[12]

1113 Kata
Maria menghela panjang. Matanya tertumbuk pada nampan berisi makan siang yang susah payah ia buat. Tidak. Maria tak pernah mengeluh mengenai pekerjaannya. Hanya saja makanan ini adalah suplay energi bagi tubuh, kan? Jikalau diabaikan, bagaimana tubuh bisa melakukan aktifitas seperti biasanya? “Bagaimana?” tanya Susi, salah satu pelayan di lantai dua ini. Khusus baginya, ia hanya melayani ruang yang memiliki pintu besar berukir nan elegan. Pemilik ruangan ini sama sekali tak ingin diganggu. “Tidak mau disentuh sedikit pun. Nyonya memilih tidur dan kurasa sudah terlelap dalam mimpi.” Susi mengerang frustrasi. “Nyonya bisa semakin parah sakitnya, Maria. Kau tahu itu, kan?” Maria mengangguk lesu. “Bahkan sekadar menikmati buah yang sudah kusajikan pun, beliau tak mau. Aku tak tahu lagi cara membujuk Nyonya Kate. Beliau tak bisa kubohongi terlalu lama.” Susi meremas kedua tangannya. Matanya menatap Maria berkaca-kaca. “Pasti Nyonya Kate merasa sangat kehilangan.” Maria membenarkan ucapan Susi. “Bukan hanya Nyonya Kate, tapi kita semua.” Ia pun menepuk bahu Susi pelan. “Kutinggalkan nampan ini bersamamu. Siapa tahu, kau bisa membujuknya. Ajak Nyonya bicara tapi ingat, jangan pernah bicara apa pun mengenai Nyonya Ruby.” Susi semakin tertunduk. “Tugas darimu semakin sulit, Maria. Kau tau … aku seperti pembohong kelas berat di depan Nyonya Kate. Aku tak tahan dengan sorot matanya tiap kali membicarakan Nyonya Ruby.” Sementara di balik pintu besar itu, sesosok wanita paruh baya sedikit menyamankan duduknya. Bersandar pada tumpukan bantal di kepala ranjang, matanya tak pernah teralih dari pintu besar yang tertutup itu. suara kasak kusuk di balik pintu sedikit mengganggunya. Tidak, bukan karena berisik dan membuatnya tak nyaman. Hanya saja pembicaraan di sana terdengar samar juga membuat penasaran. Nama Ruby beberapa kali disebut namun lantas suara yang membicarakan menantunya, mendadak lemah. Atau bahkan lenyap begitu saja. Berganti dengan hening yang biasa Kate alami di sini. “Apa yang bicarakan sebenarnya?” tanya Kate sedikit curiga. Di samping ranjang tidurnya yang mewah juga besar, terdapat teko serta cangkir berukiran indah. Berwarna emas serta merah yang berpadu apik sekali. Kate tahu isi di dalamnya; teh hijau yang menenangkan. Biasanya di saat seperti ini, Kate menggemari menikmati teh di sela waktu senggangnya. Sembari membaca buku ensikploedia dunia yang ia gemari. Pun merasakan embus angin sejuk dari balkon kamarnya. Akan tetapi, cangkir serta teko itu pun tak bisa mengalihkan dirinya untuk sekadar bergerak. Tidak. Kate bukan pemalas namun ia merasa daya tubuhnya semakin melemah. Selera makannya hilang begitu saja. Beberapa kali Maria membuatkan masakan kesukaannya pun, Kate mengabaikan. Memilih menghabiskan potongan apel sekadar agar ia memiliki tenaga. Semua karena Ruby. Benar. Saat dirinya terpejam, tak memedulikan suara-suara yang masih sedikit mengganggu, yang ia ingat hanya sosok menantunya itu. “Sudah beberapa hari ini aku tak melihat Ruby, Maria. Ke mana menantuku?” tanya Kate sembari memasukkan potongan kentang berbalut bumbu kari yang lezat. Binar matanya terlihat cerah. Senyumnya tak pernah luput dari wajahnya yang cantik meski sudah berusia enam puluh tahun. Kate sangat menjaga pola makannya. Apa pun yang dikonsumsi, selalu didapat dari referensi dokter keluarga Dominique. Tekadnya ingin berumur panjang sampai bisa menggendong cucu dari putra semata wayangnya. Yang sialannya, sampai saat ini belum juga memberi kabar bahagia. “Ehm … “ Maria berusaha mengontrol diri. Tersenyum seraya menuangkan gelas berisi air mineral untuk nyonya besar di rumah ini. “Nyonya Ruby pergi berlibur bersama Tuan Carl, Nyonya.” “Benarkah?” Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Kate selain kabar seperti ini. sudah lama tak pernah ia dengar Ruby dan Carl pergi bersama. Moment langka ini harus ia rayakan, kan? “Aku berharap, Ruby segera hamil. Kali ini aku yakin, Tuhan berbaik hati padaku.” “Iya, Nyonya. Karena itu juga Nyonya harus memerhatikan kesehatan juga. Suplemen yang tiap hari saya berikan, jangan selalu berakhir di tepi wastafel.” Kate tertawa. “kau benar-benar memerhatikanku, Maria.” Senyum Maria belum mau luntur. “Saya senang Nyonya semakin sehat hari ke hari. Saya tahu, saya lancang bicara seperti ini. tapi benar yang Nyonya Ruby katakan; kita semua boleh berduka karena kematian, tapi hidup harus kembali berjalan.” Wanita paruh baya itu mengangguk pelan. “Ruby memang setulus itu. padahal selain aku, Ruby juga yang paling terpukul karena kepergian Charles.” Maria mengangguk setuju. “Ruby menganggap Charles pengganti ayahnya.” Senyum Kate semakin terkembang lebar. “Beritahu aku perkembangan hubungan mereka, Maria.” “Baik, Nyonya.” Kate pikir, Ruby benar-benar melakukan perjalanan bersama Carl. Ia terkejut mendapati putranya kembali tanpa sang menantu. “Di mana Ruby, Carl?” Carl yang baru saja memasuki ruang tamu, hanya mengedikkan bahu. “Carl?” Kate menatap putranya penuh heran. “Maria bilang, kalian berlibur bersama? apa Ruby masih di sana? kenapa kau tinggalkan sendirian? Bahaya, Carl. Tak baik mening—“ “Dia bukan urusanku lagi, Mom,” sahut Carl dengan nada sedingin musin salju. Sorot matanya juga terlihat tak suka jika nama Ruby terdengar menyapa telinga. “Dan Ruby juga bukan urusan Mommy lagi.” Kening Ruby makin dalam berkerut. “Apa maksudmu, Nak?” Alih-alih menjawab, Carl justru meninggalkan sang ibu begitu saja. Agak geram dengan tingkah sang putra, Kate mulai mencari tahu ada yang salah di sini. Namun tak ia temui kejujuran kecuali kasak kusuk yang langsung hilang begitu Kate mendekat. Seolah mereka kompak menutupi sesuatu yang berkaitan dengan Ruby. “Nyonya.” Suara ketukan membuat semua lamunan Kate buyar. Sosok Susi, pelayan yang mengurus semua kebutuhannya masuk dengan nampan yang tadi Maria bawa. “Makan siang dulu, ya. Sudah saya hangatkan kembali supnya. Aku dengar, kalsium di tulang sapi bagus untuk kesehatan.” Kate bukan anak kecil yang harus menerima informasi seperti ini. “Apa yang kalian bicarakan di depan pintu kamarku?” Susi pias. Tak menyangka sang Nyonya ternyata tidak tidur. “Tidak ada, Nyonya.” “Apa berkaitan dengan Ruby?” Pelayan itu memegangi nampan dengan kuatnya. Matanya dilarikan ke mana pun asal jangan beradu pandang dengan Kate. Susi tak pandai berbohong. “Jawab, Susi.” “Ta-tapi, Nyonya.” Kate menyibak selimutnya. Tak perlu bantuan meski tubuhnya sedikit lemah, ia pun berusaha untuk duduk di tepi ranjang. Menerima bantuan Susi sebelum akhirnya makanan itu tersaji di depannya. aroma gurih sup iga bertemu dengan irisan tomat serta wortel memang menggugah selera, tapi … Kate ingin jawaban. “Apa kau tengah menyusun jawaban apa yang akan kau beri padaku, Susi?” Susi semakin gugup. “Aku tak akan memarahi siapa pun yang berusaha menutupi. Aku hanya ingin tahu, di mana keberadaan menantuku. Pergi berlibur bisa saja dilakukan sebulan penuh, tapi aneh rasanya kalau putraku hanya kembali sendirian. Tanpa istrinya.” Kate menyuap sedikit kuah sup. “Sebelum aku kehilangan sabar, Susi. Jawab pertanyaanku sekarang; di mana Ruby?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN