Di Madu?!

1159 Kata
Berada dalam satu mobil dengan keheningan yang menyelimuti, menghadirkan suasana yang awkword. Pagi ini, Juna membawa Jihan menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka. Awalnya, Santi menolak permintaan Juna untuk membawa Jihan pergi, namun setelah diberi pengertian oleh Erwin akhirnya Santi memberi izin. Juna tahu, pasti tinggal berdua dalam satu rumah bersama Jihan akan menghadirkan suasana asing dan canggung. Tapi Juna cukup tahu diri, saat ini ia bukan lagi pemuda lajang, ia mempunyai tanggung jawab besar atas Jihan. Dari sini juga, ia dan Jihan akan mulai menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Seperti yang Jihan katakan tadi pagi, apa yang sudah ada dalam genggamannya tidak akan dilepaskan. Dan dengan menikahi seorang perempuan, itu artinya Juna sudah siap untuk menjadi seorang suami. Juna melirik Jihan sekilas yang sedang anteng menatap jalanan. "Sebelum ke rumah, kita pergi ke minimarket dulu, membeli segala kebutuhan untuk di rumah nanti," ucap Juna membuka suara. Jihan menoleh, menatap Juna yang tampak fokus mengemudi. "Iya, Mas." Setelah itu, tidak ada lagi obrolan yang terdengar. Sampai pada akhirnya, mobil Juna terhenti di depan minimarket. Pasangan suami istri itu segera keluar dari mobil dan melangkah memasuki minimarket. Juna mengikuti langkah Jihan dari belakang sambil mendorong troli belanjaan. Sebenarnya ia malas dan juga malu, tapi daripada Jihan yang harus mendorongnya, lalu nanti Juna dicap sebagai suami yang tak punya hati, lebih baik Juna menahan rasa malunya. Jihan memasukkan beberapa sayuran ke dalam troli, lalu mengambil daging sapi dan juga ayam. Setelah merasa cukup, langkahnya terayun ke tempat buah-buahan. "Mas Juna mau beli buah apa?" Jihan bertanya sambil mengedarkan pandangan, menatap buah-buahan segar di depan matanya. "Terserah," jawab Juna segera. Jihan menoleh sekilas pada suaminya, lalu mengambil buah anggur. "Oh, oke." "Tapi jangan anggur," cegah Juna segera saat Jihan hendak menyimpan anggur ke dalam troli. Jihan menghentikan gerak tangannya, menatap Juna dengan alis terangkat sebelah. "Mas Juna gak suka anggur?" "Hm." Jihan menganggukan kepala, menyimpan kembali anggur lalu beralih mengambil buah pir. "Jangan pir juga." Jihan ternganga. "Lalu Mas Juna mau buah apa?" Juna memalingkan wajah ke arah lain. "Terserah. Tapi jangan anggur dan pir," jawabnya dengan tampang datar. "Ya udah, kita beli apel aja gimana? Atau Mas Juna juga mau semangka? Lengkeng? Pisang mungkin?" "Gue bilang terserah. Apapun itu, asal jangan anggur sama pir." Jihan menghembuskan napas panjang, lalu menganggukan kepala beberapa kali. Setelah mendapatkan apa yang menurut Jihan perlukan untuk di rumah, mereka menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Dua kantong belanjaan berukuran sedang dibawa oleh Juna keluar dari dalam minimarket. Memasukkannya ke dalam mobil dan mulai melajukan kendaraan beroda empat itu menuju rumah. "Kenapa Mas gak suka sama buah anggur sama pir? Padahal enak lho, Mas." Juna mengangkat bahu acuh sebagai tanggapan atas pertanyaan Jihan. Tidak ingin merusak mood suaminya, Jihan memilih untuk diam sampai mereka tiba di pekarangan rumah minimalis yang akan menjadi tempat tinggal mereka. "Masyaallah, rumahnya bagus banget." Jihan langsung dibuat terpesona dengan rumah bergaya minimalis yang di d******i warna putih. Terlihat mewah dan elegan. "Ayo masuk." Jihan mengangguk. Mengikuti langkah Juna masuk ke dalam rumah tersebut. Juna memang sengaja tidak memilih rumah yang besar seperti rumah orang tuanya. Agar lebih nyaman saja, mengingat mereka hanya tinggal berdua. Juna mendudukan tubuhnya di meja makan, di ikuti oleh Jihan yang masih mengagumi setiap sudut rumah baru nya. "Lo bisa masak?" Juna bertanya. "Bisa, Mas. Di panti, Jihan biasa bantuin Bunda siapkan makanan untuk keluarga panti. Mas juga gak usah khawatir, Jihan bukan perempuan manja yang gak mau beres-beres rumah. Jihan udah biasa juga ngelakuin itu." Juna mengangguk-anggukan kepala. "Bagus lah kalau begitu. Gue suka sama perempuan yang mandiri," ucapnya tanpa sadar. Membuat bibir Jihan mengulas senyum. "Berarti Mas Juna juga suka Jihan dong?" tanyanya, malu-malu. Juna terbelalak kaget, ia mengerjapkan mata beberapa kali, jelas sekali kalau Juna salah tingkah. Jihan terkekeh pelan. Kemudian ia bangun dari posisi duduk. Meraih dua kantong plastik belanjaan itu yang ada di atas meja. "Jihan mau beresin ini dulu ya, Mas." Mendapatkan anggukan dari Juna, gadis itu segera melangkah untuk membereskan belanjaannya di dapur. Ting nong! Ting nong! Suara bel terdengar, Juna hendak beranjak menuju pintu utama rumah. Namun, suara Jihan terdengar mencegah. "Biar Jihan aja yang ke depan, Mas." Jihan hendak melangkah, namun Juna melarangnya. "Gak usah, gue aja." Kemudian Juna melangkah pergi, Jihan menghela napas dan kembali ke dapur. Tak lama kemudian, Juna masuk ke dapur dengan diiringi oleh seorang wanita kisaran berusia empat puluh tahun. Jihan mengeritkan dahi. "Siapa Ibu ini, Mas?" "Perkenalkan, saya Inem, Nona." Wanita itu tersenyum ramah, memperkenalkan diri. "Bi Inem ini yang akan membantu mengerjakan pekerjaan rumah di sini," jelas Juna. "Tapi beliau hanya akan bekerja dari subuh sampai magrib." Jihan mengangguk mengerti. Lalu ia diminta oleh Juna untuk beranjak dari dapur. "Ayo ikut gue," ucapnya. Jihan mengangguk, lalu tersenyum pada Wanti. "Jihan permisi ya, Bi." "Silahkan, Non." Jihan menarik ujung jaket belakang Juna, membuat langkah laki-laki itu terhenti lalu memutar tubuh menatap Jihan dengan dahi mengerit. "Kenapa?" "Kenapa Mas repot-repot memperkerjakan asisten rumah tangga? Jihan kan udah bilang tadi, kalau Jihan biasa bantu-bantu Bunda di panti. Mas jangan khawtir kalau masakan Jihan gak enak, atau---," ucapan gadis itu terhenti saat tiba-tiba Juna memotong pembicaraannya. "Gue nikahin lo bukan buat dijadikan pembantu. Lo istri gue, Jihan. Bukan pembantu gue. Apalagi lo masih kuliah kan? Gue gak mau lo jadi kecapean nanti dan gak fokus sama kuliahnya," ujar Juna. Jihan terpaku. Mata nya mengerjap beberapa kali. Debaran jantung semakin cepat Jihan rasakan. Seperti ada ribuan lebah yang sedang memproduksi madu dalam hatinya. Melihat gadis itu mengulum senyum malu dan rona merah menghiasi kedua pipinya, Juna menjadi salah tingkah. Ia sendiri tidak sadar kalau bisa mengatakan itu begitu lancar pada Jihan. Ah, pasti gadis itu sedang besar kepala sekarang. "Lo jangan kegeeran. Gue cuma gak mau punya istri mahasiswi abadi. Bikin malu aja. Mau ditaro dimana muka gue nanti? Istri dari seorang wakil presdir perusahaan besar, menjadi mahasiswi abadi." Bagai sudah dibawa terbang setinggi mungkin, lalu di hempaskan ke dasar laut. Jihan mengembungkan pipi. "Iya, Mas. Jihan paham kok. Jihan janji gak akan jadi mahasiswi abadi dan gak akan mempermalukan Mas Juna," ucapnya. DDRRRTTTT DDRRRTTTT Panggilan masuk dari ponsel Juna, ia segera meronggoh saku jaket dan mengeluarkan benda persegi panjang canggih itu. Jihan mencoba mengintip siapa yang menghubungi suaminya. Menyadari itu, Juna segera menutupinya. "Mau ngapain?" Jihan menyengir lebar. "Gak mau ngapa-ngapain." Juna memutar tubuh, mengangkat panggilan masuk itu sambil melangkah pergi. "Ya, halo Rhea." Jihan terbelalak mendengarnya. "Rhea? Siapa Rhea? Apa dia kekasih Mas Juna yang gak di restui sama orang tua Mas Juna?" Pikiran Jihan bercabang kemana-mana. Ia tidak bisa berpikir jernih. Jangan katakan, kalau ia menikah hanya untuk disakiti oleh Juna. Tidak! Jihan tidak mau menjadi korban dalam rumah tangga. Menjadi istri yang tersakiti adalah mimpi yang paling buruk. Terbayang dalam pikiran Jihan, kalau sampai ia menjadi seorang pemeran dalam sebuah sinetron istri yang tersakiti. Mengerikan! Jihan tidak mau kalau sampai di duakan oleh Juna. Walau cinta belum hadir, tapi Jihan tidak ingin sampai itu terjadi. "MAS JUNA! JIHAN GAK MAU DIMADU!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN