Perempuan Yang Sama

2049 Kata
"Dari US terus gue ke Korsel terus ya balik ke sini begitu urusan udah beres." Andra mengangguk-angguk. Lama ia tak bertemu Bastian. Posisi mereka sama-sama manajer di perusahaan ini. Bastian tampak melihat sekitar. Padahal hanya ditinggal beberapa bulan tapi rasanya seperti bertahun-tahun. Ada banyak hal yang berubah kah? "Andra....!" Eiits....sepertinya belum ada yang berubah. Hahaha. Bastian mengulum senyum bersama Dawam yang sudah menahan tawa. Andra yang dipanggil hanya berdeham. Yeah perempuan yang satu ini tampaknya sudah kembali dari Jepang usai berdinas di sana. "Jepang gimana, Kar?" Bukan Andra yang bertanya melainkan Dawam. Dawam itu salah satu staf senior di sini. Ya masih sesama rekan dengan Andra. Tapi Andra sudah diangkat menjadi manajet. "Jepaang yaaa gitu deeh." Ia ikut nimbrung makan siang bersama cowok-cowok ini. Biasanya mereka kan memilih rooftop. Tapi hari ini entah kenapa ingin makan di kantin kantor yang selalu ramai dijam makan siang seperti ini. "Gak dapat cowok di sana, Kar?" "Lo emangnya gak dapet cewek di Korsel, Bas?" Bastian tertawa. Ia suka sekali meledek Sekar. Gadis itu sewot kalau mereka mencoba membuatnya mendekati cowok lain. Karena jelas yang ditaksir sejak Andra masuk ke kantor ini yaaa Andra lah. Meski cowok itu jadi rebutan. Dawam geleng-geleng kepala. "Gue kira lo setahunan di Jepang." "Lo ngusir?" "Sensi amat dah, Kar. Gimana Andra mau naksir coba?" Ia mendengus. "Gara-gara lo berdua lah nih ya, asmara gue mssih bertepuk sebelah rangan." Ia sungguh blak-blakan. Hahaha. Karena ia melihat Andra sepertinya bukan tipe lelaki yang akan mendekati perempuan lebih dulu. Jadi mungkin kalau ia blak-blakan seperti ini dan terus mencoba mendekatinya lebih dulu, Andra akan merespon. Eeeh pesan-pesannya masih sering dicuekin kok. Andra baru merespon kalau berhubungan dengan urusan pekerjaan. "Gue duluan." Andra pamit. Sekara langsung melotot ke arah dua cowok di depannya ini. Keduanya terbahak. "Lo terlalu agresif sih, Kar. Jadinya Andra bukannya suka malah risih." "Ya gue kudu agresif lah. Kalo gak agresif, tuh orang gak bakalan deketin duluan tauk." Ia dongkol. Ia melihat ke arah Andra yang sudah masuk ke dalam lift. Dawam geleng-geleng kepala. "Selera Andra itu tinggi, Kar." "Heh. Cinta bisa datang karena terbiasa." Dawam tertawa. Ya mungkin bisa. Tapi setahunya Andra hanya suka satu cewek sedari dulu. Ia juga tahunya dulu sekali. Waktu masih sering berjalan juga dengan Pras. Ia juga amat kaget saat tahu perempuan yang pernah ditaksirnya. Maka kini Dawam membuka ponsel. Ia mencari akun media sosial Farras. Ya biar Sekar membuka matanya. Ya memang sih ia tak ada maksud untuk membandingkan. Tapi Sekar memang menurut Dawam ya jauh sekali dengan tipe perempuan yang mungkin ditaksir Andra. Sekar memang suka cowok-cowok ganteng. Deretan mantannya juga ganteng-ganteng meski kalau kata Dawam dan cowok-cowok lain, Sekara tergolong perempuan yang biasa saja dari segi fisik. Namun gadis itu kan agresif. Jadi rata-rata mantannya yang ganteng-ganteng itu ya cowok-cowok pendiam. Tapi menurut Dawam, Andra itu tidak pendiam. Andra hanya dingin pada perempuan yang terang-terangan mengejarnya karena ia mmang tidak suka. Tentu untuk menjaga jarak. Interaksi Andra dengan cewek lain jelas berbeda jika dibandingkan dengan Sekar. "Lu tahu kan ini siapa?" "Saudara kembarnya si playboy." Dawam mengangguk. Tapi maksudnya bukan ini. "Ini cinta pertamanya si Andra." Ia kembali menatap layar itu. Ya memang cantik. Cantik sekali. Anggun dan juga solehah. Ia juga tahu kalau ia jauh dari itu. Tapi menurutnya, Andra juga bukan cowok yang soleh begitu. "Terus apa maksud lo heh? Lo mau nyuruh gue ngaca gitu." Dawam terkekeh. "Bukan. Cuma lo emang bukan tipe dia aja, Kar. Sorry nih gue ngomong begini." Ia terbahak karena dipelototi. Bastian geleng-geleng kepala. @@@ "Ya udah kalo belum jelas ya gak apa-apa. Kalo jodoh juga gak akan ke mana." Ia mengiyakan lantas menutup telepon. Ini sudah jam makan siang. Ia baru hendak meninggalkan bangkunya. Lalu mengambil wudhu dulu untuk solat zuhur. Baru kemudian pergi keluar meninggalkan ruangannya menuju kantin yang masih ramai tapi kebanyakan sudah selesai makan. Danita melambaikan tangannya. Perempuan itu tampak makan bersama tim mereka. Yeah sesama staf senior di sini. Beberapa manajer terlihat tapi banyak yang sudah meninggalkan kantin. Mungkin karena hampir jam satu siang. Timnya sih santai. Kebetulan ia bekerja di bagian IT. Jam kerjanya jauh lebih fleksibel. Tapi kalau ada masalah, ia dan rekan-rekan satu divisi yang harus turun lebih dulu. "Lo belum makan?" Ia mengangguk. Lalu pergi memesan makanan dulu. Begitu membawa pesanannya menuju meja, beberapa temannya malah berpamitan. Tapi masih ada satu perempuan ini yang duduk bersamanya. "Lo gak balik?" "Entar aja lah. Toh kerjaan gue tadi juga udah beres." Ia mengangguk. Perempuan ini temannya dari kampus sebelumnya. Bahkan yang menawarkannya pekerjaan di sini ya perempuan ini. "Kenapa lagi?" Ia menghela nafas panjang. Ya tahu sih persoalan rumah tangga yang rumit. "Apa gue cerai aja ya?" Ia tersedak mendengar ucapan itu. Ya tahu sih kalai rumah tangga perempuan ini begitu pelik. Awal kisahnya tampak manis. Mendadak dikenalkan oleh ibu kandungnya sendiri pada anak dari temannya yang kebetulan duda. Tapi duda tak punya anak. Mantan istrinya pun meninggal karena sakit. Ia mau karena ya rasanya tak ada catatan ganjil dari lelaki itu. Namun setelah menjalani pernikahan ternyata rasanya sangat hambar. Padahal ia yang dulu tergila-gila dengan lelaki itu. "Lo ngaco ya?" Ia menghembuskan nafas. "Lo tahu kalo dia sama sekali gak suka sama gue, An." Ia memang terbuka dengan lelaki ini. Karena mereka sudah lama kenal. Dekat juga dari dulu. Ia juga tahu kalau lelaki ini sudah lama menyukai perempuan yang menjadi teman dekst sejak SMA. Tapi belum menikah. Berbeda dengannya yang sebetulnya pernikahannya pun baru berjalan beberapa bulan. "Perjuangin lah. Kan udah nikah juga. Masa lo gak bisa bikin dia jatuh cinta sama lo?" Ia menarik nafas dalam. "Gue juga udah nyoba. Tapi rasanya tuh capek banget, An. Gue bahkan sampai ngira dia gay kan?" Andrea terkekeh. "Tapi syukurnya sih enggak. Gue hanya bertanya-tanya aja. Apa sih alasannya dia mau nikah sama gue? Padahal suka sama gue aja enggak. Gue pikir nih ya, ketika dia sama keluarganya datang melamar gue ya artinya dianya juga suka sama gue." "Coba buat dia jatuh cinta sama lo lah. Mungkin harus pelan-pelan, Dan." Ia menghembuskan nafas panjang. Dari pada pusing memikirkan persoalan rumah tangganya yang tak ada ujungnya. "Lo sama Shana gimana? Ada kemajuan?" Ia menghela nafas panjang. Ya ternyata tak mudah juga baginya. @@@ Ia terpekur usai membaca pesan dari salah satu pembimbing tesisnya. Beliau ini memang sangat baik sekali karena sudah membimbingnya dan seringkali memberikan berbagai informasi ya termasuk kali ini. Satu konferensi internasional di bidangnya akan dilaksanakan di Kota New York. Urusan dana, kampus pasti bisa membantu. Karena ada prosedur untuk mengirim proposal lalu meminta dana ke sana. Ia menarik nafas dalam. Tampak berpikir. Beberapa konferensi lalu ia tolak karena tak tahu kalau ada dana dari kampus. Apa ia coba saja kali ini? Ia akhirnya mencoba untuk mengecek informasinya lagi. Ya ternyata memang cukup bagus dan kredibel. Begitu yakin, ia bergerak untuk mencatat beberapa hal penting. Akhirnya ia putuskan untuk membuat abstrak tesisnya. Barangkali bisa ia presentasikan di sana. Butuh beberapa jam untuk membuat abstrak hingga akhirnya selesai lalu ia mengirim pada dosennya. Tentu saja meminta tolong. Ia sudah seminar proposal. Setidaknya ia bisa memperkirakan hasilnya seperti apa. Yang penting ya dicoba dulu. Ya kan? Ia baru beranjak dari depan laptop begitu selesai merevisi berdasarkan arahan dari dosennya. Kemudian segera mengirimkannya ke konferensi itu. Karena waktunya sudah tak banyak. Kalau lolos ya syukur. Kalau tidak juga tak apa. Ia yakin masih ada banyak konferensi yang bisa ia ikuti. Ia bergerak menuju tempat tidur untuk tidur sebentar. Lalu baru bangun menjelang ashar. Usai solat dan mandi, ia duduk terpekur. Ya memikirkan banyak hal yang terjadi. "Kalo gue sih gak keberatan. Terserah kakak aja. Kan yang jalani juga kakak." Ia menelepon adiknya. Perbedaan usia mereka tak begitu jauh. Hanya dua tahun. Ia sudah akan memasuki 28 tahun hanya dalam beberapa hari. Urusan asmara masih beoum jelas karena belum ada restu dari mamanya. Adiknya juga membantu untuk meyakinkan mamanya. Tak semua lelaki buruk. Itu sih yang seharusnya diyakini. "Ato kalo gak, coba deh suruh bang Andrea sering-sering ke rumah. Siapa tahu mama bisa luluh." "Iya. Nanti gue suruh ke sana. Lo berhenti lah pacaran." Ia malah disoraki oleh adik semata wayangnya. Ia geleng-geleng kepala. Telepon itu dimatikan. Mungkin karena masih jam kerja. Adiknya memang sudah bekerja di kantor di Jakarta. Kebetulan lokasinya juga tak begitu jauh dari rumah. "Shaaan!" Teman satu kosnya muncul mengetuk-ngetuk lalu membuka pintu kamarnya yang memang tak terkunci. "Kenapa?" Ia menggaruk tengkuknya. "Lo tahu kan temen gue yang kemarin? Yang sering gue ceritain soleh itu." Shana mengangguk-angguk. Ia sedang merapikan meja belajarnya. "Terus?" "Dia nanyain lo. Mau gak taaruf sama dia?" "Lo kan tahu kalo--" "Nah itu. Gue bingung gimana bilangnya. Gak enak pula." "Ya bilang aja kalo gue udah ada calon gitu." Temannya mengangguk-angguk. "Ganteng sih, Shan. Yaaa calon lo juga sih," ia nyengir. Shana hanya geleng-geleng kepala. Urusan perasaan sih memang beda. Tapi ia juga sudah lama suka dengan lelaki yang menjadi calonnya meski belum resmi. "Makanya gue yang galau buat bilang kalo lo udah ada calon. Dia kayaknya tertarik pas lihat lo." Ya mungkin begitu. "Cakep sih lo aaah!" "Apaan coba?" Ia tergelak. Shana geleng-geleng kepala kalau tingkahnya jadi agak aneh begitu. @@@ "Mau sampai kapan ngelihat masa lalu, Dra?" Itu suara hatinya. Ia menarik nafas dalam. Baru saja duduk di pinggir lapangan karena lelah. Yang lain masih penuh energi bermain futsal. Ia bermain dengan Ardan, teman-teman, dan ya ada Ando juga. Mungkin karena kehadiran cowok itu yang membuatnya teringat kembali pada Farras. Ia masih down jika sudah teringat sedikit saja tentang perempuan itu. Masih perempuan yang sama yang ada di hatinya. Mau sampai kapan? Entah lah. Ia berdiri lagi karena sudah diteriaki Ardan. Akhirnya kembali masuk ke lapangan. Satu jam kemudian, ia berbaring di lapangan bersama yang lain. Tentu saja lelah. Ini sepertinya sudah jam 11 malam. "Lo balik atau gimana?" tanya Ardan. Cowok itu melempar air ke arahnya. Ia menangkap botol yang berisi air itu. Lalu meneguknya. "Balik sih kayaknya. Tadi juga gak bilang kalo mau nginep." "Anak mami lo!" Andra tertawa. Ia memamg begitu dari duli. Bukan anak berandal. Ardan juga tahu kan? Ia duduk di sampingnya. Mereka lelah sekali. "Si Ferril tadi bilang, lo hampir dibegal terus begalnya hampir mati? Lo apain?". Ia mendengus. "Gak sengaja. Dia mau bantai gue tapi gue buka pintu. Mana kejadiannya di depan sekolahan lagi." "Emang kenapa kalo di deoan sekolahan?" Ardan mendengus. Adit yang ikut duduk di dekat mereka yang malah menjawabnya. "Dia mau dikenalin sama guru SD, bro. Kejadiannya pas banget tuh di depan tuh cewek." Andra langsung menyemburkan air yang diteguknya lalu terbahak bersama Adit. Ardan mendengus. Ia apes sih iya. Ia tahu itu kok. Sudah biasa. Bukan hal aneh juga. Hahaha. "Gagal nih?" Adit mengangguk-angguk kencang sambil terbahak. "Apa gue bilang, mending lo bawa kemenyan ke mana-mana, Dan. Siapa tahu ada yang ngikutin kan." Ardan menoyor kepala Adit. Andra geleng-geleng kepala. Tawanya hilang ketika mendengar suara Ando. Cowok itu berpamitan pada semua orang termasuk dirinya. Ya ia memang tak pernah berbicara dengan Ando sih. Rasanya juga aneh. Ia entah kenapa sejak awal memang selalu menjaga jarak dengan lelaki itu. Ya membatasi diri mungkin lebih tepatnya? Dan itu dilakukan dengan sengaja. "Bang Farrel mau buka website tuh buat yang nyari calon jodoh." Ferril datang membawa informasi. Ia ikut duduk di dekat mereka. Farrel tak ikut futsal kali ini. Ya ada pekerjaan katanya. "Website apaan?" "Ya semacam situs buat taaruf gitu." "Gue udah pernah dengar deh." Ya rasa-rasanya ia pernah dengar. "Udah banyak sebetulnya. Kebanyakan dibuat sama komunitas muslim gitu. Ada juga sih yang dari ustad-ustad terkenal. Jadi situsnya lebih terpercaya. Nah, abang juga terinspirasi dari sana. Barangkali bisa bantu nyari jodoh. Yaa dan barangkali juga lo berdua mau ikutan." Ia habis ditoyor Ardan dan Andra. Ferril terbahak. Ia sih santai. Abangnya belum menikah. Ia juga masih berusaha mengejar perempuan kok. Meski susah sekali meluluhkan hatinya. Walau kabar yang berhembus justru berbeda. Karena ia malah digosipkan dengan artis sekaligus penyanyi terkenal di sini. Usai mengobrol hampir satu jam, Andra pergi membersihkan tubuhnya baru kemudian pulang bersama yang lain. Ia mengemudikan mobilnya menuju rumah dan tiba hampir jam dua pagi. Baru kemudian beristirahat. Sebelum memejamkan mata, masih sempat mengecek ponsel. Ada satu pesan yang masuk. Pesan email. Surat perjalanan dinas sudah turun. Ia sudah bisa mengurus visa setelah ini. Meski berangkatnya masih agak lama. Ya mundur karena beberapa pekerjaan di kantor. Setidaknya kesibukan ini sedikit menghilangkan pikirannya tentang Farras. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN