7

2056 Kata
Levo mengamati sikap dan niat Dexa. Sosok itu tampak sangat bersemangat memang. Sorot matanya menyiratkan kepastian. Apa yang terucap dari mulut Dexa bukan hanya sebatas bualan. Sosok itu bersungguh-sungguh. Akan tetapi, Levo hanya terkekeh dan masih duduk di tempatnya. Hal itu membuat Dexa menaikkan satu alisnya heran. Ia rasa, tak ada yang lucu. Bahkan dirinya juga merasa tak mengungkap lelucon. Apa yang diketawai oleh Levo? Apa niatnya? Nezi terdengar menghela napas pelan. Zack menahan tawa. Sena sibuk makan. Dan Mea hanya menatao Dexa datar. Mereka memberikan ekspresi yang berbeda namun satu hal yang sama. Aura mereka terkesan mengejek. Sebenarnya, apa mau mereka? Batin Dexa sedikit kesal. Dexa kembali duduk. Ia mengambil sepotong ayam lagi dan melahapnya dengan kesal. Ia melirik Sena yang terlalu fokus dengan satu hal. Jika ada di meja kerja, Sena fokus dengan eksperimennya. Jika ada di meja makan, jelas Sena sibuk dengan perutnya. Levo terdengar sudah menghentikan tawanya. "Dexa." Mendengar namanya disebut, Dexa menoleh dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. "Hm?" "Ya, kau boleh mencari informasi tentang Andrew." Dexa melebarkan kedua matanya. "Yakin? Kau benar-benar mempercayaiku?" "Ya, tentu saja aku mempercayaimu. Tapi aku tak mau kau sendirian." "Lalu?" Dexa mengernyit. "Ajak Nezi bersamamu." Sontak Nezi melotot ke arah Levo. "Kau gila?" Levo menggeleng. "Aku tau kau bosan di dalam sini. Dua tahun, Zi. Kau sudah dua tahun ada di dalam sini tanpa sedikitpun keluar jika aku tak mengajakmu ke tempat terpencil." "Levo, sepertinya aku tak setuju denganmu sekarang." Mea menyela. Gadis itu seolah membela Nezi yang tak setuju dengan ide Levo. "Apa yang membuatmu tak setuju?" Levo memancing. Ya, ia tahu alasan Mea menolak permintaannya sekarang. "Kau pasti tau apa maksudku, Lev. Tak perlu memancing." Tau akan dipancing Levo, Mea mengelak mengatakan alasannya menolak. "Biar aku yang menemani Dexa. Toh, aku bisa membantunya." "Tidak. Biar Nezi yang menemani." "Tunggu, tunggu. Apa alasan kau tetap memilih Nezi untuk menemaniku dan apa alasan Mea menolak jika Nezi yang menemaniku?" Semua mata tertuju pada Dexa. Untuk pertama kalinya, Dexa berani mengutarakan apa yang ia pikirkan tanpa ditebak dulu oleh mereka. Selama beberapa detik, tak ada yang menjawab pertanyaan Dexa. Mereka hanya saling diam. Sesekali menatap Nezi yang hanya diam membisu. "Sepertinya Levo pernah mengatakan tentang diriku padamu, Dex." Akhirnya Nezi angkat bicara. Ia ingat betul jika Levo pernah entah sengaja atau tidak sengaja menyebut dirinya sebagai buronan. "Kau buronan?" tanya Dexa memastikan. "Ya. Aku buronan." Tanpa ragu, Nezi mengatakannya. Tak menjadi rahasia lagi di sana. Nezi adalah anggota pertama yang bergabung di Blackhole bersama Levo. Sebab, Nezi dianggap sebagai buronan. "Apa salahmu?" Dexa mulai bertanya lebih jauh. Ia tak yakin jika Nezi adalah buronan. "Salahku adalah diam." Dexa mengernyit tak paham. "Sudahlah. Intinya, biarkan Dexa bersamamu. Jangan bawa Nezi keluar dari markas tanpa Levo." Mea tetap tak setuju meski Nezi sudah mengatakan semuanya. "Aku terserah." Dexa tak mampu berbuat apa-apa lagi. Ia melihat Nezi masih belum siap menceritakan jati dirinya pada Dexa. Mungkin karena Dexa adalah anak baru. Jadi, belum tertanam kepercayaan antara mereka. "Tetap Nezi. Mea, kau punya tugas lain." Levo masih tetap tak mah mengalah. Nezi hanya menghela napas pelan. Pasrah dengan keadaan sama seperti Dexa. Mea mendelik mendengar ucapan Levo. Sosok itu sangat keras kepala memang. "Apa?" Dengan malas, Mea kepo dengan tugasnya. "Cari tau tentang rumah kedua Andrew." *** Dexa melangkah dengan malas. Setelah keluar dari toilet umum, ia langsung kembali ke kontrakannya. Dari markas hingga ke kontrakan membutuhkan waktu yang sedikit panjang. Apalagi ia memilih berjalan kaki. Karena tak ada uang untuk naik transportasi. Terlebih lagi, naik transportasi lebih membosankan daripada berjalan kaki. Dengan berjalan, Dexa bisa merasuki beberapa orang dan menjahili mereka. Meski Levo sudah mengingatkannya untuk tidak menyalahgunakan kekuatannya lagi, tapi jiwa jahilnya belum mampu terbendung. Dari senja hingga petang, Dexa belum sampai ke kontrakannya. Meski kota masih sedikit ramai dengan masyarakat yang baru pulang kerja atau beraktivitas lain, tapi berjalan sendirian juga membuatnya sedikit merasa was-was. Dexa memilih untuk melewati jalan pintas. Dengan masuk ke sebuah gang, Dexa bisa memotong jalan untuk sampai ke kontrakannya. Meskipun gang itu sepi dan sunyi, ia tak pernah takut dengan manusia. Apalagi para preman yang suka menagih uang. Benar. Kini ia sampai pada titik bertemu dengan para preman itu. Tapi sebisa mungkin Dexa mengabaikannya. "Hei." Tampang miskin Dexa tak mampu membuat dua preman itu percaya jika dirinya benar-benar tak punya harta. Hanya nyawa yang ia miliki. Dexa menghentikan langkah karena tudung hoodienya tertahan oleh salah satu preman. "Aku tak punya apapun." Kedua preman itu menyunggingkan sebuah seringai. "Kau punya banyak harta dalam tubuhmu." Sial, umpat Dexa dalam hati. Sebelum babak belur, Dexa langsung merasuki salah satu tubuh preman dan menghajar preman yang lainnya. Karena kebingungan, Dexa yang merasuki tubuh preman itu membuat salah seorang preman lain berhasil terkapar. Melihat teman si preman sudah babak belur dan kesulitan berdiri, Dexa langsung menghantam tubuh preman yang ia rasuki dengan balik kayu. Hingga pingsan, Dexa kembali ke tubuh aslinya yang tergeletak di tanah. "Ouch! Sial, menyakiti dia membuatku juga kesakitan." Dexa memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Meski tubuhnya tak terluka, tapi ia juga merasakan sakit saat menyakiti tubuh orang yang ia rasuki. Setelah itu, Dexa menatap dua preman yang sudah terkapar. Ia tersenyum miring kemudian berlalu pergi. "Mereka merepotkan." Hujan mulai turun. Tinggal beberapa langkah lagi, Dexa sampai di rumah. Untung saja ia menggunakan hoodie bertudung. Sehingga kepalanya terhindar dari air hujan di malam hari. Baru saja ia sampai di kontrakan, ia melihat ada tas hitam besar tergantung di pintu. "Bom?" Dengan ragu, Dexa mengambil tas itu. Sedikit berat, tapi sepertinya bukan bom yang seperti ia kira. Saat membuka tas itu untuk melihat isinya, mata Dexa melebar. Ia melihat setumpuk uang di dalam tas. Dengan terburu, Dexa mendekap tas itu dan melihat ke samping kanan dan kiri. Tak ada siapapun yang melihat. Sontak Dexa masuk ke dalam kontrakan dan menguncinya rapat. "Selamat datang." Dexa terkejut. "Kau?" Sosok yang sudah duduk lesehan dengan meminum kopi panas itu menyambut kedatangan Dexa dengan sebuah senyuman. Sedangkan Dexa menggeleng pelan. Ia ikut duduk lesehan dan menatap sosok itu heran. "Kau sudah seperti perampok." "Aku sudah membayar untuk ijin memasuki rumahmu." Dexa melihat sekantong uang di dalam tas hitam itu. "Jadi, ini uang milikmu?" "Ya, tapi sekarang menjadi milikmu." Levo, sosok yang sedang asyik menyesap secangkir kopi itu membuat Dexa sedikit bingung. "Kau dibayar di muka." Dexa terdian sesaat. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan Levo ada enaknya. "Ah, jadi tak perlu menunggu misi selesai berhasil atau tidak?" Levo mengangguk. "Kupastikan misi ini berhasil. Jika ada range untuk poin misi. Kemungkinan misi ini ada di level A. Level paling awal, dasar, dan mudah." "Itu bagimu. Bagiku yang masih baru takkan semudah itu." Dexa sedikit sewot. Tapi ia juga tak semudah itu menerima segepok uang dari Levo. Apalagi ada tanggungan besar di tangannya. Misi harus berhasil. "Kau tidak sendiri, Dex. Ada kami." Memang benar. Ada Levo, Mea, Nezi, Zack, dan Sena. Mereka senior. Untuk pengalaman, jangan diragukan. Ia sangat kenal dengan Blackhole. Organisasi gelap yang menjadi buronan sejak tiga tahun terakhir. Pembunuh bertangan dingin yang meresahkan kepolisian. Apalagi untuk masyarakat kalangan atas. Sudah pasti ketar-ketir akan menjadi target korban selanjutnya. "Terima saja. Aku juga ingin kau menyewa apartemen. Agar kau tidak terlalu jauh jika ingin ke markas." "Kau gila." Dexa mendengkus. Orang di depannya itu sepertinya gila sungguhan. Levo terkekeh. "Aku memang gila." Dexa memutar matanya malas. "Aku tidak bisa menerima uang ini." "Wah, jual mahal?" Levo menyindir. Dexa berdecak. "Bukan. Tapi bukankah lebih baik kau nilai dulu kerjaku? Setelah itu, kau baru memberiku upah." "Hm, cukup umum. Tapi aku berbeda. Aku membayarmu di muka." Lagi-lagi Dexa terdiam sejenak. Ia berdeham kemudian melontarkan pertanyaan. "Bagaimana kalau aku membawa uang ini pergi, hah?" "Tenang saja. Ada Nezi." Ah, benar. Ya, mereka ada Nezi yang akan membuat Dexa selalu dalam pengawasan. Sebenarnya, Dexa tak bisa berkutik lagi. Mungkin karena itu, Levo berani membayarnya di muka. "Terima lah. Gunakan uang itu untuk keseharianmu." Levo kembali menyesap kopinya dengan nikmat. Dexa masih terdiam. "Oh, ya. Nezi sudah tidur di kamarmu. Besok kalian pergi dan cari informasi tentang Andrew." Menunggu Dexa yang terdiam lama, akhirnya Levo mengatakan hal yang membuat Dexa melolok kaget. "Apa? Nezi tidur di kamarku?" Levo mengangguk. "Lalu aku tidur di mana?" tanya Dexa sedikit kesal. "Sini?" Levo menepuk tikar yang ia duduki. Dexa mendengkus kesal. "Sialan." *** Berbeda dengan Levo dan Dexa yang tengah sibuk membahas tentang uang di malam hari, Zack justru sedang menghamburkan uangnya untuk mentraktir para pelanggan di kedai kafe Fany. Selain untuk pamer, Zack juga ingin membuat Fany tersenyum melihat kedainya ramai. Terlebih lagi, Zack ingin Fany ingat dengan janjinya. Mengorek informasi tentang Andrew. "Melihat senyumanmu, sebuah hadiah kecil untukku, Fany. Meski aku tak mampu memilikimu, aku yakin kau bahagia juga ada di sampingku." Sebenarnya Zack sedikit kesal karena Fany akan terus nempel ke salah satu bodyguard Andrew. Ya, status mereka memang sepasang kekasih. Itulah yang tak disukai oleh Zack. Ia cemburu. Mea ada benarnya. Lima belas kali kena penolakan cukup membuat Zack di cap sebagai pemain tangguh. Usaha yang Zack lakukan terus berbuah sia-sia. Tapi ada satu hal yang masih Zack syukuri. Fany masih mau menjadi teman akrabnya setelah berulang kali Zack menyatakan perasaan lebih dari seorang sahabat. Waktu terus berputar. Zack hanya duduk diam dengan cemilan yang masih utuh. Matanya terus menatap ke arah Fany yang sibuk di meja kasir. Sepertinya uang-uang Zack yang terbagi rata mampu membuat Fany bahagia sekaligus para pelanggan yang bahagia pula. Setelah beberapa saat, Fany menghampiri Zack. Senyuman lebar tak pernah lepas dari bibirnya. Hal itu membuat Zack ikut menarik sebuah senyuman. "Kau terlihat bahagia sekali." Meski Zack sudah tau, tapi ia tetap mengatakannya untuk berbasa-basi. "Tentu. Kedaiku ramai dan aku bahagia." "Wah, selamat." Zack terkekeh sembari menepuk kedua tangannya. "Oh, ya. Bagaimana dengan Andrew?" "Sst, jangan sebut nama dia dulu. Di ruangan pribadi ada kekasihku. Dia akan tau tentang rencana kita." Kedua netra Fany melirik ke dalam ruangan pribadi Fany sebagai owner. Di sana memang ada kekasih Fany yang merupakan bodyguard dari Andrew. Zack mengangguk pelan. "Kau akan menemuinya?" "Ya, malam ini dia khusus ambil libur hanya untuk menemuiku. Jadi, pulanglah. Jangan ganggu kami." Fany menjulurkan lidah sambil bangkit dari duduknya. "Fany." "Hm?" "Jangan lupa ya." Alis Zack naik turun untuk memberi kode pada Fany. Fany hanya mengangguk dan mengacungkan jempol. "Ya, pergi sana. Kedai akan tutup lima menit lagi." Zack tersenyum dan mengangguk. Melihat Fany masuk ke ruangan pribadi owner, hatinya begitu tertusuk kepahitan yang mendalam. Zack pun bangkit dari duduk. Ia berjalan pergi. Langkahnya terangkat santai. Di malam hari yang menjelang tengah malam, Zack terpikirkan oleh keluarganya. Ia sempat mampir ke rumah. Rumah yang sudah sepi. Pasti mereka sudah tidur. Setidaknya, rumahnya aman. Tak ada yang menganggu seperti malam-malam tahun lalu. Meski ia sudah menjamin keluarganya aman dari setahun yang lalu, tapi ia masih terus berkunjung setiap malam hari seperti sekarang. Zack menghela napas pelan. Ia pun kembali melangkah pergi menuju apartemen. Sebenarnya, para anggota Blackhole disarankan untuk tinggal di apartemen yang bertetangga dengan Levo. Sebab, Levo akan dengan mudah menjemput mereka saat Levo benar-benar butuh mendesak. Jika Levo hanya memberi kabar lewat ponsel, itu akan menjadi sangat lama. Setelah kembali pulang ke apartemen, Zack sibuk menunggu lift untuk turun dari lantai tujuh belas. Selagi menunggu, Zack mendengar ada suara tertawa dari lobby. Ia mengenal suara itu. Sontak ia pun berjalan ke toilet yang ada di sebelah lift. Bukan untuk mengeluarkan hajat. Melainkan, untuk menguping. "Besok akan kupulangkan." "Jangan besok. Malam masih panjang, kan?" "Tapi malam ini kau milikku." Suara tawa kembali terdengar. "Tidak. Malam ini aku hanya akan memasak untukmu." "Ah, aku kecewa." "Heiii, apa yang kau pikirkan eum?" Sesekali Zack mengintip dan melihat seorang gadis menoel manja hidung lelaki yang lebih tinggi darinya sekitar dua puluh centi. Ah, Lagi-lagi Zack merasa harinya hari ini begitu suram. Menyebalkan. Pertama, Levo tak menggunakannya di misinya kali ini. Kedua, Nezi belum menjawab mau atau tidak untuk mengawasi Fany. Ia hanya takut Fany terluka. Ketiga, Fany bersama orang lain dan itu menyakiti hatinya. "Itu, kan ... " Seorang gadis dan lelaki berbadan tegap dengan massa otot yang terlihat jelas itu saling merangkul. Mereka berjalan menuju lift. Menunggu lift turun hingga ... Ting Suara lift terbuka pun terdengar. Zack mengintip dari pintu toilet. Ia menutupi diri karena tinggal di apartemen itu. Sebab, ia tak mau ada yang tau jika ia tinggal di sana dan hanya mengganggu Levo saat akan menjemput. "Fany, dia sedang apa di sini bersama lelaki itu?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN