Kadang, kita terlalu sayang untuk melepaskannya. Harusnya, biarkan saja biar dia mengerti artinya benar-benar kehilangan.
"Hari ini, kau mau ikut aku ke kantor?" tanya Vante pada istrinya pagi ini, lalu mengecup dahi Andara dengan gerakan perlahan di atas ranjang empuk milik mereka berdua.
Andara diam, di balik selimut tebal yang melindungi tubuhnya, tubuhnya yang hanya bertelanjang tanpa baju sehelaipun. Sangat enggan meladeni ucapan suaminya yang membuatnya marah sejak kemarin.
Akibat permintaan cerainya, Vante bergerak membungkam mulut Andara dengan ciuman menuntut dah menghabisi tubuh istrinya dengan kenikmatan tanpa ampun. Sudah berulang kali Andara meminta ampun dan menolak, bahkan Vante menulikan telinganya.
Kini, saat tak ada pergerakan dari Andara, Vante menatap lekat wanita yang berkerumung di dalam selimut itu. "Kau marah padaku? Kau tahu, aku tidak suka mendengar kata menjijikkan itu keluar dari mulutmu. Sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku, Andara."
"Kau jahat, Te." Andara membuat matanya berkaca-kaca. Vante selalu saja egois dan tidak mementingkan perasaan Andara.
Vante menyadari ada isak tangis dari istrinya saat ini, akibat ulah yang diperbuatnya sejak dari dulu. Kemudian, Vante berusaha mendudukkan istrinya dengan pelan dan lembut. Bahkan, ia memangku Andara si kesayangannya dengan hati-hati. Semoga, Andara luluh kembali dan tidak ingin berkata cerai lagi pada suaminya tersebut.
"Maaf ... maaf ... jangan menangis, sayang ...." Vante mengungkapkan permohonan maaf dengan begitu tulus. Dia bersalah dan ingin semua pulih seperti semula. Haruskah Vante melepas Dena dengan cepat?
Andara menatap ke dalam manik kelam milik Vante, saling bertatapan dengan canggung membuat Andara sedikit meringsut maju menenggelamkan wajahnya di d**a bidang milik suaminya.
"Apa begitu akit? Aku minta maaf, hari ini kau tidak boleh berjalan dengan kakimu, aku yang akan menggendongmu seharian," titah Vante sekenanya. Dia memang harus memanjakan Andara saat ini sebagai rasa permohonan maaf karena telah menguasai Andara semalaman tanpa ampun.
Memilih untuk tidak bergeming, Andara diangkat Vante untuk digendong ala koala. Gendongan khas yang Andara sukai sejak mereka sama-sama masih di bangku perkuliahan.
"Aku malu, Vante. Tidak perlu menggendongku seharian seperti ini. Kau bisa pergi bekerja tanpaku, aku sudah tidak apa-apa, kok," tolak Andara secara halus. Tanpa sadar, Andara menggigit bahu Vante dengan giginya. Menurutnya, bahu berotot itu sangat enak digigiti di pagi hari ini. Pasti, Vante tidak akan marah ya, kan?
Tentu, Vante hanya tersenyum tipis melihat bahunya digigit oleh sang istri. "Aku tidak ke kantor, aku akan memanjakanmu seharian, Andara. Aku akan menghabiskan lebih banyak waktuku untukmu mulai sekarang."
***
Benar saja, sudah hampir tengah hari tapi Andara tidak pernah menggunakan kakinya untuk berjalan. Vante lah yang menggendongnya di depan seperti tadi, bagai anak bayi koala yang tidak bisa lepas dari induknya. Begitulah, ketika kita melihat pasangan suami istri itu yang terus menempel bagai perangko.
Bagi Vante, Andara adalah bayi koalanya yang harus benar-benar diperhatikan.
"Sayang?" Suara Vante tercipta, dia berjalan mengitari halaman rumahnya dengan Andara yang berada digendongannya. Sudah lama tidak berduaan dan bermain di halaman rumah mereka.
"Hmm?" Sebuah deheman dari Andara sebagai jawaban.
"Tadi malam aku tidak memakai pengaman, apa kita akan punya bayi?" Nada bicara Vante sedikit sumringah dan penuh antusias. Andara tidak salah dengar, kan?
"Mimpi. Aku selalu meminum pil pencegah kehamilan setiap melakukan hubungan badan denganmu." Ah, jawaban kekecewaan untuk Vante yang terlontar dari mulut Andara. Sesuatu seperti sedang menusuk jantung Vante.
Sebenarnya, Andara tak ingin memiliki anak bersama Vante secepat ini, jika laki-laki itu masih mempunyai wanita lain di hatinya. Siapa yang mau diduakan? Andara tidak ingin.
Sempat terdiam beberapa detik karena termangu dengan kekecewaan. Vante berusaha mengatur napasnya dengan normal. "Kau tidak mencintaiku, sayang?"
"Aku selalu mencintaimu, Te."
"Lalu, kapan malaikat kecil kita akan muncul di perut mungilmu ini?"
Andara membuang napas putus asa. "Lepaskan Dena, maka kau akan mendapatkan malaikat kecilmu, Vante," jawab Andara datar, iya tak yakin Vante akan mau melakukan itu demi dirinya.
"Baik. Jika Dena sudah kulepaskan, maka tepati janjimu."
Andara membulatkan matanya mendengar balasan Vante. Lalu, wanita itu mengangkat kepalanya dari bahu sang suami yang tengah menggendongnya. Mendapat tatapan terkejut dari istrinya, Vante berusaha mendudukkan Andara di meja taman halaman rumahnya tersebut.
Vante memilih berlutut untuk mencium sepasang kaki Andara yang bersih dan mulus tersebut, lalu naik mencium perut mungil Andara. Terakhir, kedua tangannya menangkup wajah Andara dan mendaratkan ciuman-ciuman ringan di seluruh wajah wanita itu.
"Aku tidak pernah bermain-main untuk mengajakmu menikah dulu. Hanya saja, waktu itu aku benar-benar pusing dengan keadaan Dena. Aku meminta Raihan untuk selalu mengawasimu dan menjagamu kemanapun kau pergi. Tapi, ternyata aku sangat bodoh." Vante terkekeh mengingat kelakuan bodohnya itu. "Raihan mengambil Andara dariku," sambungnya lagi.
"T-te ...." Andara berlirih pelan. Apa yang harus ia katakan sekarang? Andara tahu Vante sangat serius sewaktu mengajak menikah dahulu. Hanya saja, sekarang Vante menghianatinya dan berselingkuh dengan Dena. Bahkan, saat sudah ketahuan, Vante tetap melanjutkan hubungan terlarang tersebut. Di lain sisi, tentu Andara sangat menyayangi Vante Adinan. Jika kata orang lain Andara terlalu dibutakan dengan cinta dari Vante. Maka, itu sangat benar adanya.
"Apa kau mau menunggu sebentar lagi? Tolong jangan lihat Raihan. Kau harus selalu melihatku, aku rapuh Andara .... Aku sangat membutuhkanmu dalam kehidupanku."
"Aku tidak tahu dengan perasaanku sendiri, Te. Ini, terlalu rumit ...."
"Aku memberikanmu cinta dan luka di saat yang bersamaan, ya?"
Andara melirik takut-takut pada suaminya itu. Lalu, mengangguk kecil sebagai jawaban dari pertanyaan sang suami. "Kau bunga yang cantik untuk kehidupanku dan juga sekaligus duri yang menghancurkan kehidupanku secara perlahan."
Vante terdiam sebentar sembari mengusap pipi Andara. Bahkan, kalimat yang dilontarkan Andara tadi, dia mengakuinya dan setuju. "Maafkan aku ...."
Andara menghela napas kecewa, entah sudah berapa banyak kesabaran yang ia keluarkan. "Aku bosa mendengar kalimat itu. Semua aku kembalikan padamu, Te."
"Kau mencintaiku, kan?"
"Kau mungkin sudah tau jawabannya apa."
"Aku akan berusaha membuat kau kembali lagi kepadaku istriku ...." Tanpa aba-aba, Vante mendaratkan bibirnya pada bibir merah jambu milik Andara. Melumat lembut bibir istrinya, agar si kesayangan dapat merasakan ciuman Vante yang begitu tulus dan penuh kasih cinta.
"Paman Vante, kenapa Paman memakan mulut aunty Dara? tanya seorang anak kecil yang sedari tadi melihat Vante melumat bibir aunty-nya.
Janji, berapa banyak kata lagi yang akan diimingkan agar si kesayangan tetap bertahan di genggamanmu?
•••