Mata Ruby menatap satu demi satu gadis cantik bak bidadari di depannya. Mereka hanya duduk santai dengan sorot yang juga memerhatikan Ruby penuh minat. Entah kenapa Ruby merasa permintaan Justin cukup konyol.
“Perhatikan mereka bertiga. Bayangkan mereka kenakan gaun yang sekarang melekat pada tubuhmu. Dan beri penilaian menurut mataku yang kurasa ... jeli dengan warna.”
Justin memang keterlaluan. Memangnya Ruby ini lulusan sekolah mode? Sering berkecimpung di dunia yang penuh decak kagum serta tuntutan waktu yang sanga padat? Ya Tuhan! andai bisa protes! Sayangnya Ruby tak bisa melakukan hal itu. Dirinya sudah keburu didorong keluar dari mobil yang berhenti di depan apartemen mewah.
Tak lama seorang gadis menjemputnya. Mengatakan kalau ia adalah orang suruhan Justin.
“Bagaimana?” tanya Giselle sembari mengibas pelan rambutnya.
“Entahlah.” Ruby menghela panjang. “Aku tidak terlalu memahami apa yang Justin minta.”
Harley tertawa. “Kau benar-benar harus banyak belajar mengenai Justin.”
“Dia memang keterlaluan,” Ursula berdiri. Berjalan anggun ke arah meja yang tersaji banyak camilan. Mengambil salah satu kantung keripik kentang kesukaannya. Aroma keripik garing yang gurih dan menggoda, ia hidu dengan rakus. “Ah ... rasa rumput laut tak pernah gagal membuatku berpaling.” Namun sebelum ia menikmati camilannya, Ursula berkata, “Kau hanya diminta untuk menilai apa kali pantas mengenakan warna yang Justin inginkan, kan?”
Mata Ruby mengerjap dua kali, lantas mengangguk menyetujui.
“Jadi katakan dengan jujur, Ruby. Karena memang itu yang Justin pinta.”
“Ah ... lavender, ya?” Harley menjentikkan jemarinya. “Aku melihat gaun cantik itu di ruang rancangan Justin.”
“Pagelarannya satu bulan lagi dan itu menjadi event besar yang akan SEO Fashion buat di tahun ini.” Giselle menambahkan. “Aku jadi ingat saat pertama kali membawakan Malaikat yang Kembali Berpijak dua tahun lalu.” Senyumnya kembali tercipta.
“Benar. Pagelaran itu membuat namamu meroket. Mengalahkan Ursula.” Harley tertawa riang. Di mana Ursula hanya menanggapi dengan kedikan bahu. Tak ada rona kesal atau marah karena ucapan barusan.
“Tapi yang cukup berkesan untukku, saat Ursula turun dari langit-langit gedung. Berkibaran dengan sifon hitam. Kalau tidak salah, gaun malam berwarna hitam elegan dengan mutiara merah menjadi tren hampir dua tahun lamanya.” Giselle mengarahkan kakinya pada Ursula. “Kau benar-benar membuat panggung SEO Fashion panas saat itu, Sula.”
Ursula meletakkan kantung keripiknya. “Bagaimana dengan Harley? Datang menggunakan truk? Berpegangan seperti orang gila? Kau tahu ... kau mirip Cruella De vil.”
Mereka bertiga kompak tertawa. Riang dan tak ada yang menutupi betapa event yang telah berlalu di mana satu per satu dari mereka, menjadi bintang utama. Nama mereka segera saja melambung bak roket yang tak bisa dihentikan. Saling berangkulan sembari memuji satu sama lain tanpa ada sorot terpaksa ataupun terlihat memiliki maksud lain dari pujian yang diberi.
Hal itu ditangkap Ruby sebagai bentuk pertemanan yang tulus. Buktinya mereka tanpa canggung justru menari, berjingkrakan seperti anak kecil yang menemukan sesuatu yang digemari. Sesekali saling melempar ejekan. Kadang juga celetukan yang menyambung pada nostalgia di antara mereka. meski Ruby tak ada di sana, tapi dari obrolan ringan itu ia bisa memilin jalinan hubungan pertemanan itu kuat.
Saling menopang satu sama lain dan Ruby ... iri. Apa rasanya ada di antara mereka bertiga? Menyenangkan, kah? Atau justu dirinya pengganggu?
“Jadi ... apa pendapatmu, Eve?” tanya mereka kompak. Yang mana membuat Ruby terhenyak. Terkejut lantaran pertanyaan itu ditanyakan berbarengan dengan tawa yang riang.
“Kami menunggu, lho,” kata Giselle sembari mengerling jahil.
“Kalian semua pastinya cantik mengenakan gaun itu.”
Harley mengibas pelan. “Artinya kau tak pahami apa yang kami bicarakan sejak tadi, Eve.”
Ruby terdiam. Tidak. Ia bukan tak mengerti serta mengetahui satu fakta; Justin membangun image yang berbeda dari masing-masing mereka. Yang mana image itu melekat serupa lem di hidup yang mereka jalani. Sementara warna yang sempat Ruby kenakan, sangat timpang dengan apa yang mereka bertiga miliki.
“Kalian ...” Ruby mengambil napas dalam. Yang mana ucapan itu membuat satu per satu dari mereka, duduk kembali di tempat masing-masing. Memilih menyimak apa yang ingin Ruby sampaikan. Entah kenapa, Justin memercayakan hal yang menurut mereka krusial pada orang baru ini.
Awalnya Ursula paling keras memrotes. Tidak. Ursula tak mau mendominasi apa itu pagelaran busana milik Justin. Ia tahu dan paham kalau pagelaran setiap tahunnya sangat berharga untuk bosnya itu. Jangan sampai Justin kecewa dengan hasilnya. Sebagai salah satu dari orang yang beruntung bertemu Justin dan mendapat didikan serta pengajaran cukup keras, Ursula hanya ingin yang terbaik untuk Justin.
Pun kedua sahabatnya.
Begitu Justin menyodorkan nama baru, mereka tak serta merta setuju. Baik Ursula, Harley, juga Giselle, sudah lebih dulu mencoba design terbaru Justin. Mereka memiliki penilaian tersendiri namun belum berani bersuara. Mereka memutuskan untuk menunggu, apa seseorang yang baru ini memiliki ketajaman yang sama?
“Kami menunggu jawabanmu, Eve,” kata Harley sembari bersandar nyaman.
Ruby kembali menatap satu demi satu lawan bicaranya. Tangannya saling meremas pelan berusaha mengurangi gugup. Hening di antara mereka berlangsung agak lama; sekitar dua sampai tiga menit. Tak ada yang bicara satu pun. Sibuk dengan pemikiran masing-masing di mana Ruby tak yakin, apa ucapannya nanti bisa diterima dengan baik?
“Katakan saja kejujurannya, Eve.” Giselle bicara sembari tersenyum. Seolah memberi kekuatan tersendiri bagi Ruby, karena jujur saja, belum pernah Ruby ada di posisi seperti ini.
“Kalian ... tidak ada yang cocok dengan design terbaru Justin.” Akhirnya Ruby mengatakannya. Meski pelan, tapi ia yakin mereka bertiga bisa mendengar dengan jelas. Kini Ruby harus bersiap menghadapi tatapan sinis atau cemooh terutama bagian di mana; memangnya kau ini mengamat fashion sejati? Bisa-bisanya memberi kami koreksi seperti ini?
“Puji Tuhan!”
“Ahhh... senangnya!”
“Syukurlah. Justin tak akan menyiksaku untuk waktu yang lama.”
Ruby terperangah. Tak menyangka respon mereka sama sekali di luar dugaannya. Justru wajah yang sudah riang, semakin riang setelah Ruby mengatakan pendapatnya. “Kalian ... tak kecewa?”
Mereka bertiga kompak menggeleng.
“Kenapa harus kecewa?” tanya Ursula mewakili semuanya. “Justru kami senang bukan sebagai bintang utama nantinya. Bukan apa. Design Justin kali ini memuat filosofi tersendiri. Aku tak yakin, ehm ... entahlah bagi Giselle dan Harley. Tapi bagiku, aku memang tak yakin setelah mencoba gaun itu.”
“Aku sependapat dengan Ursula.” Harley semakin melebarkan senyum. “Potongan gaunnya terlalu feminim untukku. Dan ya ... meski warna lavender masuk dalam warna yang bisa kukenakan, tapi tidak untuk yang satu itu.” Ia pun menambahkan gelengan tegas di akhir katanya.
Sementara Giselle? Tersenyum lebar sampai Ruby rasa, matanya tertutup karena garis tawa yang tercipta.
“Fiuh ... aku terbebas dari bangku cadangan utama. Setidaknya meski aku ikut pagelaran itu nanti, tidak akan muncul sebagai pembuka juga penutup dan bintang utama.”
Ruby masih belum bisa mencerna dengan baik semua yang baru saja terjadi.
“Kurasa Justin memang sudah menemukan siapa yang pantas membawakan design terbarunya, kan?” Harley berkata sembari mengerling penuh makna.
“Ah, kau benar.” Harley kembali menjentikkan jemarinya. “Menurutmu bagaimana, Sula?”
“Aku?” Ursula menatap Harley tak percaya. “Aku selalu mendukung keputusan Justin. Termasuk mengenai pagelaran kali ini. Jadi kau tahu jawabanku.”
“Sebentar, sebentar,” sela Ruby dengan tatapan heran yang banyak. “Aku semakin tak mengerti arah bicara kalian.”
Untuk ucapan Ruby kali ini, membuar Giselle bertindak. Ia pun mendekat dan duduk tepat di samping Ruby. Merangkul teman barunya yang menurut Giselle, cukup menarik. Tak ada berlebihan sejak pertama bertemu. Biasanya siapa pun yang berhasil bertemu mereka bertiga, selalu ditanggapi dengan kehebohan. Bahkan tak jarang, bertanya hal-hal yang sedikit membuat mereka tak nyaman.
Tapi Ruby?
Wanita berambut hitam ini tenang, bicara seperlunya, dan tak bisa Giselle mungkiri; matanya indah. Mata yang memiliki kemampuan menyihir baik lawan atau sesama jenis. Mata yang menurut Giselle memancarkan aura mahal yang jarang dimiliki.
“Justin akan membuatmu mengerti nanti. Tapi sebelum itu terjadi, aku hanya bisa memberi peringatan. Justin bukan orang yang gampang menyerah meski ditolak berkali-kali. Hanya orang yang menyia-nyiakan peluang, yang akan menyingkirkan tawaran Justin begitu saja.”
“Aku tak butuh peluang sebenarnya, Giselle.” Ruby tersenyum tipis.
“Katakan apa keinginanmu, maka Justin mengupayakan yang terbaik. Yakinlah, Justin bukan sekadar pencari bakat. Tapi dia adalah sosok yang bisa kamu sebut ... rumah.”