“Mau dibawa kemana aku om?” Tanya Mumun dengan polosnya pada sosok yang menggeretnya sedari tadi. Si Om hanya diam dan terus menarik ia hingga akhirnya ia berada di suatu tempat. Yaitu di sebuah hutan yang begitu lebat dan sangat dingin. Anehnya Mumun tidak merasa kedinginan sedikitpun pada tubuhnya.
Mumun makin bingung sekarang ia berada di mana. Di tempat yang lalu saja ia ling lung dengan keadaannya, sekarang di tambah lagi dengan tempat yang asing buat dirinya. Ia tetap diam seribu bahasa sambil mengedarkan netranya ke sekeliling tempat tersebut. Suasananya benar benar tenang nyaris tanpa suara sedikitpun hanya sesekali terdengar jeritan dan tangisan kecil. Tapi entah dari mana sumbernya.
Si Om pencabut nyawa yang sedari tadi sudah kesal dengan tingkah laku Mumun bertingkah masa bodoh. Setelah tiba di tempat tersebut, ia baru melepas tubuh si Mumun. Raut wajahnya yang datar membuat Mumun jadi sangat sulit membacanya apa si Om sedang kesal, nangis, ketawa atau ngeden menahan mules. Dengan raut tanpa dosa, Mumun kembali membuat ulah.
“Ngapain kita di mari om? Gelap, hutan belantara semua gini.”
“Sebentar lagi kamu akan tau, SETAN!” terlihat dari nada bicaranya si Om sedang menahan nafsu untuk buang air besar.
“Berapa lama Om, gue dah capek dan laper nih.”
Duh nih setan kok ngeselin ya, dari tadi belum nyadar ape klo dah mateee.
Si Om ngebatin saat mendengar komentar Mumun.
Tak berapa lama keadaan sekitar berubah. Seperti sebuah film, di tempat Mumun berdiri terlihat seseorang yang sedang sibuk menggali tanah sendirian. Cuaca saat itu di gambarkan sedang hujan sangat deras yang di barengi dengan petir yang sahut menyahut. Suara deguman Guntur tadi turut memeriahkan suasana malam itu.
Seorang pria dengan cangkul di tangan terus menggali hingga kedalaman kurang lebih satu meteran lebih seperdelapan kira kira. Sesekali ia berhenti untuk menyeka air hujan yang telah membasahi tubuhnya. Sementara di dekatnya ada sebuah kain hitam yang membentuk seperti buntelan besar. Tidak jelas benda apa itu hanya bentuknya menyerupai seperti tubuh manusia.
Pria yang berperawakan rada gemuk tadi terus mencangkul tanah itu. Wajahnya tidak begitu jelas karena terhalang kegelapan suasana malam itu. Hanya sesekali cahaya petir sedikit menyinari wajah pria tersebut. Mumun yang sekilas melihat wajah tersebut saat terkenal blitz cahaya tadi agak sedikit shock. Ia tidak begitu yakin tapi andai benar sosok itu tidak asing baginya.
“Om, ane duduk ya nontonnye, capek nih dari tadi berdiri mulu.”
Dengan sekali menjentikkan jarinya om, si Mumun sudah ndeprok di atas cabang pohon. Sambil menggoyang goyangkan kakinya ia menyaksikan kejadian yang ada di depan matanya. Pria itu juga tidak menyadari jika ada yang sedang mengamati dirinya. Sambil tertawa kecil ia terus menggali tanah tersebut hingga membentuk persegi panjang. Setelah selesai ia lalu mendekati kain hitam yang ada di dekatnya. Kemudian ia menyingkap kain tersebut dan terlihatlah yang tidak di sangka Mumun. Ternyata dalam kain hitam itu adalah tubuh Mumun yang telah terbujur kaku.
“Lha om itukan tubuh ane om, kok bisa di situ, ah om ga sehat nih bercandanya, ini bukan nge prank kan om?”
Akhirnya meledaklah amarah si om pencabut nyawa.
“Elu itu dah mati SETAN! Dari tadi ga nyadar diri. Coba lu rasakan tubuh lu sendiri, lu gampar, lu tonjok, ada rasa sakit ga SETAN! Heran gua dari tadi nyerocos mulu.”
Hihihihihi Hihihihihi Hihihihihi…
Mumun malah tertawa lepas, tertawanya tiba tiba jadi melengking. Seakan ia begitu bahagia telah membuat si Om kesal beud. Cukup lama ia tertawa tanpa bisa ia hentikan sendiri. Hingga sosok pria yang sedang mengubur tadi juga turut mendengar hingga ia menghentikan aktivitasnya. Tampak ia ketakutan dengan situasi itu. Si Om langsung beraksi, ia kembali menjentikkan jarinya dan itu berhasil menghentikan tawa Mumun yang gurih. Ia jadi tak berkutik tapi kakinya masih bisa bergoyang goyang.
Tampak orang yang menggali itu terburu buru mengubur jenazah Mumun. Tanpa diberi papan nisan seperti kuburan pada umumnya. Mumun masih tetap belum ngeh apa yang pria itu lakukan dengan tubuhnya hingga harus di kubur seperti itu. Dari raut wajah juga ia tidak ada rasa kesedihan, malah ia senyam senyum sendiri. Rambutnya yang terurai tanpa ikatan tak lagi ia hiraukan. Mumun tak lagi merasakan kedinginan karena angin atau cuaca yang memang dingin, basah karena terpaan hujan bahkan ia tak perlu khawatir lagi dengan petir yang menggelegar.
“Nah sekarang lu udeh ngerti kenapa gue ajak kemari?”
Mumun terdiam sejenak, tampak ia seperti memikir sesuatu. Sesekali mimiknya berubah seperti orang yang akan menangis, namun sesekali tampak ia tersenyum kecil.
“Ga ngerti om.”
Jiahhhh dasar SETAN.
“Tubuhmu ada di kubur itu dan pria yang menguburnya tadi adalah orang yang sudah menghabisi nyawa lu. Dan sekarang lu berada di dunia gua. Dunia perdemitan.”
“Jadi ane sekarang jadi demit dong om?”
“Terserah lu mau jadi ape, gue ga ngurus. Tugas gue dah kelar sampe sini doang. Lu tinggal nunggu kiamat datang, end dah.”
“Nah di sekeliling lu juga dah banyak yang sejenis dengan lu dan juga sohib yang lain.”
Tiba tiba di sekeliling Mumun dan om bermunculan sosok sosok demit yang lain. Hampir semua titik ada. Bahkan yang mirip dengan Mumun pun sangat banyak. Semuanya menggunakan dress code dengan warna yang sama yaitu putih. Tapi ada juga yang berbeda warna, seperti merah dan ungu. Mungkin di lihat dari kasta demit itu sendiri. Jika level ku masih platinum, mungkin yang merah dan ungu adalah master dan conqueror.
Suatu hari akan gue ajak mabar lu pade ye demit, jangan kira gue tier plat ga bisa ngalahin lu pade.
Dasar Mumun, dia kira ini berada di dunia game online, bisa di ajak mabar. Teman teman yang lain pada beterbangan antara satu pohon ke pohon yang lain. Ada juga yang berloncatan tidak jelas. suara tertawa dan tangis seperti tiada hentinya. Semua seperti menunjukkan kelebihan dan kekurangan masing masing. Mumun hanya melongo melihat kejadian semuanya. Sesekali ia malah menutup mata dengan kedua telapak tangannya ketika ada sosok yang wajahnya hancur berantakan tiba tiba nongol di depan wajahnya.
“Dasar SETAN! Lu itu sama aje dengan mereka, ngapaen lu takut, beleguk sia!”
Si om yang belum beranjak dari tempatnya rupanya masih setia mengawasi si Mumun yang masih labil menjadi demit. Sebenarnya dari lubuk jeroannya yang paling jero ia tidak begitu tega meninggalkan Mumun menjalani kehidupan sebagai seekor demit. Tapi karena sudah menjadi tugasnya, ia dengan sangat terpaksa meninggalkannya sendiri. Mumun memang harus belajar menjalani kehidupan demit secara mandiri. Dalam sekejap si Om menghilang dengan asap tebal yang sangat bau tersebut.
“Om jangan pergi dulu dong, maen kabur aja, yaelah si om mah.” Rengek si Mumun karena melihat sosok yang membawanya tadi tiba tiba menghilang tanpa pamit seperti seseorang yang ghosting kekasihnya tanpa pamit.
“Apaan sih lu, gua dah cabut terpaksa balik lagi.” Ternyata si Om balik lagi karena mendengar panggilan Mumun tadi.
“Gue laper nih Om, sebelum pergi tinggalin makan dong. Tanggung jawab ente om udeh bawa ade kemari, eh main kabur aje, dasar Ghosting juga lu.”