapi itu tidak mungkin. “Kamu ke sana, ke tempat kakek ya...kasihan om dan kakek.” “Tapi Mama?” “Mama gak kenapa-napa. Kalian di sini banyak suster yang siap jagain Mama,” ujar Mama pelan. “Zur, tolong jangain Lisa ya ...” Azzura mengangguk kaku. “Ma..Lisa tinggal ya,” pamit Lisa. Mama tersenyum mengiringi kepergian keduanya. *** Nama lain pertemuan adalah perpisahan. Hakikatnya di dunia, kita hanya sebagai perantau yang kelak akan kembali ke kampung halaman. Kampung akhirat. Di sanalah rumah sejati kita. Azzura dan Lisa sampai di depan rumah, berpagar hitam menyambut kedatangan keduanya. Di pagar terselip bendera kuning, sebagai tanda rumah duka. Keadaan rumah duka sangat ramai, banyak karangan bunga yang berdatang menandakan betapa beliau memiliki banyak orang yang merasa kehilangan sosoknya. Banyak orang yang juga datang untuk ikut tahlil dan doa bersama. Sebagian orang ada yang memilih masuk ke dalam rumah duka, dan sebagian yang lain memilih duduk di halaman depan. Di halaman depan, sudah di siapkan kursi-kursi plastik yang disediakan. Lisa langsung menerobos masuk ke dalam rumah, Azzura mengekor di belakang gadis yang kini sudah menutupi setengah rambutnya dengan selendang hitam. Azzura sedikit kesulitan mengimbangi langkah Lisa yang sangat cepat ditambah terlalu ramai orang yang membuat langkah Azzura sedikit terhambat. “Ukhti, ke sini juga?“ Azzura mendapati gadis yang sama di masjid. Dan Azzura baru sadar, beberapa akhwat yang sering ia lihat di pengajian ada di sini. “Om....” Suara Lisa. Azzura menoleh. “Om...eyang.... “ mata Lisa berkaca-kaca, pria di hadapan Lisa yang di panggil om, mengelus pelan pucuk kepala Lisa. Mencoba memberikan ketegaran. “Yang sabar ya, insyallah eyang sekarang udah bahagia di sana,” katanya pelan, tersirat kesedihan dari suaranya yang berusaha tegar. “Maafin, Om, ya, karena baru kabari kamu mengenai hal ini. Om tahu mengenai kecelakaan Mama kamu, makanya Om takut kalo mau kasih kabar sedih mendadak lagi.” Lisa mengangguk kaku, lidahnya terlalu keluh untuk berkata-kata, rasanya ada banyak stok air mata yang mendorong untuk keluar. “Kamu ke sini sendiri ?” Lisa menggeleng. Ia menunjuk Azzura yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Kalian berdua ke sini? “ om Lisa menoleh ke arah Azzura. Azzura membeku, ia memaksa langkahnya yang tidak ingin maju, mendekat. Dunia ternyata sangat sempit, jauh sebelum mengenal Lisa rupanya Azzura sudah mengenal seseorang yang Lisa panggil ‘Om Ustadz', dia adalah pria yang sama yang selama ini mencuri perhatian Azzura. Sosok inspirasi yang Azzura kagumi karena kecerdasan intelektualnya. “Azzura kan? “ Deg. Mata Azzura melebar, tidak dipungkir Azzura tidak percaya orang yang ia kagumi ternyata tahu siapa namanya. “Terimakasih ya, sudah mau membantu dan menemani keponakan kecil saya,” katanya ramah. Ia menarik seluas senyum pada bibirnya, mungkin, guna menyamarkan gurat kesedihan dari wajahnya. Wajahnya terlihat sayu tetapi sebisa mungkin ia tersenyum saat melihat teman-teman, tentangga, saudara, yang datang ikut berbela sungkawan. Pria itu berusaha tegar. Azzura memperhatikan lingkungan sekitar, betapa pria itu sangat menjaga zuhudnya. Azzura tahu Azka merupakan lulusan universitas ternama di Indonesia, dengan memiliki usaha yang bisa dibilang sudah maju, ia juga memiliki jabatan penting di perusahaan ayahnya. Tapi ia sama sekali tidak memperlihatkannya. Ia tampil apa adanya, meski rumah orang tuanya bak istana, halamannya luas, rumahnya sangat megah. Ia tetap berpenamilan sederhana. Pria itu lagi-lagi membuat Azzura berdecak kagum. Ya Allah, egoiskan aku jika meminta ia sebagai jodohku? Apakah boleh kupinjam nama di setiap sujudku? Pantaskah aku meminta hal ini? Dia pria terjaga yang selalu menjaga pandangannya, sedangkan aku....?— batin Azzura berkecamuk, Azzura tertawa pelan, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. “Aku sesuatu yang tidak layak,” gumamnya pelan. **** Azzura memandang keluar gazebo. Ia berada di rumah kakek Lisa. Lisa meminta Azzura menemaninya bermalam di rumah besar dan mewah itu. Kamar tamu Azzura dan Lisa berada di lantai dua. Dan kamar Saja serta kakek Lisa berada di lantai bawah. Hari mulai semakin malam, rumah perlahan mulai sepi. Setelah tahlilan banyak orang yang pulang, sanak-saudara memilih untuk bermalam di hotel, dekat bandara. Azzura sudah memberi tahu Bahia dan Bu Nirmala mengenai hal ini. Kemungkinan Azzura akan di sana selama hari sabtu hingga minggu pagi, sesuai permintaan Lisa. Malam makin larut, Azzura memutuskan untuk tidur. Tapi bukannya tidur, Azzura malah mengigil. Azzura memang wong deso, biasa hidup sederhana dan apa adanya, membuat Azzura tidak bisa menerima semua kemewahan ini apalagi pendingin ruangan, yang sukses buat Azzura kedinginan. Udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan tidak cocok untuk Azzura, udara dari kipas juga tidak bisa beradaptasi dengan tubuh Azzura. Satu-satunya udara yang bisa Azzura terima adalah udara alami alias udara dari gratis dari luar jendela. Azzura mencari-cari di mana letak remote pendingin ruangan, tapi ia tidak menemukannya. Entah Azzura yang tidak teliti atau memang remote itu tidak ada. Oke, Azzura menyerah. Azzura mencari alternatif lain. Azzura lantas meraih selimut dan menggulung selimut agar membalut seluruh tubuhnya, hal ini cukup berhasil untuk meredam rasa dinginnya. Azzura baru saja hendak terlelap tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Azzura segera meraih jilbab yang ia sengaja ia taruh tepat di sebelahnya, lalu keluar dari gulungan selimut tebal. “Zura, kamu udah tidur ?” Rupanya Lisa si pengetuk pintu. “Aku gak bisa tidur....” “Sama.” Azzura jujur. Hawa dingin kamar ini kembali menyapa tubuhnya, Azzura spontan memeluk tubuhnya. “Eh, hidung kamu merah banget. Kenapa ? Kamu kedinginan? “ Azzura mengangguk pelan, Lisa terkekeh. “Kenapa gak di matiin kalo gak tahan suhu dingin? “ “Aku udah cari remotenya, uhm, tapi gak ketemu.” “Oh ya ampun, aku lupa. Eyang kebiasaan menyimpan remote di dalam lemari baju.” Lisa berjalan mendekati lemari baju, lalu benda mungil yang sejak tadi Azzura cari, berada di tangan Lisa. Lisa segera mematikan pendingin ruangan. “Eyang sebenarnya suka lupa taruh remote makanya suka di taruh di dalam lemari. Eyang suka bilang, kalo remote AC di taruh di lemari lebih safety, ketimbang di dalam lemari kecil atau nakas,” Lisa berhenti, gadis itu tertawa, pelan. “Padahal kan sama aja.. Hahahhaha.... eyang ada-ada aja deh. Eyang tuh suka malu kalo ketahuan lupa...eyang ruh paling anti dengan predikat ‘tua’ makanya eyang tuh... “ Tiba-tiba Lisa berhenti berbicara. Mata gadis itu kembali layu, teringat akan kenyataan bahwa semua itu kini hanya terbingkai dalam kenangan. “Mau minum cokelat hangat? “tanya Azzura, mencoba mengalihkan perhatian Lisa yang kembali sedih. “Sebenarnya, aku masih sedikit kedinginan,“ sambung Azzura. Kali ini Lisa mengangguk setuju. Keduanya lalu turun ke lantai satu menuju dapur yang berada paling ujung melewati dua kamar besar. Kamar Azka dan Kakek Lisa. “Uhm, kita minum di dekat kolam saja. Di sana enak buat santai,” usul Lisa selalu dia gelas cokelat hangat terisi di cangkir dengan asap yang menggebul keluar. “Ide bagus.” Setuju Azzura. Lisa dan Azzura berbincang santai. Pembicaraan mereka meliputi, pertama membahas mengenai hal-hal umum tentang cewek, cerita lucu dan golok sampai diskusi serius mengenai fenomena anak jaman sekarang. “Prank sama halnya seperti bohong. Dalam islam berbohong itu sangat amat dilarang kecuali dalam tiga kondisi darurat, Ketika perang, dalam rangka mendamaikan antar-sesama, dan suami berbohong kepada istrinya atau istri berbohong pada suaminya ¹. Selebihnya, bohong itu tidak boleh.” “Tapi prank kan tujuan buat menghibur orang Zur. “ “Meskipun untuk hal baik, prank atau membohongi tetap tidak boleh. Ada banyak hal baik untuk menghibur orang. Bukannya hal baik lebih baik dibungkus dengan hal baik juga ?” “Euhm...maksudnya?” “Begini, permen itu manis dan enak, lalu aku bungkus dengan koran bekas yang amat kotor. Lalu aku berikan pada kamu, apa kamu mau? “ Lisa tertawa. “Jelas gak maulah, Zur.” “Lah kenapa? Kan permen rasanya manis dan enak?” “Ya karena di bungkus dengan koran kotor. Jelas permennya pasti gak enak lagi.” Azzura tersenyum penuh makna. “Begitulah prank. Tujuannya mungkin baik untuk menghibur tapi dibungkus dengan hal yang tidak baik, jelas apa yang di dalamnya menjadi tidak baik juga. “ Lisa mengangguk-ngangguk, setuju. “Lah iya ya...aku baru kepikiran. Gadis Flower ternyata selain suka bunga juga suka nelen kamus esklopedia kah? Atau jangan bilang cemilan kamu buku-buku perpus ?” Azzura tertawa, Lisa juga ikut menertertawakan lawaknya barusan. Keduanya sibuk tertawa sampai tidak menyadari ada seseorang yang ikut tersenyum dari jauh mendengar obrolan keduanya. **** ¹ (HR. Muslim)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN