Filosofis kehidupan

2023 Kata
Aariz berjalan cepat ke masjid. Ia ketiduran hingga hampir telat melaksanakan salat zuhur berjamaah. Beruntungnya saat salat hendak dilaksanakan, Aariz sudah berada di masjid. “Eh, Assalamualaikum Riz,” sapa Giffari. Mereka bertemu di teras masjid. “Waalaikumsalam.” “Ana pikir kamu lagi gak ada di kosan makanya ana gak ketuk pintu kamu. Kosan kamu sepi banget soalnya,” kata Giffari. “Iya, tadi ketiduran,” sahut Aariz. “Delshad mana? “tanya Aariz. Biasanya Guffari dan Delshad seperti satu paket. Selalu bersama. Terkadang Delshad atau Giffari yang akan mengetuk pintu untuk mengajak salat berjamaah bersama ke masjid. Salat berjamaah di masjid merupakan kewajiban bagi kaum laki-laki sedangkan perempuan lebih salat di rumah, di kamar, atau dibilik-bilik mereka, semakin sepi terlihat maka lebih baik. “Hem. Dia gak ada di kosan. Lagi sibuk organisasi, mungkin.” “Oh...” Aariz mengangguk. Ia pantas untuk bersyukur memiliki lingkungan sesehat ini, yang selalu mengingatkannya kepada Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda, dari Abu Musa RA berkata, ''Perumpamaan kawan yang baik dan yang jelek bagaikan pembawa misik (minyak wangi) dengan peniup api tukang besi, maka yang membawa misik adakalanya memberimu atau engkau membeli padanya, atau mendapat bau harum dari padanya. Adapun peniup api tukang besi, jika tidak membakar bajumu atau engkau mendapat bau yang busuk dari padanya.'' (HR Bukhari dan Muslim). Al Hasan Al Bashri berkata, "Perbanyaklah sahabat-sahabat mukminmu, karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.'' Sementara Ibnul Jauzi pernah berpesan kepada sahabat-sahabatnya sambil menangis, ''Jika kalian tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tolonglah bertanya kepada Allah tentang aku, 'Wahai Rabb kami, hamba-Mu fulan sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami tentang Engkau. Maka masukanlah dia bersama kami di surga-Mu.'' “Tumben antum senyum ada apa nih?” tanya Giffari. Pasalnya seperti yang Giffari ketahui senyum Aariz itu amat mahal harganya. Dan hanya terjadi seperti bulan purnama jika tidak tertutup awan. Jika sedang baik, biasanya Aariz akan senyum minimal sekali selama sebulan. “Hem, terimakasih,” ucap Aariz tulus. Giffari refleks tersenyum lebar mendengar perkataan Aariz. Perkataan Aariz ibarat hujan tanpa aba-aba, tidak ada mendung, tidak ada angin tiba-tiba terjadi begitu saja. Giffari heran tidak tahu kenapa Aariz langsung mengucapkan terima kasih. Sebelum Giffari bertanya menyudahi rasa ingin tahunya yang sudah menjulang, tiba-tiba Delshad datang dengan nafas memburu. “Salat berjamaah udah selesai? “tanya Delshad dengan nafas naik-turun. “Na’am. Udah dari tadi, Shad.” “Ya Allah, ana belum salat,” cemas Delshad. “Eh, emang antum tadi di kosaan ?” “Duh, ana buru-buru Giff. Mau salat dulu. Entar ana jawab pertanyaan antum setelah salat. Antum tunggu di sini ya... Kamu juga Aariz. Ada yang mau ana tanyakan sama kamu.” Giffari dan Aariz mengangguk. Keduanya lalu mencari tempat duduk layak di teras masjid. Kriteria layak bagi Giffari yaitu, tempat itu tidak banyak dilewati orang sehingga tidak mengalangi akses jalan ke dalam atau keluar masjid. Keduanya memilih duduk di ujung sebelah kanan teras masjid. “Oh iya, ana masih bingung, kenapa antum tiba-tiba bilang terimakasih? “ “Hem, bersyukur punya sahabat yang saling mengingatkan dalam kebaikan.” Aariz kembali tersenyum. “Wah, masyaallah...” Giffari berdecak, tidak habis pikir apa yang tengah ia dengar. “Ternyata antum bisa ngomong panjang plus perkataan antum gak sepedes mie samyang lagi. Antum ikut organisasi ya? “ Aariz menggeleng. “Apa hubungannya ?” “ Ya, mungkin aja. Delshad berubah dari ulat dalam kepompong sekarang sudah jadi kupu-kupu. Btw, kupu-kupu itu hewan favorit aku sih. Selain indah, kehidupan kupu-kupu itu penuh makna banget.” Aariz hanya tersenyum saja menanggapi perkataan Giffari yang kadang suka keluar dari jalur topik. “Oh iya, antum kenapa gak mau ikut gabung Klub bahasa Inggris. Kan lumayan buat memperhalus bahasa Inggris antum.” “Hem... “ Aariz menghela nafas, “mungkin nanti, untuk semester aku ingin fokus kuliah dulu.” “ Oh ya udah...” “Ya Allah, badan ana rasanya sakit semua,” keluh Delshad yang baru saja bergabung dan mengambil posisi duduk di sebelah Aariz. “Makanya Shad. Jangan terlalu dipaksain,” tegur Giffari. Delshad menghela nafas. “Badan ana capek gini bukan karena kegiatan aktivis, Giff...kamu aja gak tahu. Aariz mah tahu.” “Lah, antum tahu Riz... emang ada apa sih? “Giffari penasaran. “Gimana keadaannya? “tanya Aariz tiba-tiba. “Alhamdulillah. SANGAT BAIK.” Delshad sengaja menekan kata ‘sangat baik'. Delshad memutar bola matanya, malas. “Hem...alhamdulillah kalo gitu.” “Eh, tunggu dulu....” sela Giffari. “Emang siapa yang sakit? “ “Dia gak sakit Giff...” sahut Delshad terdengar tidak santai alias nada suaranya naik satu oktaf. “DIA PURA-PURA.” “Iya.. iya, tapi emangnya siapa yang pura-pura sakit? “ tanya Giffari makin kepo. “Si teeniger... adiknya Affifah.” “Terus kenapa Aariz bisa tahu? “ “Aariz yang bantuin ana ngerjain PR si teeniger itu. Dia pura-pura sakit dan gak bisa nulis. Dan ana yang harus kerjain PRnya karena ana gak sengaja nabrak dia di lorong basecamp.” “Oh... “ Giffari mengangguk-ngangguk paham. “Kenapa ya ana rasa kalian kayak berjodoh deh, makanya ketemu terus.” “Astagfirullah !” mata Delshad membulat sempurna. “Antum, hati-hati dong kalo ngomong. Gimana kalo malaikat mengaamiinkan perkataan antum,” tegur Delshad. “Delshad. Kamu mau ngomong apa tadi? “tanya Aariz, menengahi perdebatan keduanya. “Oh itu... boleh gak ana minta tolong antum, buat bantuin ana ... hem... “ Delshad sedikit ragu. “Ana mau belajar lagi pelajaran kimia. Soalnya pas di MA, ana paling gak bisa perlajaran itu. Dari yang ana liat kemarin, antum jago banget pelajaran kimia.” “Hem...kayaknya ada udang di balik batu nih...” Giffari tersenyum jahil. “Mau deketin adiknya atau kakaknya nih? “ “Astagfirullah, antum kenapa sih Giff.. ana cuman mau belajar aja,” sahut Delshad. Aariz mengangguk. “Ya udah atur aja waktunya.” “Oke deh. Syukron ya, Riz.” “Oh iya, Riz. Waktu itu ana gak sengaja liat antum di fakultas teknik. Antum ngapain di sana? “ tanya Giffari. “Ana juga liat antum marah pada seseorang. Antum punya musuh? “ *** “Ini Bu, uangnya. Terimakasih.” Aariz memberikan selembar uang pecahan sepuluh ribuan pada pemilik warung. Aariz membeli sebotol es teh. Tidak ada pilihan lain. Aariz merasa sangat haus setelah berdiri cukup lama di hadapan sinar matahari. Ia dehidrasi dan butuh air. Di warung sederhana itu hanya tersedia es teh botol. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan minuman itu, hanya saja kondisi Aariz yang sejak dulu tidak bisa minum-minuman dingin. Ia memiliki penyakit radang amandel. Jika minum air dingin penyakitnya itu bisa kumat. Aariz duduk di kursi lesehan yang di sediakan oleh pemilik warung. Ia bertekad untuk minum sedikit saja, hanya sekedar membasuh tenggorokannya dari kekeringan. Satu tegukan. Rasa hausnya belum hilang. Dua tegukan. Tiga tegukan. Empat tegukan dan diluar tekad, satu botol es teh berisi 600 ml itu tandas di tangan Aariz. “Masyaallah, habis... “ gumam Aariz, terheran-heran atas ketidaksadaran dirinya yang terlampau haus hingga meminum semuanya. Sinar matahari, hari bisa dibilang tidak bersahabat, namun meski begitu Bahia dengan santainya berjongkok di bawah sinar matahari. Aariz terkadang heran dengan tingkah Bahia. Gadis itu jika suka menyangkut hobi dan kesukaannya, ia sering mengabaikan segalanya, termasuk kesehatannya sendiri. “Hem...” Aariz memutar bola mata, tidak habis pikir. “Kamu yakin, tikus sudah masuk perangkap? “ Aariz menoleh. Terlihat punggung seorang pria berdiri tidak jauh dari tempat Aariz duduk. Aariz menatap awas pria yang sedang sibuk dengan ponselnya itu. Aariz merasa mengenali pria itu. Suaranya, bentuk tubuhnya. “Baiklah....” Pria itu mengakhiri sambung ponselnya. Ia menyimpan ponsel itu ke dalam jaketnya, secara mendadak tiba-tiba pria itu menoleh, seperti menyadari bahwa Aariz sendari tadi melihatnya, beruntung Aariz segera menyadari dan langsung menyembunyikan dirinya. Pria itu tidak berusaha memuaskan rasa curiganya. Ia terlihat terburu-buru dan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Aariz segera bangkit dan mengikuti pria itu. Aariz kenal siapa pria itu. **** “Azzura sayang, ingat apa yang kakak katakan, malam tidak selamanya berjaya, akan selalu ada pagi yang menggantikan malam. Hujan tidak selamanya gelap akan ada pelangi yang memperindah. Masalah itu bagai api yang panas. Jika kita menggenggamnya, maka hanya akan ada rasa sakit. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita bisa gunakan api bukan kita genggam, maka api itu akan menjadi penerang untuk melangkah maju.” “Masalah bukan akhir dari hidup tapi awal memulai hidup dengan makna. Seperti api, kita harus menyikapi masalah dengan bijaksana. Genggaman itu ibarat kemampuan kita, keegoisan kita, yang berpikir menjadikan sebuah masalah sebagai hal yang bisa kita selesaikan dengan tangan kita. Namun manusia lupa, kita tidak akan bisa mengenggam api. Allah menjadikan api bukan untuk kita genggam. Tetapi api, Allah jadikan sebagai material untuk membantu kita memahami ketidakmampuan kita.” “Kakak....” teriak Azzura. Kilatan cahaya langsung masuk memenuhi mata Azzura. Tangan Azzura bergerak maju, menahan cahaya itu agar dari matanya. “Di mana aku? “gumam Azzura. Azzura menatap sekelilingnya. Ia seperti berada di dimensi lain. Ruangan itu seperti tidak ada ujungnya, lantai dan langit terlihat selaras berwarna ubin putih mengkilap. Azzura seperti terjebak di dalam ruangan kotak yang amat besar namun hampa. Tidak ada apa pun. Hanya ada Azzura sendiri di sana. Berdiri di tengah-tengah. Sendirian. Cahaya yang menyilaukan mata Azzura perlahan menghilang. Ruangan itu seketika gelap, Azzura berlari ke sana-ke sinj mencari entah apa. Suara derap langkah kakinya bergema amat kencang, membuat Azzura ketakutan. Azzura terus berlari layaknya orang buta, tanpa mata, ia hanya mengikuti instingnya untuk terus berlari. Hingga langkahnya tersandung. Azzura terjatuh di lantai. Rasa sakit menjalar hebat di seluruh tubuh Azzura. Azzura meringgis mencoba melawan rasa sakit itu dan terus berusaha untuk berlari mencari tujuannya. Ia mengabaikan luka yang ada di lututnya. Ia membiarkan luka itu ada tanpa mengobatinya. Azzura tidak sadar, hal itu membuat langkahnya semakin lemah. Lemah dan amat lemah. Azzura kembali terjatuh. Kali ini ia sadar bahwa mengobati luka adalah langkah pertama saat ia ingin kembali melangkah. Tiba-tiba, ruangan itu berguncang. Azzura tetap tidak bisa melihat apa pun, yang dapat Azzura rasakan hanyalah ia bagai kapas yang terombang-ambing di dalam kotak kehampaan. Azzura tidak tahu di mana ia dan apa yang terjadi. Ia pasrah. Azzura merasakan guncang itu berakhir. Mata Azzura kembali berfungsi, ada secercah penerangan yang terlihat memenuhi ruangan itu, hingga cukup bagi Azzura untuk mampu melihat semuanya. Kali ini, Azzura terdampar di tempat yang berbeda. Ruangan itu di penuhi layar kotak lebar seperti layar televisi yang berjejer di rapih di sepanjang jalan setapak. Azzura melangkah melewati kotak lebar pertama. Kotak itu menampilkan kenangan Azzura sewaktu kecil. Peristiwa di mana Azzura menangis karena pertengkaran kedua orang tuanya. “Ibu, Ayah, jangan bertengkar lagi... Azzura takut... “ Azzura kecil terisak di ujung ruangan sembari menutup rapat telinganya. Azzura berpaling, ia berjalan melewati kotak lebar kedua. Kotak itu menampilkan kenangan mengenai hari di mana Daffa —kakaknya memutuskan untuk pergi dari rumah. “Kakak, jangan tinggalin Azzura... Kakak... “ Teriakan itu mengiang di telinga Azzura. Azzura kembali melangkah ke kotak lebar ketiga. Di kotak itu memperlihatkan Azzura remaja yang tengah menatap kaca. Tangannya di penuhi darah yang bersimbah. “Semua sudah berakhir. Baiklah! Azzura yang baik tidak akan pernah ada!” Azzura menarik lengan bajunya, di sana masih terlihat bekas sayatan hari itu. Azzura terisak pelan, menyadari kebodohannya dulu yang berniat bunuh diri, hal yang paling Allah murkai. Azzura kembali berjalan melewati kotak selanjutnya. Seperti kotak yang sebelumnya, kotak itu menampilkan peristiwa di mana kekelam makin jadi dalam hidup Azzura. Kotak menampilkan awal pertemuab Azzura dengan Berly—orang pertama yang menjerumuskan Azzura dalam lingkaran perzinaan. Azzura tertegun, langkahnya terhenti, nafasnya memburu cepat. Kotak-kotak itu tiba-tiba bergerak ke arah Azzura. Memutar tiap peristiwa satu persatu. Saat Azzura berlari dari rumah, saat Azzura masuk dunia PSK, saat Azzura menerima uluran tangan Daffa—kakaknya. Dan terakhir kotak lebar itu menampilkan cahaya pada wajah Azzura yang spontan membutakan mata Azzura. “Maafkan semua itu, Azzura. Jangan pernah menjadikan masa lalu itu berkembang bagai virus yang akan terus menggerogoti mu. Mari kita melangkah, mari kita berdamai. Sudah luka ini. Sudahi rasa sakit ini. Mari Azzura. Jangan biarkan hatimu terlalaikan karena penyesalan akan masa lalu. Perlahan mata Azzura terbuka. Hal yang pertama ia liat adalah Aariz yang tengah berbicara dengan dokter . Bukan hanya Aariz di sana, ada kakaknya—Daffa, Delshad, Giffari, bu Nirmala dan Bahia yang berada tepat di sebelah ranjangnya. Azzura baru menyadari bahwa ia tengah berbaring di ruangan yang sudah jelas adalah rumah sakit dan impus di tangannya memperjelas segalanya. Aariz yang menyadari tatapan Azzura, refleks menoleh ke arah Azzura. “Azzura kamu sadar.... “ seru Bahia mendahuli Aariz yang baru mengetahui Azzura telah siuman. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung mendekat, termasuk perawat itu. Ia memeriksa keadaan Azzura. Daffa yang bahagia, langsung memeluk tubuh adik kecilnya itu. “Kakak, maaf,” lirih Azzura. Azzura tersenyum, ia mengedarkan pandangnya dan mengucapkan kalimat “Terima kasih” tanpa suara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN