21

820 Kata
          Keesokan harinya saat Hendry memasuki ruangan perawatan Ollie dan duduk di dekatnya, Ollie diam dan merenung. Membuat Hendry apa telah terjadi sesuatu kapadanya. Hari ini ayah dan ibu Ollie, serta ibu Hendry ada dan duduk di sofa menemani Ollie yang sedang berbincang dengan wajah yang senang. Saat Hendry masuk, mereka tersenyum kearahnya dan segera menuju kursi yang ada di sebelah tempat tidur Ollie.           ”Ada apa? Mengapa wajah cantik ini berubah? Seharusnya wajah ini terlihat gembira, apalagi aku sudah di sini.” Bisik Hendry ditelinga Ollie, yang terlihat sendu itu. Biasanya candaan seperti itu akan membuat Ollie tersenyum geli dan berusaha untuk tidak tertawa, tetapi hari ini respon itu tidak ada.           Ollie memandang Hendry dengan meneliti wajahnya, dan beralih ke tangan Hendry yang menggenggam kotak perhiasan. Yang sedang dibuka Hendry dan mengambil cincin yang ada di dalamnya, kemudian ia menggenggam tangan Ollie untuk memasangkan cincin tersebut ke jarinya. Ollie mengepalkan tangannya, membuat Hendry heran.           ”Mengapa Kau mengepalkan tanganmu seperti ini?” Hendry bertanya lembut.           Ollie masih diam, dan memalingkan wajahnya dari Hendry untuk memandang ke sebelah dinding kamarnya seperti ketika Hendry melamar Ollie kemarin. Hendry menggenggam tangan Ollie dan mengusapkan ke pipinya.           ”Ada apa? Apakah kau berubah pikiran kembali?”           Ollie memasang wajah tegang dan masih tidak mau memandang kearah Hendry berada. ”Apakah kau benar-benar ingin menikah denganku?”           Karena Ollie tidak memandang kearahnya, Hendry yang semula mengangguk akhirnya menjawab dengan suara yakin. ”Iya.”           ”Mengapa?”           ”Tidak mungkin aku jauh-jauh datang kemari, jika aku tidak serius.”           ”Apakah bukan karena kau kasihan kepadaku.”           Hendry tersinggung dengan perkataan Ollie, ia memandang Ollie tak percaya dengan tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Ia menggelengkan kepala dengan rasa tak percaya apa yang baru saja ia dengar, kemudian memegang lembut wajah Ollie dan berusaha membalikkannya untuk menghadap kearahnya. Namun Ollie tetap tidak mau berpaling.           ”Lihat kearahku?” perintah tegas Hendry kepada Ollie. ”Lihat aku saat mengatakan alasannya?” bujuk Hendry.           Ollie masih tetap belum bergeming untuk memenuhi permintaan Hendry yang tegas, dan akhirnya nada membujuk Hendry yang meluluhkan Ollie untuk menatap Hendry.           ”Lihat mataku, apakah aku main-main dengan perasaan ini atau bagaimana perasaanku yang terlihat oleh menurutmu. Please?”           Ollie berpaling dengan berusaha untuk menahan air mata yang ia tahan agar tidak keluar. Hendry mendesah, ia tercabik melihat Ollie yang murung seperti ini. Biasanya Ollie selalu berusaha untuk tampil ceria dan tidak mengeluh apapun walaupun wajahnya terlihat kesakitan.           ”Aku tulus suka denganmu. Bukan kasihan, bukan rasa iba yang melandasinya tetapi aku benar-benar ingin bersamamu. Apa yang pernah aku ucapkan selama ini bukan gombal, itu tulus keluar dari hatiku.”           ”Aku ingin menjagamu selalu, mungkin kau tidak percaya tetapi itu sudah terjadi semenjak kita masih kecil. Aku tidak jauh-jauh datang kemari kalau bukan karena aku suka padamu. Dan satu hal yangg perlu kau tahu. Tidak pernah ada orang lain yang bisa membuatku seperti ini. Aku jatuh cinta kepada orang yang sama dua kali. Aku sudah menyukaimu saat pertama kali kita bertemu di toko buku itu, walau aku belum tahu bahwa dirimu ternyata orang yang sama.”           Ketulusan dari perkataan Hendry membuat Ollie menangis. Tidak pernah ada seorangpun semasa hidup yang ia tahu, ada orang yang menyukainya dengan tulus seperti Hendry. Dan sekarang, saat ia sakit sekalipun Hendry tetap tidak berpaling darinya.           ”Kau mungkin lebih tahu daripada aku, tentang sakit yang aku derita ini. Aku pernah mendengar bahwa orang yang menderita penyakit jantung tidak akan bisa mempunyai anak. Aku rasa kau ingin memiliki anak. Tetapi diriku ini mungkin tidak akan bisa memberikan itu.”           Hendry duduk disisi tempat tidur Ollie dan memeluknya dengan lembut di dadanya, berusaha menenangkan Ollie yang menangis tersedu.           ”Hei... kecil. Aku tetap ingin bersamamu, apapun yang terjadi. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain bersamamu setiap hari seperti ini. Kau tidak perlu memikirkan apa yang masih menjadi rahasia Allah. Kau bisa mempunyai bayi atau tidak itu semua tergantung dari kehendak-Nya.”           ”Tetapi sakitku ini...” Ollie masih gusar dengan penjelasan Hendry.              ”Jika kau percaya kepadaku. Aku akan berusaha membuatmu sembuh dan memastikan mempunyai bayi, jika Tuhan mengizinkannya. Itu tugas yang akan membuatku bangga.”           Hendry membuai Ollie di dadanya, sampai tangis Ollie berhenti. Ia membaringkan Ollie dengan lembut dan tersenyum.           “’Apakah dirimu mau menikah denganku?”           Pandangan mata yang bertemu itu, membuat Ollie bahagia dan mengangguk dengan yakin. Alasan Hendry menikahinya dan janji yang dibuat Hendry terdengar sangat menenangkannya. Hendry memasangkan cincin ke jari Ollie dan mengecup lembut keningnya.           ”Ini berarti kau terikat denganku selamanya, dan tidak bisa kau tarik lagi.” Hendry berbisik di telinga Ollie dengan nada bicara menggoda, walaupun serius. Ollie mengangguk dan tersenyum di tengah air mata yang masih mengaliri pipinya.           Hendry mengusap air mata itu, dan tersenyum memandangnya. ”Jangan menangis lagi, sayang. Kita hadapi bersama semua ini.” Hendry berdiri dan menyentuhkan telunjuknya ke hidung Ollie. ”Aku bertugas dulu. Nanti aku kembali, sekarang saatnya dirimu istirahat dan jangan berpikir yang tidak-tidak.” Tegur Hendry dan berlalu keluar ruangan perawatan Ollie.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN