Part 5. Dua Pilihan Sulit

1921 Kata
Keesokan harinya... Aditya bangun dari tidur lelapnya karena mendengar suara isak tangis seorang wanita yang begitu mengganggunya. Perlahan ia membuka matanya dan bangkit dari posisi berbaringnya. Dia melihat ke samping kanan kirinya tapi tidak menemukan siapa-siapa. Aditya terlihat menguap dan meregangkan tubuhnya sebentar di sana tapi, tak lama setelahnya matanya langsung terbuka lebar saat dia ingat dimana dia semalam dan sedang bersama siapa dia. "Aliyah..." desis Aditya setelah melihat bercak merah darah pada seprei tanda jika semalam keduanya sudah melakukan hubungan terlarang itu. Aditya mengumpat kesal karena merasa bersalah. Ya. Itu adalah salahnya. Dia mengaku akan hal itu. Dia melakukannya pada Aliyah yang semalam tidak sadarkan diri. Betapa teganya dia. Aditya berjalan menuju kamar mandi dan suara isak tangis Aliyah semakin keras terdengar. "Al... buka pintunya, Bi. Aku bisa jelasin. Al..." Pintu kamar mandi tidak bisa dibuka yang berarti jika Aliyah sengaja menguncinya dari dalam. Aditya terus berusaha berulang kali mengetuk pintu dan membujuk Aliyah untuk keluar dari sana. "Al... maaf. Mas khilaf, Al. Keluar dulu, yuk. Mas jelasin semuanya," ucap Aditya tak berhenti berusaha untuk membuat Aliyah keluar dari kamar mandi itu. Sudah hampir 30 menit Aliyah di dalam sana dan Aditya menjadi khawatir. Takut jika terjadi sesuatu pada wanitanya di dalam sana tapi, Cklek Pintu kamar mandi itu terbuka dan Aliyah terlihat berjalan keluar dari sana dengan melewatinya begitu saja. "Al... dengerin dulu Mas ngomong," ucap Aditya berusaha meraih tangan Aliyah agar wanita itu tidak terus menghindarinya seperti itu. "Kalo kamu lari terus kayak gini, salah pahamnya akan terus berlanjut. Kamu yakin gak mau kasih aku kesempatan ngomong buat ngejelasin semuanya sekarang?" ucap Aditya lagi dan lagi berusaha membuat Aliyah mau mendengarnya bicara meski hanya sebentar saja. "Lepasin! Mau jelasin apalagi kamu? Ga ada satu pun alasan yang bisa membenarkan perbuatan kamu itu, Bi. Kamu mau ngomong apalagi? Jelasin apalagi? Mau dijelasin kayak gimana pun semuanya udah kejadian, 'kan?" ucap Aliyah terlihat marah disela tangisnya itu membuat Aditya merasa semakin bersalah. "Bi, denger. Maafin aku. Maaf. Semalam sebenernya aku ga ada niatan buruk sedikit pun sama kamu. Tapi temen-teman ngasih aku roti sama minuman ini. Liat. Aku ga tau kalo mereka semalem campurin sesuatu di minumannya. Nih kalo ga percaya. Pesan dari Fadli ke aku nih," ucap Aditya kemudian menunjukkan isi ponselnya pada Aliyah. Dan bukannya bisa membuat Aliyah tenang setelah melihatnya, wanita cantik itu malah semakin menangis histeris. "Jadi kamu mau bilang kalo semalem tuh sebenernya bukan salah kamu? Kamu mau bikin aku mikir kalo semua yang udah kejadian tuh cuma gara-gara kesalahan yang gak sengaja? Kalo sampe ada apa-apa sama aku, jadi kamu gak mau tanggung jawab? Gitu? Kalo sampe aku hamil gimana? Kamu mau lepas tangan gitu aja?" ucap Aliyah dengan air mata yang masih deras mengalir membuat Aditya merasa tidak tega langsung membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Nggak gitu, Sayang. Nggak. Aku pasti bakal tanggung jawab. Aku ga akan ke mana-mana. Aku sayang sama kamu dan kita udah tunangan. Jadi jangan mikir kalo aku bakal lepas tangan gitu aja. Maaf karena aku ga bisa jaga kamu. Maaf karena aku ga bisa kontrol diri. Maaf, Bi. Maaf," ucap Aditya kemudian berulang kali menciumi puncak kepala Aliyah yang saat ini tengah dipeluknya erat itu. "Kamu jahat banget, Bi. Kamu jahat. Gimana aku nanti ngomongnya sama Ibu sama Ayah? Mereka pasti bakal benci banget sama aku kalo tahu semuanya, Bi," ucap Aliyah beberapa kali memukul d**a Aditya keras karena merasa kecewa dan marah. "Sementara ini jangan kasih tahu siapa-sģgiapa dulu tentang kejadian ini, Bi. Cukup kita doang aja yang tahu. Karena aku ga mau kamu nanggung malu karena kesalahanku ini. Sekali lagi maaf ya, Bi," ucap Aditya membuat Aliyah di sana menjadi kembali menangis namun kini tanpa suara. Entahlah. Aliyah merasa bingung dan lelah sekali sekarang. Dia ingin pulang. "Aku mau pulang, sekarang," ucap Aliyah pelan membuat Aditya mengangguk cepat di sana. "Yaudah, ayok pulang," ucap Aditya kemudian memakai kemeja begitu juga jasnya kembali dan merapikan penampilannya sedikit sebelum akhirnya mengambil kunci mobilnya. "Ayok kita pulang, sekarang. Sini kubawain tasnya," ucap Aditya terlihat perhatian kemudian membantu Aliyah yang tengah duduk di ranjang itu untuk berdiri. "Sini biar aku bawa sendiri. Malu tau. Aku juga bukan orang sakit, kok," ucap Aliyah mengambil tasnya dari tangan Aditya dan kemudian berjalan duluan keluar dari kamar hotel itu meninggalkan Aditya di sana karena mungkin masih merasa marah pada pria itu. Aditya menghela nafas panjangnya melihat sikap Aliyah yang seperti itu. Ya. Kesalahan yang dibuatnya kali ini memang sudah sangat fatal. Aditya sekarang hanya bisa menunggu dan berharap Aliyah akan segera memaafkannya. "Dia tidak akan bisa memaafkanku semudah itu," ucap Aditya kemudian menyusul Aliyah keluar dengan cepat. Sementara itu Aliyah sendiri saat ini tengah berjalan pelan melewati koridor hotel itu dengan begitu percaya diri, meski dia tidak tahu ke mana arah lobinya. Sebenarnya dibalik rasa percaya diri itu, Aliyah berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit perutnya dan juga tubuhnya yang terasa lemas karena sejak semalam dia belum makan apa-apa. "Aassshh..." desis Aliyah saat kini bukan hanya perutnya saja yang terasa sakit melainkan kepalanya yang juga terasa pusing. Aliyah meraba ke sekelilingnya berusaha mencari tumpuan untuk bersandar sebentar karena merasa ingin jatuh tapi, kepalanya terasa begitu sakit membuat wanita itu tanpa sadar kehilangan keseimbangannya dan, "Apa kau tidak apa-apa, Nona?" Aliyah masih bisa mendengar suara orang yang menyelamatkannya dengan menangkap tubuhnya tepat waktu. Jika tidak, mungkin saja tubuh Aliyah sekarang sudah ambruk jatuh ke lantai. Merasa sudah dibantu, tentu saja Aliyah berniat berucap terima kasih tapi, "Biar aku saja. Terima kasih atas pertolongan Anda. Permisi," ucap Aditya yang langsung mengambil alih tubuh Aliyah dari orang yang menolongnya tadi. "Ayo kita pulang, Sayang," ucap Aditya pada Aliyah sebelum akhirnya membawa wanita cantik itu pergi bersamanya dari sana. Pria yang menolong Aliyah tadi terlihat menatap kepergian kedua orang itu dengan kerutan yang tercipta di dahinya. Pria itu terlihat penasaran juga merasa kebingungan di saat yang bersamaan. "Sepertinya aku pernah melihat dan mengenal wanita itu. Siapa dia, ya?" ucap pria itu terlihat berpikir keras berusaha mengingat wajah wanita yang sudah ditolongnya tadi. "Pak Sakti, Anda sudah ditunggu di ruang meeting," ucap seorang staf hotel menegur pria itu, membuat pria yang tadi hanya berdiri diam di sana langsung bergegas pergi. "Sudahlah, aku tidak peduli," • • • • • "Ini minum dulu. Kamu belum makan, 'kan? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?" ucap Aditya saat kini mereka berdua sudah berada di dalam mobil yang masih terparkir di tempat parkir hotel itu. Ditanya seperti itu sebenarnya Aliyah ingin menjawab tapi, dia sengaja memilih diam saja untuk menunjukkan jika dia masih marah pada Aditya. "Yaudah. Kita cari makan," ucap Aditya yang akhirnya memutuskan sepihak karena Aliyah terlihat tidak berniat sama sekali untuk menjawabnya. Aditya mulai melajukan mobilnya pergi dari area hotel itu dan tujuannya saat ini adalah mencari restoran terdekat untuk keduanya singgah dan makan di sana sebentar. "Bi..." panggil Aditya lirih sambil terlihat berusaha menggenggam tangan Aliyah dengan tangan kirinya yang bebas tapi Aliyah sengaja menghindar. Entahlah. Aliyah merasa Aditya yang ada di dekatnya itu bukan lagi pria yang sama yang sedari dulu berusaha dengan keras menjaga kehormatannya. Aliyah marah dan kecewa saat tahu jika kini pria itu sudah berubah dan bahkan melakukan sesuatu hal yang tentu saja tidak bisa dimaafkan begitu saja. Kebanggaannya sebagai seorang wanita, kehormatannya, kesuciannya, Aditya telah mengambil semua itu darinya dengan memanfaatkan ketidak berdayaannya semalam. Kini, menatap wajah pria itu saja rasanya Aliyah merasa ingin marah dan ada sepercik rasa kesal juga benci di dalam hatinya untuk pria itu. Bagaimana dia akan menghadapi Aditya kedepannya nanti? Sanggupkah dia bersikap sama seperti sebelumnya kepada pria itu? 'Ini juga adalah salahku. Kenapa aku bisa minum-minum dan tidak bisa mengontrol diriku? Kenapa aku mencoba minuman laknat itu dan membuat semua ini terjadi? Mungkinkah Tuhan murka padaku karena aku sudah berani meminum minuman yang dikatakan haram itu? Mungkinkah semua ini hukuman karena aku lalai dan tidak bisa menahan diri dari apa yang buruk bagiku? Kumohon maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku,' batin Aliyah dalam hati. "Ayok turun, Bi," ucap Aditya membuat Aliyah yang sedari tadi melamun tersadar dan tak tahu jika ternyata mereka sudah sampai di sebuah restoran. Aliyah menurut dan turun dari mobil. Dia terlihat masih lemas dan gontai membuat Aditya dengan sigap langsung berjalan ke arahnya dan siap untuk menjadi penuntunnya berjalan ke dalam restoran. "Aku bisa kok. Minggir ih," ucap Aliyah menolak bantuan Aditya itu tapi pria itu tak menyerah begitu saja. "Nanti kalo udah makan dan kuat lagi aku ga bakal bantuin lagi kok. Sementara ini, terima aja bantuanku ya, Bi. Ati-ati," ucap Aditya terlihat begitu perhatian pada Aliyah membuat wanita cantik itu akhirnya diam saja dan membiarkan Aditya membantunya. "Aku mau ke toilet dulu," ucap Aliyah saat keduanya sudah berada di dalam restoran membuat Aditya pun langsung menawarkan bantuan lagi dan lagi. "Mau kuanter?" Mendengar itu Aliyah hanya menatap datar Aditya dan kemudian menunjuk ke arah toilet yang terletak tak jauh di depan mereka itu membuat Aditya langsung cengengesan dan mengerti jika apa yang dilakukannya itu sudah berlebihan. "Yaudah. Kamu pergi aja nanti aku pesenin makanannya," ucap Aditya yang sebenarnya sedikit terlambat karena Aliyah sudah berjalan pergi menjauhinya. Lagi-lagi Aditya hanya bisa menghela nafas panjangnya melihat sikap Aliyah yang dingin padanya itu. Sementara itu, Aliyah sendiri sebenarnya beralasan saja ingin ke toilet karena dia tidak mau bersama terlalu lama dengan Aditya. Dia benar-benar ingin pulang dana mengunci dirinya di kamar sekarang. Dia ingin bersembunyi dan menghilang. Seolah dia terlalu malu menghadapi orang-orang dengan kondisinya yang sudah tidak sama lagi seperti dulu. Memikirkan semua itu rasanya Aliyah ingin kembali menangis. "Eh lo masih inget Sari, 'kan? Beritanya dia hamil di luar nikah loh. Terus keluarga pacarnya ga ada pilihan lain selain nikahin mereka berdua. Miris banget, ya?" "Padahal si Sari dulu kalem, adem, terus pendiem lagi. Pokoknya jauh lah dari tampilan nakal kayak kita gini. Ya, 'kan? Kasihan banget. Coba dia gaul sama kita, pasti tahu gimana caranya biar ga hamil pas udah lakuin begituan. Hahaha..." "Iya. Dia kelewat polos sih. Udah yuk. Jangan ngomongin dia, lagi. Udah laper nih," Aliyah yang mendengar percakapan diluar itu seolah merasa dirinya harus bersiap mendengar semua omongan-omongan buruk yang serupa dengan apa yang baru saja didengarnya itu nanti. Aliyah memutuskan keluar dari bilik toilet dan berlanjut mencuci tangannya di wastafel. Ya. Dia tadi sengaja masuk dan duduk di closet sebentar berharap dia dapat menjernihkan pikirannya di sana tapi ternyata malah membuat pikirannya menjadi lebih kacau karena tidak sengaja mendengar semua itu tadi. Aliyah menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya tanpa sadar tergerak menyentuh perutnya sendiri. 'Coba dia gaul sama kita, pasti tahu gimana caranya biar ga hamil pas udah lakuin begituan,' 'Terus-terus ibu mertua aku yang tadinya ga begitu suka sama aku, sejak aku hamil dia kayak berubah juga,' Ucapan-ucapan itu terus terngiang dan berputar di dalam benak Aliyah untuk beberapa saat. Wanita itu terlihat bingung apa yang harus dilakukannya setelah ini. Jika memang ada cara untuk mencegah kehamilan itu terjadi, apakah Aliyah bisa melakukan cara itu dan dengan begitu dia bisa mengubur rahasia itu bersamanya sampai mati atau mungkin justru sebaliknya. Jika dia nanti memang benar-benar hamil, dia akan membiarkan anak itu tumbuh untuk dijadikannya sebagai alasan agar dia dan Aditya bisa menikah saat itu juga? Mana yang benar? Yang mana yang merupakan pilihan yang terbaik? 'Semua pilihan itu mengandung dosa. Pilihan pertama aku akan membohongi banyak sekali orang dengan bersikap semuanya baik-baik saja, meski nyatanya tidak. Dan juga pilihan kedua, aku akan membuat malu keluargaku dengan membuat mereka menanggung aib atas perbuatan penuh dosa yang kulakukan ini. Aku harus bagaimana sekarang? Siapa yang bisa kumintai pertolongan dan kuajak berbagi tentang masalahku ini?' Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN