Kematianku tidak ada satupun yang tahu. Begitu juga kedua orang tuaku. Hari itu menjadi kabar buruk buat emak dan bapak. Mendapati anaknya tidak ada di kamarnya dan jendela kamar yang menganga membuat emak cukup histeris pagi itu. Tidak biasanya anak perawan bangun siang hari itu. Sang emak yang merasa keheranan langsung mendatangi kamar anak gadisnya. Tapi ia sedikit shock karena tidak mendapati sang buah hati di kamarnya. Ia coba cari di bawah kolong ranjang, di balik lemari, di dalam selimut hingga di lipatan buku buku yang berhamburan, tetap saja nihil. Sang emak jadi bertambah panic karena harus menahan mules sedari tadi yang sudah di ujung brutu.
“Nih bocah kemane yak, ga tau emaknye sibuk mau boker, dienye ngilang begitu aje.”
Guna mengurangi kepanikannya, si Emak segera melesat secepat kilat ke arah toilet. Nyaris pintu kamar mandi hancur jika saja ia tidak khilaf. Selesai semedi di toilet si emak kembali mencari cari anak gadisnya. Rasa penasarannya semakin memuncak saat yang di cari tidak juga ia temukan. Hingga di lubang WC yang barusan ia pakai sudah di cari, tetap saja nihil. Hanya tersisa jejak jejak kuning yang telah hancur dari kreasi si Emak.
Sementara di tempat lain, Maimuntinah masih terdiam terpaku di pojokan bangunan yang entah dimana tempatnya. Ia hanya terduduk dengan melipat kedua kaki yang menutup badannya. Matanya kosong menatap sesosok tubuh yang telah tak bernyawa. Di depannya tubuh itu telah tercabik cabik pada bagian wajahnya. Luka lebam akibat benda tumpul pada tubuh tersebut terdapat di beberapa titik. Darah yang keluar dari mulut, hidung dan telinga tiada henti bercucuran. Padahal kejadiannya sudah sedari malam, mungkin sudah lebih dari 18 jam.
Maimuntinah tetap berada di posisinya, ia tak bergerak sedikitpun dari tempat ia menaruh pantatnya. Padahal disitu sudah penuh oleh kotoran yang di hasilkannya. Seharusnya ia pindah untuk mencari tempat yang kosong agar kotoran tersebut tak menumpuk menggunung di satu tempat begitu. Ia tetap tak bergeming meski semilir angin sudah seperti anging mamiri dan sinar mentari mulai menyengat bak gigitan nyamuk nan manja manja a***y. Bau anyir nan semerbak tak juga membuat ia meninggalkan tempat itu.
Sepertinya Mumun belum menyadari jika dirinya sudah tak bernyawa lagi. Dan sosok yang terdiam terpaku di pojokan itu adalah rohnya sendiri. Ia masih belum ngeh jika ia kini menjadi sesosok roh yang mati penasaran. Ini lah awal kenapa orang orang pada menyebut demit yang dulunya mati karena penasaran. Entah itu penasaran kenapa bisa mati, penasaran kenapa bisa terbang, bisa merasuki orang, bahkan penasaran kenapa gue di tinggal pas sayang sayangnya.
Mendadak timbul asap hitam nan pekat mengelilingi tubuh Mumun yang tergeletak di lantai usang tersebut. Seketika tubuh Mumun menghilang dan berganti menjadi sesosok makhluk yang sangat mengerikan. Sosok ini jika di gambarkan seperti gabungan antara tuyul dan buto ireng. Meski kepalanya botak pantulan cahaya nan menyilaukan terpancar jelas dari bagian kepala tersebut. Belum lagi tubuhnya yang menjulang tinggi dan besar. Namun sayang meski panjang, tetep saja ada yang kecil pada tubuh itu yaitu bagian buntutnya.
“Hei kunti, ngapain lu deprok di pojokan begono, kerjaan lu banyak noh.”
Mumun yang di sapa demikian malah celingak celinguk karena ia merasa yang di tegur bukanlah namanya. Setelah mencari sosok lain yang di maksud tersebut, ia kembali cuek. Melihat si Mumun acuh terhadap dirinya, sang buto jadi kesal.
“Woi, gue ngomong ama lu, SETAN!” seketika angin berhembus cukup kencang khusus mengena hidung Mumun. Lubangnya langsung mengembang, seakan mencium aroma yang tidak asing, ya ia pernah mencium wangi tersebut. Ia baru ingat saat ia membuang angin barusan. Itu baru bentakan dari sosok di depannya. Mumun lalu membayangkan gimana jika tu sosok buang angin ya, mungkin ia akan terhempas jauh ke Bantar Gebang.
Tanpa ia sadari tubuh Mumun melayang mendekati sosok di depannya. Sisa satu meter lalu ia hentikan.
“Kemana tubuh yang terbaring disini tadi? Kamu umpetin dimana?” dengan polosnya ia bertanya pada sosok hitam di depannya.
“Lu itu udah mati, Kunti!”
“Tapi tubuhku masih ada di sini? Ah pasti lu umpetin nih. Ga usah bercanda deh, ga lucu om.”
“Panik ga? Panik ga? Gue yang panic nih!”
“Ade panic lah om, tolongin dong om, ade mau balik badan, ntar di cari emak.”
Oh my Lord, seumur umur baru ini nemu manusia ga nyadar diri klo udah koit.
Di rumah emak masih sibuk membongkar lobang WC mencari anak gadisnya yang belum ketemu sedari pagi tadi. Sampai emak bela belain memanggil ahli WC yang mampet, mengira tu lobang WC tersumbat karena ada tubuh anaknya. Sang ahli WC juga hanya bisa menggeleng geleng kepala setelah mendapati hasil kerjaannya tidak sesuai harapan. Lobang itu mampet ternyata ulah emak sendiri. Ia lupa tadi pagi saat mendadak mendapat serangan tersebut, ia tidak menyelesaikannya secara tuntas. Sang emak lalai menyiram saat tahap finishing. Alhasil itulah yang membuat lobang WC jadi tersumbat. Di tambah lagi kotoran itu besar dan telah mengeras seperti batu.
“Bijimane bang, bisa balikin normal WC aing?”
Sang ahli WC mendapat pertanyaan tanpa dosa tersebut jadi tambah keki. Ia semakin bingung apa yang harus di lakuin terhadap emak gaul ini. Si emak yang mendapat pandangan tak senonoh dari ahli WC jadi ikutan bingung. Apa yang salah dari pertanyaan dia tadi.
“Buruan bang, perut aing mau mules lagi nih.” Sambil emak memegang ekornya khawatir jika terjadi sesuatu yang di inginkan kan bisa berabe dunia milenial. Si abang tukang servis WC jadi bertambah panih karena ini adalah toilet satu satunya si emak. Ia pun berpikir keras bagaimana caranya bisa selesai dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Alhasil dengan ilmu panic skill toilet darurat itu bisa ia selesaikan untuk sementara. Si emak yang melihat hasilnya bisa tersenyum lega sampai ia lupa mulai mengeluarkan angin yang tak sedap.
“Ok bang, ente pade bisa keluar bentaran ye, biar ane selesaikan yang tertunda tadi.”
Ahli WC beserta peralatannya segera ia bawa keluar dari toilet tersebut. Selang beberapa menit setelah emak selesai, ia mendapati di luar sudah tidak ada sebijipun manusianya.
“Kemane ntu si abang tukang WC ya, apa karena aing kentut tadi ya? Tapi masak bau sih?”
Si Emak belum menyadari jika tukang tadi sudah ngibrit duluan karena kesomplakan emak. Ia khawatir jika semakin lama berada di tempat itu, nyawanya akan jadi taruhannya. Atau bisa juga martabatnya sebagai seorang lelaki akan terjun bebas dari ketinggian pohon Lombok. Meski ia belum mendapat bayaran dari jasanya membongkar WC tadi.
Masih dalam kebingungan dengan hilangnya si Mumun, Emak pun menghubungi ayang bebebnya. Maksud hati ingin memberi kabar tentang anaknya pada si babe, ternyata yang di hubungi malah sedang berada di toilet kantornya. Sang babe rupanya turut sibuk mencari anaknya di toilet juga. Tapi kenapa mencarinya harus di kantor pak e? Babe yang sudah berumur memiliki penyakit kronis yaitu pelupa stadium X. Jadi wajar saja jika ia bertingkah aneh nyaris somplaknya dengan si emak dan Mumun.
Setelah mencari sekian lama di toilet, si babe Mumun lalu keluar coba mencari di ruang kerjanya atau di bak sampah. Ia mengira anaknya takut ikut terbuang di tempat sampah yang tak sengaja terangkut oleh OB di kantor. Meski hasilnya nihil ia tak langsung putus aja, tetap saja ia mencari dan mencari lagi. Hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan waktunya untuk pulang ke rumah. Babe tidak langsung pulang namun ia membuat laporan ke RT dulu kalau sebentar lagi ia akan sampai di rumah menemui si emak.
Sementara si Emak yang absurd masih saja mengubek ubek kamar dan toilet di rumahnya. Ia bingung harus bagaimana lagi agar bisa menemukan si Mumun. Karena biasanya jika waktunya boker pasti tu anak muncul dengan sendirinya, namun kali ini sudah lewat masanya untuk buang air. Jadi wajar bila si emak khawatir dengan anak sebiji wayang ga nongol.