Setelah Selesai berbelanja dua gadis itu kembali ke dalam mobil di mana Chiko menunggu di sana dan langsung pulang menuju apartemen Akira. Sepanjang perjalanan, Jelita dan Akira terus mengobrol berdua dan membiarkan Chiko fokus berkendara. Entah kenapa Chiko merasa senang karena kedekatan dua orang itu. Chiko masih belum mau mengakui bahwa perasan lega, perasaan senang dan perasaan seperti memiliki harapan yang kini hadir di dalam hatinya alasannya adalah tertarik. Atau mungkin sudah jantuh cinta? Hanya Chiko dan hatinya serta Tuhan yang tahu. Jika tidak terus-terusan di sangkal, seharusnya perasaan itu sudah semakin jelas.
Sesampainya di apartemen ketiganya turun dan Jelita membiarkan Chiko yang membawa barang belanjaanya sementara dia menggandeng Akira berjalan menuju kamar Akira tanpa membawa apapun. Dan Akira kembali merasa kagum dengan sikap Chiko yang tidak protes atau merasa di rendahkan sedikitpun oleh adiknya itu. Adrian dan Lisa sangat sukses mendidik sikap anak-anaknya. Biasanya di dalam sebuah keluarga, jika anak-anak sudah besar maka mereka akan sibuk dengan kehidupannya masing-masing dan hubungannya menjadi renggang. Tapi Chiko dan saudaranya tidak seperti itu. Dengan kakak yang sebelumnya memukulinya dan memarahinya dengan keras saja, Chiko tidak menaruh dendam dan kembali akrab lagi setelah masalah selesai. Tiba-tiba saja terbersit rasa takut di kepala Akira, bisakah dia mendidik anak-anaknya sebaik itu kelak?
“Selain kita siapa yang pernah datang ke apartemen mbak?” Tanya Jelita ketika mereka sampai di depan pintu unit milik Akira. Chiko sendiri sedang melihat-lihat sekitar kembali memikirkan ucapan Melani yang mengatakan bahwa Apartemen ini tidak aman. Yang Chiko tahu, Melani sudah tinggal selama lima bulan di tempat ini. Sebelumnya wanita itu bilang apartemen barunya cukup nyaman dan tidak terlalu mahal. Melihat dari jenis unit yang di huni oleh Akira, mungkin memang tidak terlalu mahal. Tapi Chiko tidak tahu Melani tinggal di jenis unit yang apa. Jika unit yang di huni Melani sama jenisnya dengan yang di huni Akira, maka kemungkinan Akira juga tidak aman. Chiko menjadi khawatir karena itu dia mengirim chat pada Melani untuk menanyakan jenis unit mana yang dia bilang tidak aman itu.
“Nggak ada, soalnya aku juga belum lama di sini. Baru sekitar lima bulanan semenjak pertama kerja.” Jawab Akira. Jelita tersenyum senang karena itu berarti dia adalah orang pertama yang didijinkan masuk ke tempat tinggal kakak iparnya itu.
“Kalian masuk dulu, aku mau terima telpon dulu.” Ucap Chiko bersandar di tembok dekat pintu.
“Masuk aja mas, bisa terima telepon di balkon kalau mau. Soalnya di sekitar sini banyak penggemar mas.” Ucap Akira seperti apa yang di katakan Melani.
“Oke deh.” Putus Chiko akhirnya ikut masuk ke dalam ruangan yang ketika pertama masuk sudah di penuhi wangi Akira. Bukan jenis wangi dari parfum mahal seperti yang sering Chiko cium ketika bertemu rekan-rekan sesama selebritisnya, tapi Chiko suka. Perpaduan antara wangi buah dan permen, seperti wangi-wangi yang di sukai anak kecil. Jenis wangi yang membuat hidung merasa nyaman.
Selain itu yang menjadi perhatian Chiko selanjutnya adalah kerapihan tempat itu, dan koleksi boneka-boneka lucu seperti milik Jelita. Tapi laki-laki itu tidak bisa mengamati lebih jauh karena ponselnya sudah berdering sejak tadi.
“Hallo Mel.”
“Masih di tempat teman mas?” Tanya wanita itu.
“Iya masih, kenapa Mel? Oh iya kamu di jenis unit yang mana tinggalnya? Seluruh gedung apartemen ini tidak aman atau bagian tertentu saja? Soalnya aku lihat di unit temanku penjagaanya cukup bagus.” Ucap Chiko langsung pada inti masalahnya karena jika Melani berada di jenis unit yang sama dengan Akira, laki-laki itu akan mencari seribu cara agar Akira pindah tempat tinggal.
“Pokoknya lantai dua puluh nggak aman mas, aku soalnya sebelumnya tinggal di lantai dua puluh. Mas mendingan jangan kelamaan di situ deh, banyak fans mas di situ.” Ucap Melani. Chiko kemudian melongokkan wajahnya sambil menutupi speaker di ponselnya.
“Apartemen kamu ini di lantai berapa Ches tadi?” Tanya laki-laki itu. Akira sedikit kaget karena tiba-tiba saja Chiko merubah nama panggilannya. Biasnya orang lain memanggil Akira, Ira atau Akira. Hanya keluarganya saja yang memanggilnya Chesa.
“Lantai dua puluh ini mas.” Jawab Akira.
“Tadi kan naik lift pencetnya angka dua puluh mas, gimana sih.” Omel Jelita karena sedikit sebal kakaknya fokus pada ponselnya terus.
Mendengar jawaban Akira, Chiko menjadi semakin khawatir. Laki-laki itu kemudian mengakhiri sambungan telponnya dengan Melani dan duduk di sofa kecil yang ada di kamar itu dengan gelisah. Otaknya sedang berputar keras memikirkan alasan agar Akira mau pindah tapi sekaligus jangan sampai Akira berpikiran macam-macam.
Laki-laki itu menjadi kesal sendiri. Kenapa dia harus peduli pada Akira? Padahal gadis itu mungkin saja salah satu dari orang yang ingin menjebaknya dengan skandal. Isi kepalanya menjadi tidak tentram lagi semenjak opertemuan pertamanya dengan Akira. Chiko tidak menginginkan perasaan khawatir itu, tapi dia tidak bisa mengusirnya.
“Mas ngapain nanyain apartemen mbak Chesa lantai berapa? Jangan bilang mau diam-diam beli apartemen di sini buat nguntit mbak Chesa yah?” Jelita memicing curiga. Chiko tersenyum geli mendengar kecurigaan adiknya dan pemikirannya yang kadang luar biasa itu.
“Kurang kerjaan banget, mas nggak ada waktu buat melakukan hal kekanakan semacam menguntit.” Sangkal Chiko dengan percaya diri. Laki-laki itu lupa bahwa beberapa jam yang lalu dia baru saja melakukannya dengan mengikuti Akira dari tempat kerja sampai ke apartemennya.
Akira mendengarkan saja, sambil fokus memasak. Menyembunyikan debaran jantungnya karena seorang actor besar dan adiknya saat ini berada di dalam ruangan apartemennya yang tidak begitu luas. Akira merasa sedikit gugup karena Chiko akhirnya mengetahui tempatnya tinggal, melihat barang-barangnya, dan sebentar lagi akan mencicipi masalakannya. Akira merasa benar-benar menjadi calon pengantin yang akan memamerkan hasil kerja kerasnya di dapur untuk membuatnya semakin yakin menjadikan Akira istri.
“Ya terus ngapain nanya-nanya?” Masih dengan Jelita dan sikap kepo keturunan ayahnya itu.
“Temen mas ada yang tinggal di sini.”
“Siapa?”
“Kepo.”
“Mbak Melani yah? Kan udah pindah?” Tanya Jelita terus memberondong Chiko pertanyaan karena belum puas dengan jawaban kakak laki-lakinya itu.
“Bukan. Teman lain yang kamu nggak kenal.”
“Ish, sok-sokan misterius.” Jelita mencibir dengan kesal. Chiko tersenyum geli dan tidak lagi menanggapi adiknya itu. Laki-laki itu kemudian berpindah sofa untuk bisa melihat dengan jelas kesibukan di dapur. Dua gadis itu terlihat senang sekali meracik bahan makanan. Jelita memang senang memasak, dan melihat Akira yang terlihat tidak canggung di dapur maka bisa di pastikan keduanya akan menjadi sangat cocok kedepannya. Chiko kemudian teringat bahwa usaha keluarga Akira adalah restoran, Akira juga sering membantu mereka jika akhir minggu. Tidak mungkin juga Akira tidak bisa memaak. Chiko semakin penasaran, tentang bagaimana rasa masakan dari anak pemilik restoran itu.
***
Sedikit berdebar Akira menantikan reaksi Chiko ketika pertama kali menyendokan makanannya. Tapi tidak ada ekspresi apapun dari wajahnya tapi dia tidak menghentikkan makannya karena itu Akira sedikit lega. Jelita tentu saja sudah sejak awal memuji masakannya.
Dari yang Akira dengar, Chiko sangat pemilih soal makanan. Dia akan memilih tidak makan jika makanan yang di suguhkan padanya tidak sesuai selera rasanya. Karena itu setiap ada acara yang menjadikannya bintang tamu, pihak promotor atau pemilik acaranya akan berdiskusi serius tentang makanan yang akan di sajikan pada Chiko dengan managernya.
“Puji sedikit dong masakan calon istri, jangan diem aja tapi ngabisin.” Cibir Jelita. Chiko melirik sedikit ke arah Akira dan adiknya.
“Enak.” Ucapnya singkat, padat dan jelas. Tidak ada tambahan kalimat apapun. Akira tersenyum dan senang sekalipun pujian Chiko tergolong pelit. Tapi Jelita menggerutu kesal karena menurutnya sikap Chiko menyebalkan.
“Pelit banget pujiannya.” Ucap Jelita lagi tapi Chiko tidak lagi menanggapi. Laki-laki memilih untuk melanjutkan makan hingga habis. Tidak lama setelah itu, keduanya berpamitan sebab Adrian sudah menelpon.
“Kenapa sih mas? Ada masalah?” Tanya Jelita dalam perjalanan menuju parkiran.
“Melani pindah dari Apartemen ini katanya karena tempat ini tidak aman, ada perampokan dan managemennya juga kurang baik dalam memerikan pelayanan. Tadi mas telepon sama Melani dan dia bilang unitnya yang dia anggap kurang aman itu ada di lantai yang sama dengan milik Chesa.” Jawaban laki-laki itu membuat Jelita mengulum senyum diam-diam. Rupanya sejak tadi sibuk dengan ponselnya untuk memastikan berita itu. Apalagi alasannya selain khawatir bukan?
“Kenapa nggak minta pernikahannya di percepat aja? Bukankah nggak ada bedanya mau cepat atau lambat? Lagipula pernikahannya juga hanya dihadiri keluarga saja. Dengan begitu mbak Akira nggak perlu lagi tinggal di tempat ini. Mau nggak mau harus satu rumah sama mas kan? Kalau nggak ayah pasti ngamuk. Jelita yakin kalau mas mau pernikahannya di percepat, ayah dan bunda nggak akan nolak.” Ujar Jelita sok bijak. Mulutnya ingin sekali meledek, tapi jika dia melakukannya maka kakaknya yang penuh gengsi itu akan menyangkal dan semakin membatasi dirinya dengan Akira karena tidak mau orang lain tahu jika dia sebenarnya peduli pada gadis baru yang bahkan belum satu minggu di kenalnya itu. Tapi jika Jelita memberi saran, sebuah saran dengan tujuan untuk membuat misinya dari Lisa sukses maka Chiko akan mendengarkan dengan tenang.
Lisa menginginkan Chiko dan Akira segera menikah agar dia merasa tenang. Baik Adrian maupun Lisa sudah cocok dengan Akira. Apalagi melihat Chiko yang tidak memberontak seperti biasanya. Cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan, dulu juga mereka berdua mengawali pernikahan bukan karena saling mencintai. Tapi lihat sekarang! Bahkan seluruh orang di sekitar mereka tahu seberapa jatuh cintanya mereka berdua.
“Mas juga kepikiran ke situ, gimana bilangnya sama Ayah yah?” Laki-laki itu mendesah. Jelita semakin mengulum senyum kemenangan. Sebentar lagi misinya akan sukses dan jika bundanya mendengar ini dia pasti senang.
“Bukankah bulan depan mas udah sibuk banget syuting film baru? Mumpung sekarang masih bisa ambil jadwal libur lebih baik menikah sekarang-sekarang saja kan?”
Jelita memang tidak pernah kekurangan akal. Selain kepo dia juga cerdik. Persis seperti ayahnya. Gadis itu juga tegas, tahu kapan harus bersikap sesuai keadaan. Karena itu Regarta senang sekali adiknya membantu di kantor. Keputusan-keputusan yang Jelita Ambil selalu tepat sasaran.
“Nanti mas coba bicarakan sama ayah. Bukan karena mas tertarik sama gadis itu loh. Mas menyetujui pernikahan ini karena mas curiga Chesa terlibat dalam penjebakan itu. Lagipula dia bekerja di tempat dimana orang-orang yang berusaha menghancurkan karir mas berada, jadi mas bisa sekalian mencari informasi untuk mencari tahu dalangnya. Sudah jelas bahwa pasti Reza Taylor terlibat, tapi mas curiga ada orang-orang di dekat mas yang juga terlibat.” Ucap Chiko mulai membuat seribu alasan. Jelita tersenyum geli diam-diam. Berusaha mati-matian untuk tidak mentertawakan sikap kekanakan kakaknya yang menggemaskan ini. Chiko seperti seorang remaja yang baru pertama kali jatuh cinta dan berusaha menyangkalnya karena malu. Itu menggemaskan sekali. Sikapnya berbeda jauh dengan Regarta yang langsung menentukkan sikap ketika jatuh cinta pada Wendy dulu.
“Iya tahu kok. Mana mungkin seorang Chiko Malvino yang sangat terkenal dan di gandrungi ribuan bahkan jutaan gadis jatuh cinta semudah itu kan?” Balas Jelita dengan unsur sindiran di dalamnya. Chiko diam saja, tapi Jelita yakin di dalam hati laki-laki itu sedang kesal karena menyadari bahwa hatinya sedikit demi sedikit memang berubah dengan cepat.
***