6

1334 Kata
          Sesampai di rumahnya, Ollie tidak melihat adiknya. Kemana perginya? Adiknya menginap semalam di sini. Ollie mengontrak rumah ini semenjak bekerja, Ollie bekerja di bidang riset operasi di sebuah perusahaan. Ia tinggal sendirian di sini, tetapi adiknya yang kuliah sesekali datang berkunjung. Adik terkecilnya tinggal dengan saudara yang sudah menikah karena rumahnya lebih dekat ke kampus.           Setelah meletakkan makanan yang dibelinya tadi sebelum pulang di dalam kulkas, Ollie masuk ke kamarnya dan mengeluarkan buku yang dibelinya tadi. Sambil tiduran di kasurnya, dia membolak balik halaman buku. Namun perhatiannya teralihkan karena teringat kejadian di toko buku tadi, dia menabrak seorang laki-laki.           Setelah kejadian itu, ia merasa seperti diamati tetapi ketika membalikkan badan tak seorangpun yang melihat kearahnya. Dan lelaki itu pun tidak kelihatan disekitarnya, tetapi saat di kasir. Tiba-tiba lelaki itu sudah berada di belakangnya mengantri.           Perasaan canggung dan salah tingkah membuatnya tidak tenang selama mengantri. Setelah membayar dan mengambil barangnya, sambil senyum dan mengucapkan terima kasih langsung putar haluan dan bergegas pergi keluar.           Lelaki itu tampan, lebih tinggi dari Ollie sehingga harus mendonggak untuk memandang wajahnya ketika mereka bebarengan meminta maaf setelah tabrakan tadi. Saat menabrak tadi Ollie terpundur ke belakang karena lelaki itu mempunyai badan yang atletis, parfum yang tercium sepintas olehnya sangat lembut. Ollie menyukai bau itu, walaupun selama ini ia terkenal hidung sensitif dengan bau. Kebanyakan parfum yang dibauinya akan membuatnya mual, tetapi wangi pria itu tadi benar-benar enak di hidungnya.           Sambil menggelengkan kepalanya karena sudah melamun dengan pertemuan tanpa di sengaja tadi, ia memfokuskan ke buku yang di belinya. Sebuah n****+, koleksinya sudah banyak tetapi bila melihat buku baru dan sinopsis yang dibacanya menarik membuat ia tidak tahan untuk tidak membelinya.           Ollie membaca tanpa melihat jam berapa sekarang dan sudah berapa lama ia membaca, suasana tenang karena sendiri membuatnya tidak terganggu. Saat sinar matahari yang masuk ke kamarnya dengan warna kemerahan, adiknya menerobos kamar dan tidur di sampingnya. Adiknya membuka pintu dengan kunci duplikat yang diberikan Ollie, dan bisa masuk saat berkunjung jika Ollie tidak ada di rumah.           ”Istirahat, tidak begini caranya kakakku sayang!” Lulu menegur Ollie sambil merangkulnya.           ”Istirahat fisik, memang bukan seperti ini. Tetapi untuk menghilangkan pikiran yang ada di kepala, ini lebih baik.” Ollie menjawab Lulu, dan menandai halaman yang sudah di bacanya.           ”Dari mana?” Ollie duduk dan memandangnya sambil cemberut, geli dan bermacam emosi yang ditampilkannya, sehingga membuat adiknya tertawa.           ”Sepi tidak ada pengacaunya?” goda Lulu, ”Tadi menyusul kakak, tetapi sepertinya selisih jalan, jadi tidak ketemu.”           ”Kenapa tidak hubungi kakak, kan bisa ditunggu.” Sambil berdiri dan berjalan keluar kamar. ”Ayo kita makan, tadi kakak beli makanan.”           ”Apa yang kita makan sekarang?” Lulu bertanya dengan mengekor tepat di belakang Ollie.           ”Sesuatu yang panas, bentuknya bulat. Tetapi karena tadi dimasukkan ke dalam kulkas, harus dipanaskan dulu.” Ollie membuka kulkas dan mengeluarkan yang dibelinya tadi.           Lulu mengambil bungkusan itu dan berjalan ke arah kompor untuk memanaskan bakso itu. ”Bakso! Em... baunya enak. Kebetulan lagi lapar neh.”           Mereka makan sambil menonton televisi, acara musik menambah asyik mereka makan sambil bercanda. Rumah kontrakan Ollie tidak besar, tidak mempunyai ruangan spesial untuk makan hanya ada dapur dengan satu meja tempat kompor berada, ruangan santai merangkap ruang tamu dan tempat makan, satu kamar tidur dan satu kamar mandi.           ”Bagaimana keadaan di rumah? Pasti kena omel lagi kalau melihat dari situasi kakak sekarang.” Lulu berkomentar tanpa melihat kearah Ollie dan fokus melihat acara di televisi sambil menyuapkan makanan kedalam mulutnya.           ”Iya mau bagaimana lagi, resiko berumur kepala tiga namun belum menikah. Iya beginilah menjadi beban pikiran semua orang, tetapi orang yang diomelin yang lebih menderita.” Ollie mendesah suara yang terdengar ia mempunyai beban yang berat di dadanya, tetapi pasrah dengan keadaannya. ”Setiap orang ingin semua yang diinginkannya terwujud, tetapi kalau yang di atas belum mengizinkan untuk terwujud apakah kita harus memaksakan diri. Dipaksa juga tidak akan bisa terjadi tanpa seizin-Nya. Dan aku yakin bahwa Allah telah menentukan jodohku dan akan mempertemukannya, jika semuanya sudah siap. Tidak akan sedetikpun lebih cepat dan tidak sedetikpun lebih lambat terjadi.”           Ollie menoleh kearah adiknya yang sudah memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian tersenyum jelas menunjukkan bahwa ia percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk menimpanya tanpa ada rencana yang lebih baik buatnya. ”Indah pada waktunya!”           ”Itu betul. Saya sangat setuju.” Lulu tersenyum melihat mendung di wajah kakaknya sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tertawa bersama dan meneruskan makannya, sambil menonton acara di televisi dan mengobrol.           ”Mungkin pangeran berjubah putih yang akan datang melamarku.” Ollie berkata dengan gaya lucu. Membuat Lulu tergelak dan karena mulutnya penuh dengan makanan ia sedikit tersedak, lalu menyingkirkan mangkok yang dipegangnya dan mengambil air untuk meredakan tersedaknya dengan minum banyak-banyak.           ”Jangan berkata dengan gaya itu lagi, kak!” Lulu yang baru bisa bernafas lega setelah minum air yang banyak dengan cemberut. Ollie tersenyum jahil. ”Apakah masih ada pangeran di jaman modern ini?” Lulu bertanya sambil berpikir sehingga keningnya berkerut.           ”Minimalkan pangeran hatiku.” Ollie tergelak melihat adiknya dengan ekspresi dari berpikir menjadi cemberut seperti dipermainkan dan memandang tak percaya kepada Ollie. ”Itu tetap saja mungkin. Pangeran berjubah putih akan datang untukku.”           Lulu menggeleng kepala kearah kakaknya yang memang sangat senang dengan cerita dongeng. Mereka menghabiskan hari itu dengan berbaring malas-malasan di sofa, sambil menonton atau membaca buku.   ∞           Hendry terus memikirkan gadis yang ditemuinya siang tadi di toko buku, dia tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Selama ini, tidak ada seorangpun wanita yang menarik perhatiannya. Ketertarikan dirinya begitu kuat dengan gadis itu membuatnya resah, dan menjadi pemikirannya.           Suara lembut yang terlontar meminta maaf saat tabrakan yang disengajanya tadi terus terngiang di benaknya. Senyum malu-malu dan merasa bersalah itu, menggantikan senyuman yang selama ini dalam ingatannya. Semakin dia memperhatikan tingkah laku gadis itu, semakin terpikat ia. Seperti magnet matanya tidak dapat melepaskan pandangannya. Walaupun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ini benar-benar tidak seperti dirinya batin Hendry resah.           Tanpa sadar ia meraih ponsel dan menelpon ibunya, sambil terus mengingat gadis itu. ”Halo, Dry. Apa kabarmu sekarang? Ada kabar apa?” sapaan riang dari ibunya membuat dia bingung apa yang mau ia ceritakan. Lama terdiam sampai terdengar kembali suara ibunya. ”Semua baik-baik saja, Dry? Kau tidak apa-apa sayang?” kata ibunya dengan nada khawatir.           ”Aku baik-baik saja, Mom. Kabar tentang dia masih seperti kemarin dia berada di kota yang sama denganku saat ini, tetapi aku belum tahu keberadaannya.”           ”Terus kenapa menelpon ibu? Ada hal yang perlu ibu ketahui?”           ”Iya... tidak... Dry tidak tahu Mom. Bingung ingin memulai dari mana.”           ”Darimana kau ingin ibu tahu duluan. Sisanya setelah kau siap itu lebih baik!” usul ibunya berusaha memecah kebingungan putranya.           ”Dry, bertemu dengan seorang gadis yang sepintas mirip dengan Violet tadi siang. Semakin aku lihat, kemiripan itu benar ada. Tetapi gaya dan sikapnya berbeda, dia juga tidak mengenaliku walaupun sudah berhadapan muka. Dry bingung, Mom? Mengapa Dry tertarik dengan gadis itu? Selama ini tidak seperti ini.” Desahan panjang keluar dari mulut Hendry.           ”Mungkin karena terlalu ingin bertemu dengannya, jadi saat melihat orang yang mirip tingkahnya membuatmu jadi tertarik.” Ibunya mencoba mengusulkan pendapat untuk menenangkan.           ”Yang membuat Dry resah, senyum yang selama ini selalu Dry ingat berubah menjadi senyum dia, Mom.”           ”Apakah bukan orang yang sama? Orangkan bisa berubah sikapnya setelah dewasa. Sudah berkenalan dengan dia?” ibunya menawarkan alternatif pemecahan masalahnya.           ”Dry belum sempat berkenalan dan juga belum tahu siapa namanya. Jadi Dry tidak tahu apakah itu dia atau orang lain. Sudah dulu ya, Mom. Dry kabari lagi kalau ada perkembangan lain. Dry tidak tahu mau mengobrol dengan siapa tentang masalah ini.”           ”Jangan terlalu dipikirkan, jalani saja. Ibu tunggu kabar darimu sayang.”             Sambungan telpon terputus, Hendry mencoba untuk tidur sambil berpikir apakah keputusannya tujuh tahun yang lalu salah. Ia seharusnya mencarinya dulu saat itu baru melanjutkan study, tetapi sekarang dalam pencariannya menjadi lebih sulit untuk melacak keberadaan Violet di kota ini, tanpa harus mengungkapkan alasan mengapa ia mencarinya kepada orang tua Violet. Dan apakah hal ini sudah benar-benar terlambat buatnya. Jauh malam baru dia tertidur, tidur yang gelisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN