Setelah kejadian itu kata 'benci' tidak cukup menggambarkan perasaan Xander pada Gisha. Bahkan saat melihat wajah cantik itu saja dia seolah memiliki dendam lain dalam hati, yang tidak mungkin diwujudkan karena berdasarkan cerita dari Ibel jika semua itu bukan kesalahan Gisha. Tetapi Xander akan tetap membebankan tuduhan itu berdasarkan kata yang pernah diucapkan pada Gisha, jika Ibel haru dijaga pada saat itu.
Xander memang sudah memahami bagaimana tingkah putrinya yang sangat aktif. Ibel yang tidak ingin berhenti jika ada sesuatu yang belum dia tahu, Xander selalu khawatir ketika Ibel berada di tempat baru. "Ibel, ini. Pakai bajunya!"
"Bentar Papa, mau pakein baju Dona dulu." Ibel beralasan, karena boneka tangannya itu baru saja dibersihkan.
Xander mencoba sabar jika menghadapi sikap Ibel, dua menunggu hingga beberapa menit lamanya. "Ibel, Papa ada kerjaan jadi buruan pakai bajunya Nak!"
"Bentar Papa."
Sikap itu hanya bisa menyalahkan keadaan karena Xander tidak mengikutsertakan Iska ke Bali, hal itu adalah larangan Nathan. "Ayo dong Ibel, pakai bajunya! Kamu nanti keinginan!"
Kebiasaan yang sudah menjadi kegiatan Xander ketika di rumah, dia akan memanjakan putrinya dan meluangkan waktu sebanyak mungkin bersama Ibel. Termasuk saat Ibel mandi, dia akan dibuat keteteran dalam mengurus Ibel. Sendirian.
Ketika mencoba menunggu, Xander menemukan Gisha yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ibel. Wajah itu seakan mengajaknya berkomunikasi tetapi Xander tidak memperdulikan itu, dia menghampiri Ibel yang masih saja sibuk dengan boneka.
"Udah, pakai dulu bajunya abis itu Papa gantiin pakaian Dona ya!" jawab Xander pelan, tetapi justru Ibel menggeleng cepat.
"Biar… Aku aja yang ganti baju Ibel," jarak Gisha hanya beberapa meter, dia tidak berani mendekat ke arah Xander. "Nggak apa-apa kok."
Xander seketika berdiri, dia menatap Gisha sekilas lalu meletakkan baju Ibel di atas tempat tidur. Dia pergi tanpa memberikan kata-kata lain, baginya tidaklah penting berbicara dengan wanita itu.
Kemudian Gisha segera mengambil baju Ibel. "Sayang, kamu mau liat hasil gambar kemarin di ponsel Mama nggak? Bagus loh, tapi… Ibel pakai pakaian dulu ya!"
Pusat perhatian Ibel mengarah ke wajah Gisha. "Beneran? Wah asyik, iya aku mau pakai baju."
Situasi ini didengar oleh Xander yang hendak keluar, dia pun tertarik untuk menoleh. Dan benar saja, Ibel langsung merenggut baju dari tangan Gisha dan mencoba memakainya sendiri. Apa? Bagaimana bisa? Sedang Xander selalu bersusah payah merayu putrinya.
Sial. Rutuk Xander dalam hati, dia sengaja menunggu untuk tahu bagaimana hasil dari rayuan Gisha. Seperti yang dilihat, Ibel terlihat mandiri mengenakan pakaian dan bukan hanya itu. Saat Gisha hendak menata rambut, Ibel hanya diam dan berbicara tidak jelas. Hal itu membuat Xander merasa lemah saat berpikir, tapi sudahlah. Xander keluar dari kamar karena malas mengakui keadaan ini.
Setelah dirasa selesai merayu Ibel, Gisha menyelesaikan tugas mendandani rambut Ibel. Memakaikan pita ke rambut panjang Ibel, dengan tatanan rambut yang bagus dan rapi. "Udah, siap liat fotonya sekarang? Tapi di kamar aja ya!"
Ibel menoleh dan terlihat bersemangat. "Iya, liat sekarang Ma!"
"Siap Bos." Gisha mengambil ponselnya di saku celana, kemudian mencari gambar-gambar yang tersimpan.
Terlihat bocah cantik itu tertawa geli, antara gemas dan senang dengan pemandangan kemarin. Ditambah, tangan Gisha tidak berhenti membuat tawa Ibel menjadi-jadi. Hal tersebut memang terdengar hingga lantai dasar, semua itu dikarenakan pintu kamar terbuka lebar. Gisha enggan menghentikan aksi itu sampai akhirnya Ibel memperlihatkan foto Xander yang duduk sendirian.
"Mama, kenapa sih Papa suka menyendiri?" tanya Ibel membelai foto ayahnya.
Gisha memikirkan jawaban yang pas untuk Ibel, dia tidak tahu harus seperti apa. "Nggak kok sayang, Papa cuma butuh waktu sendiri kalau banyak kerjaan."
"Masa sih? Ibel pernah denger Papa marah-marah di telepon, sebut nama Mama Adhisti juga." wajah Ibel nanar, rupanya bocah itu bisa menangkap semua yang dilihatnya.
Kali ini Gisha tidak mempunyai cara memberikan jawaban yang tepat, dia hanya mengalihkan perhatian Ibel pada boneka tangan bernama Dona. Kemudian Gisha memerankan sosok centil Dona dengan suara khas, hal itu membuat Ibel lupa akan pertanyaannya barusan.
Kesenangan itu terus berlanjut sampai akhirnya jam makan siang datang, Gisha segera turun ke dapur untuk menyiapkan makanan. Tetapi, malang nasibnya harus bertemu Xander di sana. Gisha bingung harus bagaimana, atas kesalahan yang tidak pernah dilakukan membuatnya berada dalam keadaan sulit.
Tanpa sepatah kata pun, Gisha hanya mengambil bahan-bahan masakan yang tersimpan di kulkas. Xander tidak menyadari kedatangannya, pria itu sibuk dengan sebuah panggilan saja. Gisha tetap melanjutkan kegiatan hari ini, kemudian dia mendengar pecahan gelas ketika Xander begitu kasar meletakkannya ke meja.
"Aku udah pernah bilang kan? Jangan sampai kehilangan jejak wanita b******k itu! Aku cuma mau dia pulang karena Ibel merindukan ibunya." jawab lantang Xander merasa amarahnya telah memuncak.
"Cari dia, kalau perlu habisi laki-laki b******k itu!" bentak Xander kali mengepalkan tangan, dia menoleh dan tepat ke arah Gisha.
Apa yang terdengar seperti sesuatu yang membuat Gisha gemetaran. Dia tetap mengupas sayur-sayuran, meski Xander telah mengakhiri panggilan itu tetapi Gisha masih saja merasakan takut, dia tidak memiliki nyali untuk menatap Xander.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Xander di mana itu berhasil membuat Gisha terkejut.
"Aku… Lagi masak, mau siapin makanan buat… Ibel." jawab Gisha dengan suara gugup.
Xander menghela napas panjang karena baru saja ucapannya dengan salah satu teman terdengar oleh Gisha. Walau tidak memperdulikan itu, tetapi Xander dengan kehadiran Gisha secara tiba-tiba. "Di sini kan ada tukang masak, kenapa kamu yang ke sini? Lagian aku udah melarang orang lain buat ada di dekatku kalau aku lagi sibuk!"
"Maaf, tapi aku nggak tau kalau… Anda sedang sibuk, aku pikir…," rupanya tangan Gisha tidak dapat mengatur keadaan, dia terlalu gugup dan menjatuhkan pisau ke lantai.
Napas Gisha tak beraturan ketika Xander yang mengambil pisau, pria itu mendekat dan jarak mereka kini hanya beberapa centimeter saja. Gisha pun menjaga jarak, tetapi dinding membuatnya tak bisa berkutik. Kemudian Xander meletakkan pisau itu di meja.
"Lain kali harus jaga sikap, sejak aku kenal sama kamu hidupku jadi berantakan dan selalu aja kamu ini bertingkah seperti mata-mata." ucap Xander dengan nada suara menahan kemarahan.
"Aku bukan mata-mata kok," Gisha mencoba menjauhkan tubuh besar itu darinya. Dia seketika berlari dan meninggalkan tugas hari ini.
Gisha dapat bernapas tenang saat Xander tidak mengejarnya, kemudian dia berlari ke kamar Ibel. Gisha menemukan anak tirinya tertidur, dia merasa tidak tega. Dan hanya melindungi tubuh itu dari selimut tebal, Gisha membelai ujung kepala Ibel. Dari wajah cantik khas keturunan itu membuatnya teringat akan anak-anak di tempatnya bekerja.
"Anak baik, anak cantiknya Mama Gisha. Kamu pasti bisa melalui semua ini, Mama kamu juga pasti kangen sayang. Tapi mungkin… Mama Adhisti belum ada waktu yang tepat buat nemuin Ibel. Sabar ya!" bisik Gisha mengecup kening Ibel.
Jam makan siang tertunda, Gisha gagal membuatkan menu untuk Ibel kali ini karena Xander lebih dulu membuatnya lemas. "Sial bapak-bapak satu itu, dia lebih mengerikan dari pria galak biasa ternyata."
Tidak ingin mengingat situasi itu lagi, Gisha akhirnya keluar dari kamar Ibel dan mencari hiburan lain. Saat berada di ruang santai, dia baru teringat ponselnya ada di dalam kamar. Gisha kembali lagi, dan tanpa basa-basi membuka pintu kamar Ibel. Namun, betapa sial memang sejak pernikahan ini terjadi. Gisha bertemu dengan Xander lagi yang sedang sibuk dengan laptopnya.
Keduanya sempat saling menatap, tetapi Xander menahan napas mendapati itu semua. "Sekarang apa lagi?"
"Aku cuma mau ambil ponselku di sana!" jawab Gisha menunjuk ke sisi tubuh Ibel.
Memang di samping Ibel terdapat ponsel, Xander pun memberikan isyarat agar Gisha cepat mengambil lalu keluar dari kamar anaknya. Xander hampir saja menjatuhkan amarah ke wanita itu, tetapi melihat Gisha yang saat di dapur membuatnya tidak tega.
Kenapa? Gisha mengepalkan tangan, dia selalu ditimpa sebuah masalah jika di dekat Xander. "Tau gitu aku nggak usah ambil ponselnya di dalem kalau harus ketemu duda busuk itu."
"Siapa duda busuk hah?"
Gisha terbelalak. Dia berlari ke kamarnya setelah mendengar teguran Xander dari dalam, jantungnya kembali berpacu seperti menghadapi adrenalin. Gisha pun menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Hari yang melelahkan. Tempat yang dikelilingi panorama indah kini bak menjadi hunian dengan para setan di dalamnya.
[...]
Dalam sehari berada di Bali, Gisha sudah melalui banyak sekali kegelisahan setiap bertemu Xander. Pria itu seperti psikopat. Perawakannya memang mempesona dengan gaya yang selalu formal menunjukkan betapa Xander sangat profesional. Tetapi tidak bagi Gisha saat mengetahui Xander sedang merencanakan sesuatu jahat pada mantan istrinya.
Gisha selalu mencoba melupakan hal itu, dia tidak lagi menggubris segala urusan Xander mengenai Adhisti. "Ah bodo, itu bukan urusanku."
Hari yang tidak ada kegiatan karena Ibel sedang keluar bersama ayahnya, Gisha pun memilih sibuk menata tanaman yang ada di halaman belakang vila. Dia tidak menyangka jika ada pemandangan sehebat itu, karena pada pintu belakang mengarah langsung ke panorama persawahan.
"Kalau tau di sini ada pemandangan yang oke kenapa harus jauh-jauh?" gumam Gisha pada diri sendiri.
Setelah asyik menata pot yang bergantung, barulah Gisha memberinya pupuk. Di sana telah tersedia semua jenis pupuk agar tanaman dan bunga-bunga tampak indah, setiap hari tempat itu diurus. "Bagus banget bunga di sini. Aku betah kalau harus lama-lama di sini, tapi nggak sama duda busuk itu."
Saat sedang melamun bagaimana tempat yang pas untuk menata bunga matahari, Gisha mendengar suara mobil dari halaman depan. Duda busuk. Pekiknya dalam hati menerka siapa yang datang. "Udah ah, aku di sini aja. Lebih menyenangkan."
Baru saja Gisha akan mengangkat pot berisi bibit bunga matahari, teriakan Ibel memanggilnya. Awalnya Gisha tidak peduli, tetapi suara itu semakin sering dan keras. Akhirnya Gisha menuju ke halaman depan, dan dia mendapati Ibel berlari ke arahnya sambil menenteng buket bunga mawar.
"Mama, liat deh aku bawa apa?" tanya Ibel dengan wajah genit.
"Bawa… Bunga mawar, cantik banget mirip kamu." jawab Gisha sambil membelai pipi Ibel.
"Nih, buat Mama dari Papa. Katanya Papa malu mau ngasih ke Mama." ucap Ibel lagi-lagi tersenyum manis.
Bukan hanya Gisha saja yang terkejut, bahkan Xander membulatkan mata mendengar hal itu. "Bukan!"
"Ih Papa, kenapa harus bohong? Nggak boleh Pa!" jawab Ibel mengarahkan jari telunjuknya.
Xander mendengus kesal mengapa dia harus menuruti Ibel untuk membeli bunga, tetapi tujuan itu lain dan membuat Xander pergi begitu saja. Dia tidak ingin dianggap demikian, pria yang genit dengan wanita baru dikenal nya atas perjodohan gila Nathan.
"Terima kasih ya sayang, bunganya bagus." Gisha menerima buket bunga itu dengan senang hati.
"Ucapin terima kasih sama Papa dong!" bisik Ibel memprovokasi.
Mendengar itu Xander langsung menoleh ke arah Gisha. "Nggak perlu! Anggap itu hadiah buatmu, dan jangan tanya apa-apa lagi!"
Gisha mengangguk pelan, dia tersenyum untuk Ibel agar gadis kecil itu tidak memiliki dugaan lain. Walau sikap kasar Xander sempat muncul, nyatanya Gisha berhasil membuat Ibel melupakan hal tersebut. Mereka kemudian masuk ke dalam, sambil mencari vas yang pas untuk diisi bunga mawar di pelukan.
Masih merasa penasaran dengan apa yang dikatakan Ibel, akhirnya Gisha mencoba mendekati anak itu dan berkata, "Sayang, ini dari Ibel 'kan?"
"Dari Papa buat Mama." jawab Ibel membantu Gisha melepas pita yang mengikat bunga mawar.
Gisha berpikir lain, masih tidak percaya dengan ucapan Ibel. "Anak cantik, anak baik yang lucu dan bikin Mama gemes. Nggak boleh bohong lho, tadi kamu bilang begitu 'kan?"
"Jadi Mama nggak percaya sama Ibel?" tanya Ibel lagi menggantung pikiran Gisha.
"Bukan, tapi… Ya, tentu aja percaya dong." nyatanya semua ucapan anak kecil adalah jujur, tetapi bukan itu yang Gisha alami karena pada jaman sekarang banyak anak yang sudah mengerti bagaimana caranya berbohong.
Meski tidak percaya tetapi Gisha hanya menerima itu dengan senang hati, dia menata bunga mawar untuk ditaruh di dalam kamar. Waktu dia habiskan untuk bersenang-senang dengan Ibel, akhirnya gadis cantik itu lelah dan pergi ke kamarnya.
Gisha tampak terburu-buru ke dalam kamar pribadinya, namun lagi-lagi dia menemukan Xander tengah santai di ranjang sambil membaca buku. "Maaf, aku… Cuma mau naruh bunga ini di kamar."
"Ini kamarku!" jawab Xander apa adanya.
Jawaban itu membuat Gisha menatap langit-langit kamar. "Aku cuma bermaksud naruh bunga dari Anda di kamar Anda karena ini udah ditata rapi di vas, makanya aku kembalikan lagi."
Xander membanting buku ke kasur. "Hei, jadi kamu masih ngira itu bunga dari aku?"
"Kan bukan aku yang bilang, tapi Ibel." Gisha protes.
"Ya, ok iya. Biar puas dan aku males debat," Xander bangkit dari tempat tidur. "Tapi bunga itu atas permintaan Ibel, aku mana tau kalau bunga itu mau dikasih ke kamu. Jadi tolong, batang yang aku kasih ke kamu cuma dari Papi!"
"Batang? Batang apa?" tanya Gisha mencoba mengulang perkataan Xander.
Xander yang tidak sadar sudah salah dalam berkata 'barang' pun merasa tidak terima, dia mengangkat kedua bahu. "Siapa yang bilang 'batang'? Jangan salah sangka kamu!"
"Tadi kan Anda bilang begitu. Maksudnya batang mawar kah?" ulang Gisha mencoba membenarkan.
Sontak pria dengan satu anak itu menatap jauh ke sana. "Ck, siapa yang bilang batang sih? Kamu ini, ngeres atau gimana?"
"Ngeres?" seketika Gisha meletakkan vas berisi mawar segar itu di atas nakas, dia berlari tanpa arah seolah dikejar sesuatu yang berbahaya.
Sikap itu membuat Xander merasa aneh, dia menatap heran gadis itu. "Gila, dia gila kali ya? Batang apa yang dimaksud? Nggak ada yang ngomong 'batang' bisa-bisanya dia bilang begitu? Kan aneh!"