Deril memilih diam seharian dikamar. Bahkan saat Steve mengajaknya makan siang pun dia menolaknya. Steve membiarkan temannya sendirian dikamar. Dia lebih membutuhkan kesendiriannya daripada teman ngobrol untuk saat ini. Deril larut dalam kebimbangannya. Atas rasa cintanya dan keinginan untuk terlahir kembali. Sungguh besar konsekuensi yang harus dia hadapi di masing – masing pilihan. Jika ia memilih untuk terlahir kembali. Maka dia kehilangan kesempatan untuk bersama dengan Jessi. Tapi jika dia menetap dan tinggal bersama dengan Jessi. Maka dia tak punya lagi kesempatan menuju surgawi. Tanpa sadar dia pun menangis. Tersedu. Tergugu. Lelaki dengan badan tegap itu, kini menunduk dan bahunya bergetar. Pergelutan batinnya sungguh diluar kemampuannya. Bahunya bergetar hebat, bulir – bulir airmata jatuh dipipinya.
Waktunya tinggal empat hari lagi. Waktu yang singkat untuk memikirkan keputusan apa yang akan dia ambil. Deril telah kehilangan adiknya karena dia berpulang terlebih dahulu. Lalu haruskah dia kehilangan Jessi, kekasih hatinya itu.
Deril mengingat segala hal yang pernah mereka lalui bersama. Pernah suatu ketika, Deril sedang kesakitan karena tertancap kaca saat membersihkan lembah hijau. Jessi lah orang yang sudah menolong dan merawatnya hingga sembuh. Pernah juga waktu dia sedang kesulitan mencari buku di perpus, Jessi menolongnya mencari hingga ketemu. Mereka begitu dekat. Jessi pun tak sungkan meminta tolong padanya saat butuh bantuan. Pada ahirnya Jessi mengungkapkan jati dirinya pada Deril. Bahwa sebenarnya dia adalah Jessi, yang selama ini dia kenal sebagai kurcaci pink.
Mereka semakin dekat. Sesekali Jessi mengajaknya ke rumah pohon. Disana mereka banyak ngobrol tentang kehidupan masing – masing. Jessi selalu antusias mendengarkan setiap kisah yang diceritakan oleh Deril. Hingga saat dia mendapatkan ingatan tentang masa lalunya. Adiknya, hobinya, dan segala hal kegemarannya.
Jessi pun demikian, menceritakan banyak hal. Tentang dimana dia tinggal, bagaimana dia melewati harinya, sekolahnya, dan banyak hal selalu menjadi topik yang seru saat mereka bersama. Pernah juga mereka belajar memasak bersama. Di rumah pohon di sulap menjadi dapur yang wah. Tentu dengan usaha yang sangat menguras tenaga. Mereka menggeser beberapa perabotan hingga dapurnya menjadi lebih rapi dan lebih luas. Mereka memetik beberapa buah untuk dijadikan jus. Lalu mulailah mereka berkreasi dengan bahan – bahan seadanya. Yang mereka dapatkan dari kantin.
Mereka memutuskan membuat pancake. Mereka sudah mempersiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan. Dengan bantuan selembar resep dari koki kantin. Jessi memecahkan telur dan memisahkan kuning dan bagian putihnya. Lalu dia menyuruh deril untuk mengocok putih telur. Setelah kental, Jessi memasukkan beberapa sendok gula halus. Deril pun mengocoknya lagi hingga kental berjejak. Itu loh kalo kita balikkan wadahnya, isinya ga akan tumpah. Itu namanya kental berjejak. Kemudian dia beralih ke adonan kuning telur, dia campurkan beberapa sendok s**u dan tepung terigu. Setelah rata dia mengambil beberapa adonan putih telur dan mengaduknya. Setelah tercampur rata barulah adonan kuning telur dimasukkan dalam wadah adonan putih telur. Setelah adonan rata, barulah dituang diatas pan. Mereka sangat menikmati kebersamaan itu. Canda tawa serta makanan yang dimasak bersama dengan cinta. Sungguh nuansa yang sempurna.
Steve berjalan menuju kantin. Disana sudah mulai sepi, para penghuni mulai berhamburan pergi. Steve mengambil makanannya dan segera duduk di pojok sebelah showcase. Tempat favoritnya. Diapun tak berselera untuk menyuap makanannya. Steve memikirkan cara untuk menghibur temannya. Tapi masih belum juga dia mendapatkan ide itu.
“Deril gimana?” Lazardi menghampirinya lalu duduk disampingnya.
“Masih diem aja dia. Kuajak kesini ga mau.”
“Padahal dia yang paling heboh disini sebelumnya. Tapi karena pertanyaan tadi, semuanya jadi canggung.”
“Jessi gimana?” ucap steve setengah berbisik.
“Dia juga masih di rumah Albapante. Nangis terus dia.”
“Waduh. Kok tambah kacau situasinya ya.”
“Kamu mau ikut ke rumah Albapante lagi?”
“Engga ah, aku mau lihat Deril aja di kamar. Mau sekalian bawain dia makan.”
“Iya, kamu hibur dia dulu deh. Aku hibur Jessi nanti.”
Steve melanjutkan makannya. Lazardi pun berberes meja – meja dikantin. Setelah makan dia meminta koki untuk membungkuskan beberapa makanan untuk dibawa ke kamar. Dengan harapan Deril mau memakannya.
Tok. Tok. Tok.
Steve mengetuk kamarnya. Dia merasa tak enak hati jika saat masuk dia melihat kondisi Deril sedang menangis.
“Ngapain ngetok pintu. Buka aja.”
Steve membuka pintu. Dia tak mengira akan melihat kondisi Deril sudah baikan. Wajahnya pun sudah menjadi cerah.
“Nih aku bawain makanan.”
“Wah makasih ya.” Deril memakannya dengan lahap. Khas anak kecil kelaparan setelah menangis. Matanya maaih sembab, tapi wajahnya sudah ceria lagi. Rasa khawatir Steve sedikit berkurang.
“Sama – sama.”
“Kamu ga nanya apa – apa?”
“Nanya ke siapa?”
“Aku.”
“Nanya apa?”
“Ya mungkin kamu penasaran aku kenapa.”
“Engga. Kalo kamu mau cerita ya aku dengerin. Kalo engga, aku ga akan tanya.”
“Kenapa?”
“Aku tahulah, ga mudah diposisimu. Ga etislah kalo aku nanya – nanya kepo.”
“Makasih ya. Udah ninggalin aku tadi. Dan makasih makanannya.”
“Sama – sama. Lihat kamu udah baikan gini, aku juga ikut seneng.”
“Keputusan yang berat Steve. Tapi aku sudah yakin dengan keputusanku.”
“Apapun keputusanmu, jalani dan hadapi dengan setulus hati.”
“Kamu benar Steve, semua selalu ada resiko. Setiap pilihan mempunyai resiko masing – masing.”
“Bener Der, kalo kamu udah mutusin jalan mana yang mau kamu tempuh. Ya kamu harus total.”
“Aku udah siap bertugas Steve. Seharian ngomong sama taneman aku jabanin deh. Asal batu biru segera kutemukan, dan mendapatkan jiwa baru untuk terlahir kembali.”
Steve terkejut. Ternyata Deril memilih untuk terlahir kembali. Dia bersungguh – sungguh ingin melakukan tugasnya dengan baik.
“Semoga tugasmu lancar. Dan cepat selesai.”
“Siap kawan.” Ucap Deril sambil menepuk bahu Steve.
Hari itu mereka berbincang tentang banyak hal. Deril menceritakan pada Steve apa saja rencananya saat bertugas nanti.
“Steve, tinggal 4 hari lagi aku bertugas.”
“Lalu?”
“Kamu masih mau ketemu aku nantinya?”
“Ya iyalah. Emangnya kenapa?”
“Kalo gitu aku akan segera mencari rumah tinggal yang nyaman untuk berdua.”
“Bagus itu. Kalo bisa yang ada kolam renangnya ya.”
“Yeeee, dapet duit darimana kamu?”
“Hahahaha kan ada kamu yang bayar duluan.”
“Tenang, p********n rumah tinggal sepenuhnya menjadi tanggungjawab lembah hijau.”
“Emangnya mereka bisa transfer gitu ke dunia nyata?”
“Enggalah. Disana ada satu tempat untuk mengurus segala keperluan jonggyo. Nanti kalo uda waktunya bertugas. Kamu akan dibawa kesana untuk mengisi data. Nah disanalah kita nanti akan mengajukan rumah tinggal selama bertugas.”
“Jadi kita ga perlu pusing mikirin duit?”
“Enggalah. Kan kita melakukan tugas dari lembah hijau. Ya semua dari mereka.”
“Kalo misal aku pingin jalan ke mall, nonton bioskop, makan enak, gimana?”
“Halah belum juga dapet ingatan, tapi uda minta yang macem – macem.”
“Ya kan namanya nanya. Nanti kalo kamu uda bertugas, aku nanya kesiapa?”
“Hahaha kan ada Jessi. Tanya aja ke dia. Intinya nanti kita akan dapat uang dari mereka. Langsung ke rekening kita. Tapi bukan rekening sembarangan. Itu rekening khusus jonggyo. Dan kamu hanya bisa mengambil di ATM khusus jonggyo. Atau langsung ke kantor pengurus. Aku lupa namanya apa ya.”
“Oh begitu.”
“Kamu suka suasana rumah yang gimana?”
“Kayanya aku suka yang sepi deh. Feelingku sih gitu.”
“Ah iya, kan kamu belum inget masa lalumu. Yaudah kalo gitu, rumah tinggalnya terderah aku ya. Hahahahaha.”
“Ya pokoknya yang nyamanlah, jangan di tempat rame. Suasana seperti disini saja. Tenang, sejuk, sepi dan nyaman.”
“Beres. Dan nanti waktu kamu uda bertugas. Tanya saja sama mereka. Rumah tinggalku dimana. Nanti pasti dikasih tau.”
“Rencanamu selama bertugas apa saja?”
“Aku ingin ketemu adekku.”
“Adekmu?”
“Iya. Aku ingin menjadi temannya beberapa waktu. Menjadi kakaknya lagi. Menjaganya lagi. Aku sungguh rindu padanya.”
“Tapi apa dia akan melihatmu dengan wajah yang sama?”
“Tidak, dia tidak akan mengenaliku. Dia hanya akan tau aku orang baru dalam hidupnya.”
“Kok nyesek ya.”
“Ya mau gimana. Kan kita udah beda. Tapi aku akan sangat senang jika itu terjadi. Sebentarpun tak apa.”
“Kamu ga punya pacar Der?”
Deril merlirik sinis pada Steve.
“Hidupku penuh dengan diriku dan adikku. Perempuan yang dekat denganku selalu merada cemburu padanya. Pada hobiku, tapi diajak naik gunung ga pernah mau. Kan males banget. Hubungan selalu toxic, melarang ini itu. Belum nikah uda gitu. Males.”
“Aku punya pacar ga ya?”
“Kalo lihat ukuran pantatmu sih kayanya kamu punya pacar. Pacar p****t besar. Hahahahaha.”
Steve menyentil jidat Deril.
“Aduh.”
“Pantatku kok ya masih semok saja ya. Sedendam apa dia sampai nyumpahin begini.”
“Terima saja nasibmu. Hahahaha.”
Steve memonyongkan bibirnya. Dia malas membalas ejekan temannya. Percuma, pada ahirnya dia akan tetap tak bisa membalas Deril.
Setelah tertawa puas Deril mengambil sebuah buku dari lemarinya. Dia membukanya lemar demi lembar. Steve hanya melirik, masih dongkol hatinya selalu diejek p****t besar. Ya walaupun hal itu memang benar adanya.
“Steve. Lihat ini.”
Steve mendekat melihat apa yang ditunjukkan Deril.
“Ini apa?”
“Ini adalah buku catatanku selama disini. Semua hal aku catat disini. Nanti kalau aku sudah bertugas, kamu baca ini. Pelajari dengan baik. Masih banyak yang belum kamu tahu tentang lembah hijau.”
“Masih ada yang belum aku tau?”
“Iya. Banyak hal yang belum kamu tahu. Ada beberapa area terlarang yang tidak boleh dimasuki oleh kita, ada pula area berbahaya karena tidak pernah dilewati oleh siapapun. Batas wilayah lembah hijau. Aku saja baru tau soal buto setelah kamu cerita. Tandanya lembah hijau masih menyimpan berbagai misteri lainnya. Selama kamu menjalani seperti sekarang, kamu akan aman. Jadi tolong, ga usah aneh – aneh. Jangan ngerepotin siapapun, jangan berhutang apapun. Jalani saja seperti sekarang. Yang biasa – biasa saja.”
“Berhutang?”
“Pokoknya kalau kamu ditawari apapun itu bentuknya. Jangan mau. Kalau butuh apa – apa langsung ke Jessi. Biar aman. Ga sedikit yang terjebak sama dwarf. Ditawari ini itu mau. Pada ahirnya semua itu akan menghambatmu menemukan batu biru. Jiwa baru milikmu.”
“Bagaimana kamu tau?”
“Sudah banyak kasus. Banyak laporan mengenai dwarf yang mengganggu saat mereka bertugas.”
“Diganggu gimana?”
“Mereka akan meminta kamu mengerjakan hal – hal lain demi kepentingannya. Sehingga kamu akan terhambat saat mencari batu biru. Mereka akan memanfaatkanmu selama yang mereka mau.”
“Dwarf ini makhluk apa?”
“Dwarf itu penghuni sungai gembong. Tapi mereka leluasa masuk kemari. Karena memang tidak ada aturan untuk itu. Pihak lembah hijau pun tidak bisa berbuat banyak. Karena kita hidup berdampingan. Jadi ya, kamu harus jaga diri sendiri. Jangan sampai tergoda tawarannya. Apapun bentuknya. Ingat itu Steve.”
“Kali rumah bawang? Kamu tau sesuatu?”
“Aku pernah dengar rumah bawang, tapi aku ga tau kalau rumah itu tempat tinggal si buto. Cuma denger ada tempat lain selain lembah hijau. Yaitu rumah bawang dan sungai gembong. Jessi ga pernah cerita soal buto padaku.”
“Kok serem ya. Kamu mau ga nemenin aku disini sampai waktu bertugasku?” ucap steve sambil berkesip manja.
“Ogah. Gila. Hih jijik, aku congkel nih matanya.”
“Hahahaha. Kalau tau kaya gini tuh kok rasanya malah penasaran ya. Penasaran ingin tau hal – hal itu.”
“Bocah setres memang kamu.”
“Hahaha. Eh Der, langit audah oranye. Mau keluar?”
“Gila. Jessi bisa ngamuk lagi nanti.”
“Biar kamu tau seserem apa buto itu. Biar ga penasaran.”
“Gak. Aku masih waras. Ga kayak kamu yang setres.”
“Hahaha. Buto itu gede banget der. Tinggi banget. Kakinya tuh seperti kaki gajah. Guedeeeeeee bangeeeeeet. Tangannya juga. Perutnya uda hampir murip bukit saking gedenya. Terus nih ya, matanya sebesar piring. Warnanya merah ada belejnya pula. Hidungnya juga besar dengan dua lubang yang bisa menyedot masuk kepalamu. Mulutnya lebar, giginya berantakan dan kotor. Kalau kamu ada waktu, sikatin giginya der. Kasian.”
“Ogah. Kamu aja biar dutelen sekalian sama dia. Hahaha.”
“Itung – itung uji adrenalin der. Kan bentar lagi bertugas.”
“Gamau. Kamu gila. Kamu aja keluar sana.”
“Hahaha. Ga mau. Cukup sekali aku liat dia. Ga mau lagi. Kamu aja yang keluar, kan kamu belum.”
“Mendingan aku ketemu Jessi timbang ketemu buto.”
“Hahahaha.”
Steve tertawa, dia puas sudah berhasil menggoda Deril. Deril memonyongkan bibirnya. Merasa kesal karena sudah digoda oleh Steve.
"Tunggu pembalasanku." Ucapnya dalam hati.