39. Kesalahan Lain

2006 Kata
Hari yang telah dijanjikan tiba tanpa disadari karena Gisha bangun terlambat pagi ini. Dia bergegas membersihkan tubuh kemudian bersiap-siap untuk menemani Ibel di acara lomba mewarnai, Gisha pun tidak sempat duduk untuk menikmati menu sarapan yang sudah dibuat ibunya. "Sayang, ini coba dulu! Enak loh, Ibu kan udah bikin roti bakar kesukaanmu." Hana memaksa, Gisha pun mengambil sepotong sambil buru-buru mengenakan sepatu. "Ada apa sih Nak? Kok kayak dikejar-kejar orang aja." Gisha cepat-cepat menelan makanan yang ada di mulut. "Aku harus nemenin Ibel, dia hari ini lomba." "Ibel? Siapa Ibel?" seingat Hana, putrinya tidak mempunyai teman bernama Ibel. Tentu pertanyaan itu membuat Gisha hampir tersedak, dia melupakan satu hal. "Um… Itu… Temen Bu, jadi aku biasa main ke rumah dia dan… Punya anak cantik, makanya aku diminta buat nemenin juga." Jawaban yang kurang masuk akal memang, Gisha pun langsung berpamitan karena jam sudah menunjukkan dia terlambat 10 menit. Juga Gisha menghindari pertanyaan lain mengenai Ibel dari Hana. Belum ada yang tahu, termasuk keluarganya jika Xander sudah mempunyai istri dan anak. Mengingat hal itu, Gisha kembali murung saat tahu satu kesalahan nya tempo hari. Dan sejak itu, Xander bersikap pendiam padanya. Karena suasana canggung dan Gisha takut jika Xander marah-marah, dia lebih memilih tinggal di rumah ibunya. Meski berulang kali Adhisti mencoba untuk membujuk, tetapi Gisha hanya ingin semua lebih tenang. [...] Panas udara dari asap kendaraan membuat suasana menjadi lebih sibuk, jalanan macet, Gisha pun menambah angka di jarum jam di tangannya jika dia sudah terlambat lebih dari 30 menit. "Aduh, gimana ini? Kalau lombanya udah selesai pasti Ibel kecewa, dan… Duda busuk itu… Agh, aku sih. Kenapa bangun kesiangan? Alarm aku matiin segala. Kenapa?" "Ada apa, Non?" Suara sopir taksi mengubah semua lamunan Gisha. "Nggak kok Pak, um… Aku turun sini aja deh, Pak. Soalnya nggak jauh lagi kok." "Gitu ya? Ya udah, nggak apa-apa. Maaf atas ketidaknyamanan nya." jawab sopir sopan. "Nggak kok, Pak. Ini bukan kesalahan Bapak." sahut Gisha memberi tarif kepada sopir. Gisha pun turun, dia segera berjalan ke pinggir jalan dan melewati beberapa toko hingga dia sampai di perempatan. Panas matahari sudah mulai meninggi, sambil meneguk air mineral Gisha melihat sisi kanan dan kiri jalan saat lampu merah. Dia pun menyeberang, sempat telinganya menangkap suatu yang memanggil namanya, tetapi Gisha tidak menemukan siapa pun. Karena sudah hampir jam 10 siang, Gisha berlari saat berada di dekat pintu gerbang sekolah Ibel. Dia langsung masuk dan menanyakan kepada penjaga di mana aula untuk perlombaan. Ruang olahraga. Gisha cepat-cepat ke sana, dan benar saja jika lomba masih berlangsung. Antara tamu undangan, Gisha mencari tempat duduk yang masih kosong. Dia dapat melihat keberadaan Ibel, dan saat gadis kecil itu melihat ke arahnya barulah Gisha melambaikan tangan. Bibirnya berkata 'hai' dengan senyuman yang selalu saja membuat Gisha rindu. Saat akan kembali menyapa, Gisha menemukan Xander berada di ujung. Pria itu menatapnya, sontak Gisha tidak dapat berkutik. Acara berlangsung sangat meriah, para peserta lomba sudah menunjukkan bakat. Namun, Ibel terlihat murung saat menghampiri Gisha. "Mama…," "Hei sayang, ada apa?" tanya Gisha sambil mengusap keringat di kening Ibel. "Gambar Ibel jelek." Gisha pun segera mengambil botol minuman baru yang berada di tas nya. "Ibel minum dulu ya! Biar seger." Dari jauh, Xander perlahan datang menghampiri. Gisha merasa takut, atau entah karena dia sedang mengalami siklus aneh pada dirinya. Kemudian, dia mendapati Xander membelai rambut panjang Ibel dan seolah menjauhkan gadis kecil itu darinya. Perlakuan itu aneh dari sikap Xander sebelumnya, Gisha mencoba memahami karena semua atas kesalahan waktu itu. "Dia cuma… Gugup." Xander berpaling. Sebenarnya dia berusaha untuk mengabaikan masalah ini, lagipula Gisha tidak paham tentang semua yang dilarang untuk Ibel. "Ibel, duduk dulu sini!" Kemudian Xander memberikan tempat duduk, dia berjongkok agar pandangannya bisa sejajar dengan Ibel. "Nggak perlu takut! Namanya perlombaan, ada yang menang dan kalah. Kalah bukan berarti kita tidak bisa, melainkan kurang memenuhi standar! Nggak masalah, kan putri Papa ini hebat!" Ibel tersenyum, lalu menciumi pipi Xander. "Terima kasih Pa, tapi… Kenapa Mama Adhisti nggak dateng ke sini?" "Mungkin sibuk sayang, nggak apa-apa. Kan ada Papa di sini." Xander membujuk agar Ibel tetap semangat. Memang usaha Xander berhasil, wajah murung Ibel menjadi ceria kembali. Meski Xander sendiri masih belum bisa mengatur rasa kesal kepada Gisha, dia mencoba untuk biasa dengan mengabaikan gadis di belakangnya. "Ya udah, Papa mau ke depan sebentar. Papa mau telepon orang kantor dulu." Xander berpapasan dengan Gisha, dia merasa terhalangi saat keduanya sama-sama memberi jalan. "Maaf." ucap Gisha lirih, tetapi Xander masih bisa mendengar dengan jelas. Tidak ada sahutan lain, Gisha menatap punggung legam itu berangsur hilang. Sampai akhirnya Gisha mengabaikan, dia sudah paham betul sikap pria itu. "Ibel, mau cemilan? Biar Mama beli di kantin ya?" "Ibel udah bawa kok," gadis kecil mengenakan pita biru itu langsung mengambil kotak makanan dari dalam tas. "Nih, ada bakpao ayam sama coklat." "Wah, siapa yang bikin? Pasti enak." Ibel mengambil satu bakpao, terdapat isian coklat. "Mama, tadi pagi juga Mama masakin Papa. Nyuapin Papa, lucu. Papa mirip anak kecil." Mendengar hal tersebut, tentang keakraban Xander dan Adhisti dia mendadak kehilangan rasa semangat. Gisha benci pikirannya. Namun, dia segera menepis. "Wah, asyik. Mama boleh minta?" Ibel segera mengambil lagi satu bakpao coklat, dia memberikan suapan kepada Gisha. "Ini, rasanya enak. Tapi masih enak bolu buatan Mama Gisha." "Masa sih?" Gisha mengikis coklat yang meleleh di sisi bibirnya. "Ini lebih enak kok, lembut dan manisnya pas." Ibel tersenyum sampai memperlihatkan gigi susunya. "Papa yang bilang." "Apa? Um… Maksud Ibel…," Gisha tidak melanjutkan pertanyaannya saat melihat Xander mendekat. Dia langsung berdiri dan membetulkan bajunya. Pria itu terlihat masih sama, tidak menunjukkan sikap ramah dan itu membuat Gisha ingin memaki. "Sayang, Papa harus pergi sekarang. Nggak apa-apa ya?" ucap Xander membelai wajah Ibel. "Iya, nggak apa-apa Pa. Kan ada Mama Gisha." jawab Ibel polos. "Ya udah, Papa cuma sebentar ketemu tamu di kantor. Nanti Papa jemput ya?" "Iya, Papa hati-hati!" Sesungguhnya, Xander tidak tega. Karena baru hari ini dia bisa menyempatkan waktu untuk menemani Ibel di acara sekolah. "Iya, Ibel nggak boleh langsung sedih kalau misal nanti belum bisa bawa piala pulang. Itu artinya Ibel harus lebih semangat belajarnya!" Ibel kembali memasang wajah sedih, tetapi dia mengangguk. "Iya, Papa." Lalu Xander mengecup kening juga pipi Ibel, dia berbalik arah dan menemukan wajah Gisha yang seketika berpaling. Gadis itu hanya menatap lantai. "Titip Ibel, dan jangan bikin ulah!" Gisha terlalu rumit memahami apa itu 'ulah' yang dimaksud Xander, selama ini dia selalu berbuat benar, hanya saja mungkin mengenai mainan yang menggunakan remot. Gisha melewatkan satu itu, tapi biar bagaimanapun maksudnya adalah menghibur Ibel. Saat Xander sudah tidak terlihat, Gisha mencoba mengabaikan semua perkataan yang sudah biasa diterima. Perlombaan kembali dimulai, mengumumkan siapa pemenangnya. Dan kali ini Gisha harus berjuang lebih keras lagi untuk menghibur suasana hati Ibel lantaran anak tirinya itu tidak mendapat juara. Dengan perasaan sedih, Gisha memeluk Ibel. Sebenarnya, dia paham bagaimana perasaan gadis kecil itu. "Nanti malam kita belajar gambar lagi ya? Pelan-pelan, biar Ibel lebih pinter lagi." "Nggak mau!" Gisha menatap wajah sedih Ibel, bahkan sudah mengeluarkan air mata. "Loh kenapa? Ibu atau Pak guru bukannya kasih nilai gambar Ibel jelek kok." "Tapi kenapa Ibel nggak juara? Kenapa temen yang lain?" protes Ibel polos. "Sayang," Gisha mengusap air mata di pipi Ibel. "Nggak semua hasil kerja keras kita dapet hadiah, yang penting kan Ibel udah berusaha yang terbaik. Menang, atau kalah kan itu cuma… Hasil pemilihan, yang paling terpenting adalah niat kita! Tetap semangat!" "Mama pernah nggak juara?" Ibel bertanya. Rupanya usaha Gisha hampir berhasil mengecoh Ibel. "Hm… Sering, Mama juga kecewa, nggak apa-apa kok kita merasa marah atau… Nggak semangat, tapi jangan sampai menghancurkan harapan kita. Mama bantu semangat lagi ya?" Ibel pun kembali tersenyum, dia merasa senang mendapat kecupan Gisha di pipi. "Iya Mama." Semua rasa semangat itu datang kembali, sementara di belakang Gisha berdiri Tristan sambil menatap serius. Dia teringat sesuatu yang jauh di sana, seorang anak laki-laki. Sampai Gisha sadar kedatangannya, dan Tristan mengembalikan semua kenangan itu segera. "Maaf, kamu…," "Saya pengawalnya Nona Frada, bermaksud menjemput Anda atas perintah Tuan besar." jawab Tristan berterus terang. "Ah ya, inget. Makanya aku seperti nggak asing. Tapi… Ngomong-ngomong Papi di mana?" Gisha mencari keberadaan Nathan. Tristan menunjuk keluar dengan pandangannya. "Ada, Tuan menunggu di luar. Di dalam mobil." Kemudian Gisha segera mengemas semua barang-barang Ibel, setelah itu barulah dia mengikuti arah ke mana Tristan berjalan keluar. Dan benar saja, di sana telah menunggu Nathan. Pria dengan setelan jas biru tua itu sedang menikmati rokok di tangan, kemudian cepat-cepat membuang itu saat Gisha datang. "Hai, Nak. Apa kabar?" tanya Nathan seolah tidak terjadi sesuatu padanya dan Gisha, setelah kejadian tempo hari dia sempat marah dengan menantunya itu. Gisha masih bingung dengan sikap yang memang mudah berbeda, meski Nathan laki-laki baik hati. "Hai Pi, aku baik. Papi… Gimana?" "Gimana apanya?" Nathan merentangkan kedua tangan. "Papi sehat dong! Dan akan selalu sehat." "Syukur kalau begitu," Gisha yang merasa takut jika Nathan akan berbuat hal lain kepada Ibel, dia memegangi tangan gadis kecil itu erat-erat. "Aku seneng dengernya, tapi… Rokok nggak baik buat Papi." Nathan menatap puntung rokok di tanah. "Ah… Itu… Cuma iseng, Papi jarang sekali merokok. Tenang aja!" "Ya udah," Gisha menanti maksud Nathan menjemput. "Yang penting Papi jaga kesehatan!" "Tentu saja sayang!" Nathan merasa senang masih ada yang memperhatikannya. Kemudian Nathan meminta Tristan segera membawa Ibel ke mobil lain, dan hal itu membuat Gisha curiga. Dia tidak dapat menahan rasa penasaran juga khawatir, Gisha pun langsung mengejar Tristan yang menggendong Ibel ke seberang jalan. "Tunggu! Biar Ibel sama aku aja!" Gisha berusaha merebut Ibel. Tristan langsung menjaga jarak. "Maaf Nona, ini perintah Tuan besar!" "Iya," Gisha panik, dia melihat Nathan yang hanya santai berdiri di dekat mobil berwarna putih. "Tapi… Ibel harus sama aku! Kita harus pulang secepetnya." "Saya yang akan membawa Ibel pulang," Tristan kembali berjalan mendekati mobil berwarna hitam. "Anda bisa kembali bersama Tuan besar!" "Tolong, Tuan Tristan! Kasih Ibel!" Gisha tentu memaksa, dengan berani dia menarik lengan besar Tristan. Tidak ada perlakuan kasar, tetapi Tristan tetap bersikukuh menuju mobil sport yang diparkir dekat toko buah. "Maaf, Anda bisa kembali bersama Tuan besar!" Usaha Gisha merasa gagal, tetapi dia tetap berjuang mendapatkan Ibel kembali. Gisha segera menghalangi Tristan saat akan membuka pintu mobil. "Nggak! Berikan Ibel!" Tristan menatap wajah itu sungguh-sungguh, kemudian melihat wajah cantik tidak paham akan semua ini. "Ibel, mau ikut sama Om 'kan?" Ibel langsung menggelengkan kepala. "Nggak mau, Om jahat sama Mama!" Wajah tampan dipenuhi berewok itu tersenyum kecil, kemudian membungkuk dan menurunkan Ibel. Entah, semua tidak bisa dimengerti oleh Gisha sekali pun karena Tristan membiarkan Ibel ke arahnya. "Baiklah," Tristan membetulkan dasinya. "Silakan!" Gisha langsung memeluk Ibel, dia menatap tubuh tegap dan tinggi itu sedikit ketakutan. "Ya, terima kasih." Tanpa berkata-kata, Tristan masuk ke dalam mobil dan langsung menancap gas meninggalkan area sekolah. Lain dengan Nathan yang hanya berdiri dari jauh, dia tampak santai dengan kejadian tersebut. Tak lama Gisha berjalan ke arahnya. Nathan langsung memberikan jalan untuk Gisha dan Ibel masuk dan duduk bersamanya di jok belakang. Meski Gisha ragu, dia berusaha untuk tetap tenang saat berada satu mobil dengan Nathan. Bukan masalah dia curiga jika Nathan akan berbuat jahat, tetapi justru Gisha bertanya-tanya mengapa Tristan melakukan hal demikian, sedangkan Nathan hanya santai seolah semua bukan apa-apa. [...] Rasa yang sulit menemukan arti masih Gisha temukan di keluarga Ivanska saat dia berada di rumah Xander, seakan semua masih baik-baik saja karena Nathan tidak berbuat seperti yang ada di pikirannya. Saat dia kembali ke rumah, rupanya Adhisti sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak menu makan malam. Gisha berjalan mendekat, dia menatap seisi ruangan seolah mencari sesuatu, tetapi tidak tahu apa. Yang pasti Gisha masih bingung dengan semua keadaan. Tidak lama, dari arah jendela dia melihat mobil Xander masuk ke halaman. "Wah, Mas Xander udah pulang. Bentar ya Gisha," Adhisti melepas celemek. "Aku temui Mas Xander dulu." "I… Iya," Pemandangan keluar tidak ada yang salah sama sekali, karena pasalnya Adhisti menyambut Xander dengan pelukan mesra. Kesalahan itu terletak pada hatinya, Gisha menatap dengan perasaan kecewa. Walau dia mencoba untuk sibuk, tetap saja dia tidak sengaja menangis. Cepat-cepat Gisha mengikis air matanya, dan mendengar Xander dan Adhisti berjalan masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN