13

1395 Kata
Satu jam menunggu dalam hening yang sangat lama, tanpa ada yang dikerjakan sementara menunggu. Melihat anaknya yang terlihat lelah, dan terus menggenggam jemari Ollie. Hendry terlihat seakan harus memastikan bahwa denyut jantungnya masih ada, walaupun ada alat yang sudah memantau kondisi jantungnya. Terdengar pintu di buka, dan ada tiga orang dewasa serta anak kecil yang masih digendong memasuki ruangan itu.           ”Saya Didi, saudaranya Ollie.” mengulurkan tangan kearah Hendry sambil berkata ”Anda yang menelpon saya tadi?” Hendry mengangguk dan menjabat tangan yang diulurkan kearahnya.           ”Iya, benar.” Jawab Hendry singkat.           ”Yah, Te lagi bobo ya?” tanya bocah polos itu kepada ayahnya.           ”Iya, Tante Ais lagi bobo. Jadi jangan di ganggu ya!” Didi membelai kepala putri kecilnya.           ”Ais, mau main ama Te. Bunda, Ais mau ke tempat tidur Te. Biar Ais bangunin Te.” Bocah kecil itu merengek kepada ibunya.           ”Aisyah tidak boleh nakal. Tante Ais lagi sakit, sekarang lagi istirahat tidak boleh diganggu sayang.” Melihat putrinya seperti mau menangis karena kemauannya tidak dituruti, ibunya kembali menenangkannya. ”Kalau Tantenya udah sehat, Ais pasti digendong sama Te lagi. Sekarang Ais harus jadi anak pintar ya...! em... bagaimana kalau kita jajan, di luar tadi Bunda lihat ada yang jual permen?” putrinya mengangguk semangat.           Sementara wajah seorang gadis yang usianya paling muda diantara mereka, kelihatan pucat dengan air mata yang membanjiri pipinya sambil menggigit tangannya untuk manahan isakan tangis. Ia tertegun berdiri dekat pintu, melihat kearah Ollie yang masih belum sadarkan diri. Didi memandang adiknya itu yang tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan merangkulnya.           ”Sudah Lulu, jangan menangis seperti itu lagi. Kak Ollie pasti sembuh.” Gadis yang dipanggil Lulu itu mengangguk dan menghapus air matanya dengan lengan baju.           ”Kalian harus tenang, suasana yang bising bisa menyebabkan detak jantungnya kembali menjadi tidak stabil, kondisinya untuk saat ini stabil walaupun belum siuman.” Hendry menatap Didi dengan tenang sebelum mengatakan lebih lanjut tentang keadaan Ollie. ”Apakah anda sekarang ingin mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya kesehatan Ollie? Atau masih membutuhkan sedikit waktu?”           ”Besok saja menjelaskan secara rinci ketika Kak Dian atau orangtua kami datang. Penjelasan di telpon tadi saja sudah cukup untuk saat ini.” Didi sepertinya tidak sanggup untuk mendengar secara rinci tentang penyakit kakaknya, dan lebih memilih untuk mengetahui secara bersama dengan keluarga besarnya.           ”Kalau begitu saya permisi dulu, nanti kembali lagi untuk mengecek kondisinya. Saya akan mengantar ibu saya yang baru tiba hari ini.” Hendry menggandeng lengan ibunya untuk keluar.           ”Anda dokter yang menanganinya?” tanya Didi sebelum Hendry dan ibunya meninggalkan ruangan itu.           ”Iya. Saya dr. Hendry. Saya akan berusaha untuk membuat dia kembali pulih, dan dia harus pulih.” Kata Hendry dan memandang Ollie dengan tatapan lembut. ”Saya permisi dulu.”           Didi dan Lulu menghampiri tempat tidur, duduk di kursi dekat tempat tidur Ollie. ”Kak, Kak Ollie akan sembuhkan?” Lulu bertanya tanpa memandang Didi, wajahnya terus memandangi wajah pucat Ollie. ”Ayah dan Ibu kapan datangnya? Juga Kak Dian kapan datang dia lebih bisa mengerti bagaimana situasi Kak Ollie saat ini. Dia kan perawat.” Dengan suara tangisnya, namun tidak berani kencang karena takut kondisi Ollie akan semakin buruk.           ”Ayah dan Ibu besok baru ke sini, karena ayah masih diluar kota. Perjalanan kemari pasti membutuhkan waktu. Sedangkan Kak Dian masih dinas yang tidak bisa juga dia tinggalkan, ia juga besok sore ke sini. Yang penting sekarang kondisi Kak Ollie stabil.”           Mereka berdua membisu sambil menatap Ollie yang tidur, biasanya selalu saja mereka yang Ollie urus kalau lagi sakit. Sekarang mereka yang harus menjaga Ollie dan sedikit panik apa yang harus dilakukan, namun berusaha tetap tenang. Didi berdiri dari kursinya karena tidak tahan memandangi Ollie yang tidak bergerak sedikitpun. Ia mengusap wajahnya untuk menahan emosinya, lalu berjalan pelan mondar-mandir di sekliling kamar selama lima menit.           ”Kak! Kakak harus kuat, harus sembuh. Cepatlah bangun, Kak.” Lulu kembali terisak, sambil menggenggam tangan Ollie. Melihat Lulu terisak kembali, Didi kembali duduk di kursinya semula dan menenangkan adiknya itu sambil mengusap punggungnya.           ”Kita berdo’a saja kepada Allah untuk kesembuhan Kak Ollie. Segala sesuatu terjadi sudah atas kehendak dan seijin-Nya. Kita harus tabah demi Kak Ollie.” Didi menasehati adiknya.           Didi membungkuk kearah Ollie dan berbisik. ”Kak Ollie, cepat sembuh kak. Semua rindu dengan kakak, terutama Ais.” ∞           ”Kak...! Kak Ollie, kita ke sungai dekat sawah yuk? Mancing ikan!” suara Didi berteriak dan ia sedikit berlari menghampiri Ollie, sambil nyengir lebar setelah dekat.           ”Boleh. Ayo, semua peralatan sudah lengkap kau bawa.” Ollie tersenyum senang. Didi mengangguk dan mereka berjalan menuju ke sungai dan berjalan melewati sawah.           Di jalan mereka berpas-pasan dengan Hendry yang lagi bermain sepeda, Ollie dan Didi sangat dekat. Didi satu-sattu anak laki-laki di keluarga mereka, mereka sangat dekat  karena Ollie suka kegiatan yang dilakukan Didi. Mereka tiba di sungai segera mencari posisi yang menurut mereka strategis tempat adanya ikan. Mereka asik menikmati acara mereka, tiba-tiba dikejutkan oleh suara anak laki-laki lain di belakang mereka.           ” Violet! Apa yang sedang kalian lakukan?” Didi dan Ollie menoleh serentak kearah datangnya suara. Mereka melihat Hendry berdiri tidak jauh dari mereka sambil melipat tangannya di d**a.           ”Memancing.” jawab Ollie cuek dan kembali fokus ke arah pancingnya.           ”Kalian berdua tidak takut, bakalan ada orang jahat yang datang kemari.” Hendry memandang Ollie dengan tajam.           ”Wilayah ini masih dekat dengan desa, lagi pula penduduk desa banyak yang pergi ke sawah. Jadi tidak ada orang jahatnya.” Ollie berdebat dengan Hendry.           Hendry berjalan dan duduk tidak jauh dari Ollie berada di bawah lindungan pohon yang tumbuh didekat sungai. Mendengar Hendry duduk di dekat tempatnya memancing Ollie menoleh dan melihat Hendry masih memperhatikannya.           ”Daripada bengong seperti itu, lebih baik ikut memancing.” Ollie berjalan kearah Didi yang masih menyimpang pancingan yang belum digunakan. Ia berjalan kearah Hendry kembali dan menyerahkan pancing tersebut kepadanya.           ”Ini.” Ollie menyerahkan pancing dan umpannya kepada Hendry, kemudian kembali ke tempatnya semula. ”Mengapa mengikuti kami?” Ollie bertanya tanpa melihat kearah Hendry lagi.           ”Aku tadi sudah bilang, bagaimana kalau ada orang jahat yang berniat tidak baik kepada kalian. Kalian hanya berdua, badan kalian kecil dan terlihat lemah. Itu mengundang penjahat untuk berbuat jahat.” Hendry berkata tegas kepada Ollie.           ”Terus... apa bedanya sekarang?” tanya Ollie sedikit kesal dengan teman sekelasnya ini.           ”Minimal sekarang, kita jadi bertiga. Aku lebih kuat daripada kalian berdua.”           ”Mau sok jadi pahlawan?” Ollie melirik Hendry yang ternyata masih terus memandang dengan tajam Ollie, membuat Ollie sebal. ”Ok, terserah kamu saja.”           Didi memperoleh ikan yang cukup besar sambi teriak ”Kak, Didi dapat nih.” Sambil mengacungkan ikan yang ia peroleh dengan bangga.           ”Bagus. Nanti kita bisa makan ikan bakar.” Ollie balas teriak sambil tersenyum bangga kepada adiknya.           Mereka memancing selama tiga jam, yang mendapat hasil paling banyak Didi. Ollie mendapakan seekor ikan kecil, namun saat menarik kailnya ia benar-benar senang. Sedangkan Hendry hanya membenamkan kailnya dan tidak berniat untuk memancing, pandangannya berulang kali kearah Ollie duduk dan berdiri mengatur kailnya. Saat Ollie menarik kail yang dimakan ikan, ia menghampirinya dan membantu menarik kail tersebut. Karena takut Ollie masuk ke sungai, ia tahu Ollie tidak bisa berenang.           Mereka berjalan pulang beriringan, Ollie di tengah dan Hendry di belakangnya. ”Kau, tidak memancing tadi. Hanya membenamkan mata kail ke sungai. Kenapa?” tanya Ollie.           ”Aku hanya memastikan bahwa kau baik-baik saja. Aku ke sana tadi untuk melindungimu.”           ”Sok, keren dan kuat. Kami sering ke sana berdua, tidak pernah terjadi apa-apa. Mengapa hari ini harus berbeda? Banyak orang yang berjalan ke sana, juga banyak orang yang kenal di sana. Sawahnya kan lagi di garap.”           ”Bagaimana dengan ular atau binatang buas lainnya?” Hendry ngotot bahwa alasan ia benar tadi.           ”Kamu benar-benar paranoid, kalau seperti itu.” Ollie berbalik tiba-tiba sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.           Hendry tidak melihat Ollie yang tiba-tiba berbalik dan berhenti, ia mengerem jalannya mendadak dan sedikit terpleset di pematang. Membuat mereka berdua hampir jatuh ke sawah di sampingnya. Melihat wajah Ollie berubah sedikit pucat dan agak kelelahan, Hendry bertanya penuh selidik.           ”Kau kenapa Vio? Sakit?” tetapi Ollie segera berbalik badan dan berjalan kembali meninggalkan Hendry di belakang.           ”Hei... kecil! Kau tidak apa-apa?” Hendry mempercepat jalannya untuk mengejar Ollie.           ”Aku tidak apa-apa.” Mereka akhirnya sampai di desa, Ollie dan adiknya Didi langsung pulang, sedangkan Hendry mengambil sepeda yang ia letakkan di pinggir jalan dan melaju pulang. Rumah Ollie lebih jauh dari rumahnya dari sawah, ia melihat punggung Ollie sampai di tikungan dan tidak lagi kelihatan baru masuk ke rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN