Irena tak berkedip sama sekali. Begitu wanita yang keluar dari ruang ganti, tampak malu serta sedikit tak nyaman dengan pakaian yang dikenakan. Terlebih sepertinya wanita itu masih belum setuju dengan apa yang baru saja terjadi. Irena sendiri mendengar keluhan serta gerutuan sepanjang ia menemani sang wanita berkeliling.
“Aku tak percaya dengan penglihatanku, Nona.” Irena bergerak mendekat. Matanya terus memperhatikan tiap detail pakaian yang memeluk tubuh ramping Ruby. “Kau cantik sekali dengan gaun ini, Nona Eve,” pujinya setulus hati. “Ah ... benar. Aku lupa sesuatu. Sebentar.”
Ruby mengerjap kebingungan. Bahkan ia belum bicara sepatah kata pun termasuk dirinya yang ingin protes atas pemintaan Justin yang konyol. Sialnya ia tak bisa beranjak begitu saja. Justin benar-benar memainkan emosinya.
“Sebenarnya apa yang kulakukan di sini, sih?” gerutu Ruby. Di ruang ganti ini, dikelilingi oleh cermin besar. Ada banyak standing display dengan gaun berbagai warna. Belum lagi beberapa aksesoris yang terbuat dari bulu atau entahlah ... semuanya tertata rapi serta terawat. Lemari besar berpintu kaca juga menampilkan jajaran tas yang sepertinya dibuat dengan tangan. Mengentaskan penasaran, ia pun mendekat.
Mengamati jauh lebih cermat dibanding sebelumnya. Refleks ia pun membuka pintu lemari tersebut dan mengambil salah satu koleksi. Tas berbahan sutera lembut dengan sulaman payet indah mengelilingi, berwarna putih s**u yang tampak berkilauan, sepertinya cocok bersanding dengan gaun yang masih melekat di tubuh Ruby.
Bercermin sekilas, menyanding tas tangan yang tampak indah ini, Ruby tersenyum simpul. “Irena benar. Gaun ini cantik tapi ada sesuatu yang kurang.”
“Apa yang kurang?”
Hampir saja Ruby menjatuhkan tas tangan itu. Matanya terpejam kuat dan setelah berusaha menormalkan diri, karena sungguh, kehadiran Justin di ruangan ini serupa hantu. Terlalu mengejutkan dirinya. “Bisakah Anda mengetuk terlebih dahulu?”
Justin terkekeh. “Pintunya terbuka lebar.” Ia pun menunjuk pada pintu yang memang terbuka. sepertinya Irena lupa menutup kembali pintu tersebut.
Tak ingin kembali beradu argumen, Ruby memilih mengembalikan tas tangan tadi.
“Itu cocok untukmu, Eve.”
“Aku tak berminat untuk menjadi model pakaianmu, Tuan. Seperti yang kukatakan sebelumnya.”
Justin tertawa. “Ayolah. Penawaranku sangat berharga. Kau tahu dengan baik SEO Fashion seperti apa, kan? Pengetahuanmu mengenai selera mode cukup tinggi. Bahkan intuisimu barusan membuatku yakin, kau bisa membuat sebuah gebrakan.”
“Aku tak tertarik.” Ruby memilih duduk di sofa yang tersedia. Berusaha menutupi pahanya yang mendadak terekspose lantaran gaun ini hanya sampai sebatas lutut. Meski tak bisa ia mungkiri, penampilannya dengan gaun lavender ini sungguh berbeda. Entah kenapa aura yang gaun ini keluarkan membuat ia merasa ... cantik?
“Tunggu sampai kau melihat final touch dariku.” Justin menyeringai.
Ruby memilih diam. Ia tak menyangka ada di dalam situasi yang menurutnya aneh. Inginnya marah karena kekonyolan Justin yang berusaha menjebaknya. Padahal andai pria itu mengatakan keinginannya, mungkin Ruby tak perlu sekhawatir ini. Bukan berarti Ruby segera setuju, tapi setidaknya jantung Ruby aman dari denyut yang menyesakkan.
Uang 6000$ sangat berharga untuknya. Kembali Ruby teringat pembicaraan yang belum ada satu jam berlalu. Yang mana membuat Ruby cukup terperangah dengan tingkah Justin yang seenaknya. Pria itu mengutarakan keinginannya dengan gamblang. Tak bertele-tele termasuk mengajukan kontrak untuk Ruby selama satu musim tahun ini.
“Aku tak berpengalaman sebagai model, seharusnya Anda tahu itu, kan?” Ruby menyodorkan ulang kontrak yang baru saja ia baca.
“Kau bisa belajar,” sahut Justin singkat.
“Aku tak tertarik dengan kepopuleran.”
Ucapan Ruby barusan membuat Justin tergelak. “Banyak wanita di luar sana yang berebut atensi akan kepopuleran. Semakin kau dikenal banyak kalangan, semakin mudah untukmu mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Aku sudah membuktikan hal itu.”
“Apa kau puas?” tanya Ruby singkat yang mana segera menghentikan tawa dari mulut Justin.
Agak lama sebelum akhirnya Justin berdeham sekilas lantas berkata, “Berhubung aku menekuni bidang yang kuminati, semua yang kucapai membuatku puas. Hanya satu sandungan yang mendadak menghampiri.”
Ruby menatap Justin sedikit penasaran. “Apa itu?”
“Lavender.”
Kening Ruby berkerut tapi berusaha untuk ia singkirkan. Tak ingin terlibat pembicaraan cukup jauh. untuk apa? Bukankah semakin ia tahu, semakin tertarik dalam pusaran yang ingin Justin ciptakan? Tidak. Ruby butuh bekerja, tapi bukan pekerjaan di mana wajahnya berkeliaran di media sosial. Bukan, Ruby tidak antipati pada kemajuan teknologi.
Tapi ...
Menyandang gelar sebagai janda seolah Carlton Dominique sepertinya beban tersendiri. Popularitas identik dengan skandal dan gosip murahan. Tak pernah ia bayangkan namanya terus terhubung dengan Carl. Dirinya sudah dibuang, disingkirkan begitu saja, serta direndahkan harga dirinya.
Ia ingin berdamai meski mungkin sulit, tapi Ruby harus berusaha.
“Lihatlah design terbaruku.” Justin menyerahkan salinan final design pakaian yang akan ia pamerkan sebulan lagi.
Ruby bukan perempuan bodoh yang tak mengerti fashion. Berterima kasihlah pada Kate Dominique yang selalu mengkritisi pakaiannya serta pemilihan warna yang menurutnya tak cocok untuk Ruby. Termasuk butik-butik langganan yang hanya membuat satu pakaian khusus untuk keluarga Dominique.
Pun merek SEO yang tengah populer di kalangan sosialita. Kebanyakan dari mereka berebut untuk edisi terbatas atau malah meminta designernya langsung membuatkan gaun untuk acara khusus. Tak ia sangka designer CEO berikut pemiliknya adalah Justin Stockholm yang duduk santai di depannya.
Ruby pikir, designer SEO adalah seorang wanita bertampang bak dewi Yunani. Karena beredar kabar, jarang sekali orang lain bisa menemui sang designer. Dan yang tengah ia pegang serta amati, adalah maha karya.
“Ini ... indah sekali,” puji Ruby tulus.
“Matamu jeli melihatnya.” Justin tertawa riang. “Dan lavender bukan warna sembarangan. Sebagai seorang designer, warna ini melambangkan ketenangan, damai, serta pemurnian jiwa yang berusaha melepas keterikatan pada dunia. Harus dibawakan dengan penuh anggun, gestur yang sesuai, serta hanya dengan gerak sedikit saja sudah menyampaikan apa yang kuinginkan dari warna ini.”
Ada jeda hening di antara mereka. Ruby dibiarkan melihat semua design yang jarang sekali disentuh orang luar. Entah kenapa, Justin memercayai Ruby. Feelingnya bilang, Ruby bukan orang yang akan menjatuhkan dirinya.
“Setahuku,” Ruby menutup design book milik Justin. Meletakkannya penuh hati-hati di meja berlapis kaca yang ada di depannya. “SEO Fashion memiliki model-model ternama. Yang aku rasa, salah satu di antara mereka cocok mengenakan warna ini.”
Justin menarik sudut bibirnya tipis. “Kau benar. Bagaimana kalau setelah kau mencoba,” Ia segera mengangkat tangannya meminta agar Ruby tak menginterupsi apalagi protes. “Kau coba salah satu gaunku. Master piece untuk musim ini. Setelah itu kau bisa bertemu dengan model-model kelas atas SEO Fashion. Kau memiliki rasa yang cukup tajam mengenai mode kurasa. Kau bisa membuat penilaian tersendiri, apakah mereka cocok atau tidak.”
Lamun Ruby buyar seiring kedatangan Irena yang tampak kerepotan. Beberapa kotak yang ia bawa hampir saja jatuh andai Justin tak tanggap. Senyum Irena tercipta penuh takut disertai permintaan maaf karena Justin memarahinya.
“Kau benar-benar, Irena!”
“Maafkan aku,” cicit Irena penuh gugup.
Segera saja kotak-kotak itu berpindah ke tangan Justin. Dengan cepat pria itu memilih beberapa aksesoris yang sesuai. “Ke marilah, Eve.”
Agak ragu untuk Ruby mendekat.
“Kau bisa membuat keputusan setelah ini, Eve.” Justin memasangkan kalung berbandul sabit dengan tempaan kristal yang Ruby yakin, harganya tak murah. Juga meminta Ruby memakai anting menjuntai yang hampir menyentuh bahu. Entah tangan Justin yang terlalu cepat bergerak, atau memang pria itu sangat profesional dalam bekerja.
Rambut hitam Ruby sudah tergelung apik. Riasan yang tersemat membuat Ruby semakin tak memercayai penglihatannya. Dari pantulan cermin besar juga, Irena tampak menahan napas. Betapa cantik dan berbeda Ruby setelah disentuh oleh Justin lewat tangan pria itu secara ajaib.
“Wow!” Hanya itu yang bisa Irena katakan.
Justin menyeringai dengan respon Irena. Apa yang ia bayangkan benar-benar terwujud.
“Kau tahu apa yang membuat semuanya sempurna?”
“Apa?” tanya Ruby sembari berusaha menahan diri. Sungguh ... ini bukan dirinya.
“Matamu.”
Ruby menoleh pada Justin yang ada di belakangnya.
“The Great Oceanna is back.”