Firasat

2541 Kata
Andra mengaruk tengkuknya. Tak ada satu pun pesannya dibalas Ferril maupun Ardan. Padahal minggu ini mereka sudah janji akan nongkrong bersama. Meski akhirnya ia tetap berangkat setelah jam pulang kantor. Namun tentu saja tak ada satu orang pun yang ia temukan. Pada ke mana? Ia heran dan bingung. Karena biasanya kalau ada halangan, pasti ada balasan dari mereka. Ketika ia memutuskan untuk menelepon mereka pun tak ada satu pun yang mengangkat. Aneh. Apa sebegini sibuknya kah? Satu minggu kemudian akhirnya ia mendatangi kantor Ferril. Tadinya sih mau ke kantor Ardan. Tapi agak terlalu jauh. Yang paling dekat dengan kamtornya ya kantor Ferril. Namun ketika tiba di sana..... "Pak Ferril sudah hampir dua minggu ini tak ke kantor, pak. Ada dinas luar. Belum tahu kapan kembali." Mau tak mau Andra mengangguk. Meski ia agak kebingungan. Karena biasanya kalapun dinas, mereka pasti ada basa-basinya. Sepulang dari kantornya, ia akhirnya mencoba ke kantor Ardan meski agak jauh. Baru satu jam kemudian ia sampai di sana. Tentu saja sudah sepi. Tapi setidaknya bisa bertanya pada satpam. "Pak Ardan ads dinas luar, pak. Belum tahu kapan kembali." "Bukan liburan keluarga m, pak?" "Bukan, pak." Ia jelas terheran-heran. Baru mau pulang, langkahnya terhenti pula dengan pemberitaan yang muncul dari televisi. Ternyata? Berita adiknya. Kaget lah dengan pemberitaan yang ada. Adiknya dituduh punya hubungan gelap dengan saksi kunci kasus korupsi Abdi Nehoro Group. Andra tentu tahu kalau Zakiya memang sedang mengurus kasus itu. Ia berlari menuju mobilnya yang terparkir. "Bukan apa-apa lah, bang. Gak penting juga." Adiknya justru santai. Pemberitaan itu sudah muncul selama satu minggu ini. Andra tak sadar sama sekali karena sibuk dengan urusannya sendiri. "Gue pikir lo pada ngehindarin gue." Ardan dan yang lain terbahak. Mereka baru bertemu satu minggu kemudian. Ya dua minggu menjelang keberangkatan Andra ke New York. Cukup lama karena hampir dua bulan tak bertemu. "Gue banyak dinas luar. Yang lain juga. Hape aja entah di mana saking sibuknya." "Untung belum punya bini,' timpal Ferril yang membuat mereka tertawa. Ya setidaknya masih ada untungnya. Mereka mengobrol hingga malam. Andra sebetulnya hanya butuh teman sepenanggungan. Maksudnya jomblo yang sepenanggungan. Hahaha. Jujur saja ia memang kesepian. Teman-teman kantor? Ada banyak yang sudah menikah. Hanya beberapa yang belum. Ya segerintil orang lah. Banyak yang menikah muda juga. Ia juga inginnya menikah. Tapi bingung dengan dirinya sendiri. Sudah siap kah? Itu adalah pertanyaan yang ditujukan pada diri sendiri. Namun tak yakin pula dengan jawabannya. Sebab ia juga tak bisa mengukur diri sendiri. "Pak Andra!" Ia menoleh. Padahal baru saja hendak pulang. "Shanti bilang kalau ada masalah sama komputernya?" "Ah ya. Lupa juga saya bilang tadi. Beberapa file saya hilang dan suka kedip-kedip. Udah saya coba cek sendiri tapi tetep gak bisa. Semua file udah saya back up kecuali yang hilang itu." Lelaki itu mengangguk. "Kalau begitu, saya izin perbaiki." "Boleh. Nanti tolong jangan lupa dikunci ruangannya." Lelaki itu mengangguk. Andra meninggalkannya. Ia berjalan lebih dulu. Saat hendak masuk ke dalam mobil, ada pesan ribut di grupnya bersama Ardan, Ferril, dan yang lain. Apa isinya? Ardan masuk rumah sakit. Ia langsung menelepon Adit. "Rumah sakit mana?" "Om Fadlan yang cabang Jakarta Pusat. Tapi kayaknya mau dipindahin ke Depok. Nanti aja datangnya. Kalo udah dipindahin." "Oke. Kabarin, Dit." Adit mengiyakan. Apa yang terjadi pada cowok sableng itu? Tak tahu hingga Andra mendapatkan kabar kalau Ardan sudah dipindahkan. Tapi karena terlalu malam, ia tak bisa datang. Akhirnya ia datang esok pagi sebelum berangkat ke kantor. Tiba di sana, Ardan belum sadarkan diri. Setidaknya bertemu Ferril yang menjaga Ardan semalaman. "Kecelakaan atau gimana?" Ia tentu heran. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Malah heboh karena mau dikenalkan dengan seorang perempuan. Ya itu kesempatan langka bagi Ardan yang berkali-kali gagal. "Hampir mati." Ia agak marah saat mengatakan itu. Ardan dipukuli habis-habisan. Mereka juga sedang mengejar tersangkanya. Andra tentu tak bisa masuk ke ruangan itu. Ya ia bisa melihat Ardan dari pintu. Hanya termangu melihatnya seperti itu. Tentu pias lah. Ia memepuk-nepuk bahu Ferril. Baru kali ini ia melihat Ardan terkapar tak berdaya. Padahal biasanya bawaannya selalu ceria. Ya kan Ardan yang lebih banyaj menghiburnya. Ia juga baru menyadari hal itu. @@@ "Lihat Andrea?" Mereka memang satu divisi tapi ada beberapa departemen. Jadi berbeda ruangan. Andrea tak terlihat di ruangannya bersama teman-teman di sana. Makanya ia bertanya. "Andrea kayaknya ke ruangan pak Andra, Dan. Ngecek komputer. Riza udah cabut duluan soalnya." Ia mengangguk lantas buru-buru pergi ke ruangan Andra ke lantai atas. Hanya berbeda satu lantai. Manajer ganteng yang satu itu pernah menjadi pria idamannya ketika sebelum menikah. Sayangnya susah sekali mendekatinya. Rumor yang menyebar beberapa hari ini pun menyebutkan kalau Andra pernah berpacaran dengan salah satu anak konglomerat yang menjadi influencer muslimah. Banyak yang tak tampak kaget. Reaksinya sama seperti Danita. "Wajar lah. Seganteng itu sama cewek cantik pasti suka." Ya karena wajah gantengnya termaafkan. Ia tiba di lantai atas. Lalu berbelok ke kiri menuju divisi pemasaran dan bisnis. Tiba di sana, ia membuka pintu dan berjalan menuju ruangan paling ujung. Ruangan paling khusus. Karena posisi Andra sebagai manajer di sana. Begitu mengetuk pintu dan mencoba membukanya......benar saja ada Andrea di sana. "Lo lembur?" "Ya kayaknya. Kenapa?" "Tadi sih mau nebeng lo." "Gak dimarahin laki lo heh?" "Dia aja gak perduli kok. Ya udah deh. Gue balik ya?" Andrea mengangguk. Ia biarkan saja Danita pergi. Sementara ia kembali fokus pada pekerjaannya. Danita menarik nafas dalam. Kalau ahrus pulang ke rumah rasanya sesak sekali. Tak ada yang menyenangkan dari rumah yang ia impikan sejak lama. Untuk apa menikah kalau tidak bahagia? Ia akhirnya berpikir ke arah sana. Setahun yang lalu, ketika memutuskan untuk menerima lamaran seorang lelaki, ia pikir akan bahagia. Selain karena ia iri melihat kebanyakan temannya sudah menikah, ia juga mendambakan kehidupan yang enak setelah menikah. Orangtuanya mencari lelaki yang jelas sudah mapan meski berstatus duda. Setelah menjalani pernikahan, ia akhirnya sadar kalau sekedar keinginan untuk menikah itu tak pernah cukup. Jangan asal memilih lelaki hanya karena ia mapan. Ia harusnya sadar itu. Ia termenung di sepanjang jalan. Ia hanya merasa kalau pernikahan ini memang terasa salah bahkan sejak awal. Ia memutuskan untuk naik taksi saja dari pada lelah menunggu trans Jakarta. Sudah padat, macet, dan belum tentu dapat tempat duduk. Meski agak mahal setidaknya ia bisa sampai di rumah dengan tenang. Hampir satu jam kemudian ia akhirnya tiba. Kalau dengan motor mungkin tak akan sampai setengah jam, ia pasti sudah sampai. Ya andai Andrea mau mengantarnya. Ia tahu sih kalau semenjak menikah, Andrea agak menjaga jarak. Ya karena statusnya memang sudah berbeda sekarang bukan? Jadi wajar saja. Hanya saja ia belum terbiasa. Ya mungkin karena tak ada perbedaan ia menikah dan belum menikah. Tak bahagia juga kan? Bahkan ketika ia tiba di rumah, rumahnya masih gelap. Suaminya mungkin belum pulang juga. Ia masuk ke rumah dalam keadaan kesepian. "Apa gunanya punya rumah bagus kalau akhirnya sendiri?" Ia bahkan tak tahu jam berapa suaminya akan pulang. Biasanya agak malam. Lelaki itu tampaknya lebih suka bermalam di kantor dari pada berdua dengannya di rumah. Wajar kah? Ia masih ingat ucapan lelaki itu ketika pertama kali membawanya ke rumah ini. "Saya menikahimu karena ibu saya menginginkannya." Itu artinya lelaki itu menikahinya dengan terpaksa. Awalnya ia tak masalah dengan itu. Ia mencoba menerimanya. Ia berusaha keras selama berbulan-bulan untuk meraih hatinya. Tapi hasilnya? Tak ada hingga sekarang. Ia makan sendirian malam ini. Lalu mencuci piring. Ia kembali melihat ke arah jam di dinding tapi sudah jam delapan malam, belum juga terdengar suara mobilnya. "Sejak kapan dia pulang jam delapan Danita?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. Lalu berjalan mengambil ponselnya yang dicas. Ya hendak mengirim pesan. Setidaknya ia masih perhatian. Tapi ia justru menerima pesan lain dari salah satu teman kantornya yang sedang nongkrong di sebuah restoran. Suami lo bukan, Dan? Perempuan itu juga mengirim foto di mana ada suaminya bersama perempuan tampak makan berdua. Lebih parahnya.....tampak mesra. Hatinya langsung sesak lah. Spontan, ia menelepon Andrea untuk merusuhi lelaki itu. Memintanya menemani ke restoran itu untuk memastikan foto yang diambil oleh temannya. "Lo gak bisa berangkat sendiri?" Andrea bahkan baru saja keluar dari kantor. Belum juga melewati portal di gerbang keluar kantor. "Temenin gue plissss! Biasanya juga lo yang nemenin gue." Andrea menghela nafas. "Ya udah. Tunggu." Danita mengiyakan. Dua puluh menit kemudian, Andrea muncul di depan rumahnya. Ia buru-buru mengambil helm dan memakainya lalu naik ke atas motor Andrea. Andrea mengemudikan motornya menuju restoran itu. Sekitar 35 menit kemudian mereka tiba. Lokasinya memang agak jauh. Ia buru-buru turun tapi begitu tiba di sana tentu saja sudah tak ada. Ia menelepon teman yang memberitahunya tadi. Bahkan temannya saja sudah pulang. "Lo kelamaan, Dan. Harusnya langsung datang pas baca pesan gue." Ia menghela nafas. Tadi ia pulang dengan taksi kalau harus naik ojek lagi kan lumayan. Kalau nebeng Andrea, ia hanya perlu mengisi bensinnya saja. Perbandingan yang sangat jauh. "Lo lihat mereka ngapain aja?" "Ya ngobrol." "Mesra gak?" "Mesra." Ia berdesis. Jelas sakit hati lah. Lalu meminta pada Andrea agar berhenti di taman dekat rumah. Lelaki itu tak tega meninggalkannya di tempat sepi seperti itu. Mana menangis pula gara-gara kejadian tadi. Danita tentu saja menceritakan segalanya. Pernikahan yang salah sejak awal. "Lo bilang kalo dulu lo bahagia nikah sama dia, Dan." "Lo tahu kalo gue terlalu malu untuk mengakui, Dre?" Ya. Masa baru menikah tapi ia mengatakan kalau ia tak bahagia? Meski harus berbohong pun ia rela melakukannya. Ia menarik nafas dalam. "Gue mau cerai aja." Andrea geleng-geleng kepala. "Waktu lo cerita kalo lo dikenalin sama dia dalam sekali pertemuan, lo bilang kalo lo mau nikah sama dia. Lo bahkan gak menyelidiki apapun tentang dia. Kita gak bisa beli kucing dalam karung, Dan." Ya. Ia tahu. Ia salah. Ia ceroboh. Ia tak bersungguh-sungguh dengan niatnya untuk menikah. Justru menjadikannya sebagai sebuah pelarian karena lelah hidup sendiri. Berharap akan hidup enak dengan menikahi pria mapan. Tapi semua itu ternyata hanya bualan. Ia tak sedikit pun merasa bahagia kecuali saat akan dan resepsi pernikahan itu terjadi. Setelahnya? Hatinya dipatahkan oleh lelaki yang baru saja berani jujur kalau tak berniat menikahinya sejak awal. Semua karena pemaksaan ibunya. Kenapa tak jujur? Pasti karena tak berani sementara ia sudah berharap lebih. Namun ternyata malah dikecewakan. Satu jam kemudian, ia diantar pulang ke rumah. Andrea pamit dengan motornya. Ini bahkan sudah larut. Hampir jam sepuluh malam. Ia turun dari motor dengan lesu lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Eeh malah dikejutkan dengan kemunculan ibu mertuanya. "Oh ma...." Perempuan itu jelas menatap ke arah luar. Mencari perginya suara motor itu. Ia tergagap. Kaget dan tak menyangka. Bagaimana i u mertuanya sudah di sini? "Siapa tadi? Temanmu?" "Eung ya....teman kantor. Tadi ada keperluan di kantor dan pulang sama dia." Ia sedikit berbohong. "Kamu harusnya tahu, Danita. Kamu sudah bukan perempuan lajang lagi yang bisa pulang sembarangan dengan orang apalagi laki-laki. Mau teman kantor atau apapun. Kecuali keluarga sendiri." Ia jelas disindir. Ia tak membalas. Hanya diam dan berjalan menuju ke kamar. Lalu mendapati suaminya tampak sedang berteleponan dengan seseorang. Entah siapa. Tapi ia bisa menyadari perbedaan ketika lelaki itu berbicara dengannya dibandingkan dengan nada suara suaminya sekarang. Jelas jauh sekali perbedaannya. @@@ "Iya. Udah dapat kabar penerimaan. Proposal juga udah kelar. Kayaknya beberapa hari sebelum berangkat juga akan turun dananya, ma. Nanti Shana ganti uang mama yang Shana pakek kemarin." "Gak perlu itu. Kamu tabung aja uangnya." Ia mengiyakan. Lantas tak lama telepon dimatikan. Ia baru tiba di mall untuk mencari koper baru. Ia sudah punya sebetulnya tapi terlalu kecil. Ia perlu yang agak besar sedikit karena berencana menetap dua minggu di sana. Ya mumpung ke luar negeri, kapan lagi coba menghabiskan waktu yang lebih banyak? Esoknya ada pesan dari lelaki itu. Ya tentu saja bertanya apakah ia bisa ke rumahnya hari ini? Ia agak kaget. Kamu mau ke rumah? Ya. Sekalian sama mamaku. Mamamu ada di rumah? Bentar. Aku telepon dulu. Ia buru-buru menelepon mamanya. Sudah beberapa kali sebelumnya, lelaki ini mencoba ke rumahnya untuk menemui mamanya. Ya harus mengambil hati ibunya dulu sebelum mendapatkan anaknya. Tapi mamanya Shana cukup sibuk. Karena mamanya sekarang memang masih bekerja di pabrik sebagai manajer di sana. Butuh waktu lama baginya untuk bisa menempati posisi itu. Reka melanjutkan kuliah lagi juga di Universitas Terbuka agar bisa memperbaiki hidupnya dan anak-anaknya. Semua sudah terbayar. Yang satu sedang menyelesaikan S2-nya. Yang satu lagi sudah bekerja. "Ada di rumah kan, ma?" "Mama lagi di pabrik. Ada kecelakaan kerja. Jadi harus ke sana. Kenapa?" "Oooh. Enggak. Ya udah deh." "Kenapa? Andrea mau ke rumah?" Mamanya sudah bisa menebaknya. Ia berdeham mengiyakan. Ya siapa lagi yang mau datang ke rumahnya? "Iya. Tadinya mau berangkat sama mamanya." "Oh sama mamanya." Hanya begitu responnya pula. Shana menarik nafas dalam. Ia mencoba berbicara dengan mamanya. "Usia Shana kan udah cukup pantas untuk menikah, ma. Dan lagi, udah ada calonnya--" "Udah ya? Mama sibuk. Nanti saja ngomongin soal itu." Ia menghela nafas panjang. Lagi-lagi mengalah soal itu. Apa yang bisa ia lakukan? Ia tak tahu. Mamanya memang agak keras kepala. Susah sekali menakhlukan hatinya. Meski ia juga berpikir banyak hal. Kalau dengan Andrea, ia seidaknya sudah lama mengenalnya. Tapi bagi mamanya itu masih belum cukup. "Kenapa mama gak mau nerima bang Andrea?" Adiknya Shana yang bertanya setelah mendengar curhatan kakaknya sepanjang siang tadi. Maka ia segera bertanya begitu mamanya pulang ke rumah. Psrempuan itu menghela nafas. "Bang Andrea kan bukan kayak almarhum papa." Ia hanga mengingatkan kalau tak semua lelaki sama. Ia juga begitu kan? Ia tahu betapa buruknya dampak perilaku papanya pada mereka dan itu menjadi pembelajaran yang sangat berharga baginya. "Mama belum rela aja. Tampaknya juga belum cocok sama Andrea." "Kenapa? Dulu mama suka sama yang bang Andrea." "Anaknya agak manja. Mama dengar banyak dari temen mama. Ibunya juga suka agak ikut campur. Kalau mereka menikah nanti gimana kakakmu?" "Hanya itu?" "Intinya belum srek aja mama." "Gak bilang jujur?" "Kakakmu gak akan denger juga. Yang ada malah makin maksa biar si Andrea main terus ke sini." Anak lelakinya menarik nafas dalam. Serba susah kalau begini mamanya. Tapi mungkin insting kah? Kalau ada yang srek, ia juga pasti akan memberikan lampu hijau. Ia bukannya ingin mengungkit persoalan mantan suaminya. Ia hanya berpikir kalau itu satu-satunya cara agar Shana sadar. Mencari jodoh itu bukan sekedar kenal lama atau perasaan. Ada banyak hal. Termasuk firasat seorang ibu yang sering diabaikan. Ia dulu juga begitu. Ia mengabaikan firasat ibunya yang kurang srek dengan mantan suaminya. Tapi ia menuduh ibunya yang memang tak suka dengan lelaki itu dan keluarganya. Namun ternyata firasat itu benar. Almarhum mantan suaminya bahkan keluarganya tak sebaik yang ia kira ketika masa pacaran. @@@ Bastian melambaikan tangan. Ia akhirnya mengantarkan Upik terbang ke Polandia bersama suaminya, Akbar. Ammar tentu tak bisa ikut. Cowok itu ada di Palembang. Chayra juga ada di Amerika. Hanya Nabila yang menemaninya. Gadis itu datang jauh-jauh dari Bandung hanya untuk bertemu sebentar dengan Upik. "Cuma kita berdua yang masih jomblo nih, Bas." Bastian tertawa. Ya memang benar. Tak disangka kalau secara beruntun, teman-temannya akan menikah. Dimulai dari Kucay lalu Ammar dan Upik. Hanya Bastian dan Nabila juga yang sempat hadir di pernikahan Upik. Aah ada Ammar juga sih. Chayra yang tak bisa datang karena tinggal terlalu jauh. "Lo ama Shadiq gimana?" Nabila terkekeh. Ia justru mengendikan bahunya. "Gue emang belum ada niatan untuk menikah. Lihat aja nyokap gue. Gue was-was. Mending lo duluan deh. Udah ada calon?" Ia malah memutar balik pertanyaan. Bastian menghela nafas. Hal yang membuat Nabila terbahak seketika. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN