Malam ini tidurnya semakin tidak nyenyak, bayangan perampokan dan kejahatan lain yang mungkin saja terjadi di tempat Akira membuat Chiko gelisah. Laki-laki itu kesal sendiri karena perasaan gelisah itu sangat mengganggunya. Besok dia ada jadwal pagi sekali dan jam sekarang dia belum juga tidur.
Chiko mengambil ponselnya, kemudian mengetik beberapa kata di roomchat Akira tapi kemudian di hapus lagi. Chiko tidak memiliki alasan yang tepat untuk menghubungi gadis itu selarut ini. Mungkin saja Akira juga sudah tidur, tapi tetap saja, perasaan gelisah sangat mengganggunya.
Alih-alih mengirim pesan, Chiko justru mendial nomor Akira dan laki-laki itu terkejut karena gadis itu langsung menjawabnya.
“Hallo mas.” Jawabnya. Chiko langsung menegakkan tubuhnya mendengar suara Akira sedikit berbeda. Napasnya terdengar tersengal dan beberapa kali juga terdengar suara batuk.
“Kamu kenapa? Kok batuk-batuk?” Tanya Chiko dengan debaran jantung yang menggila. Chiko reflek mengambil jaket, masker dan kunci mobilnya. Nyaris berlari turun ke lobby menuju mobilnya, masih mengenakan piama tidur dan sendal.
“Apartemen aku ada konsleting listrik terus—”
“Kamu dimana sekarang? Aku ke situ!” Potong Chiko cepat.
“Aku di minimarket depan apartemen mas. Jangan ke sini mas banyak orang. Aku nggak papa kok.” Ucap Akira, tidak lagi ditanggapi oleh Chiko. Laki-laki itu mematikan sambungan teleponnya kemudian langsung masuk mobil dan menuju apartemen Akira.
Jarak anatara apartemennya dengan Akira kebetulan memang tidak terlalu jauh karenanya hanya sekitar lima belas menit Chiko sudah berada di minimarket yang Akira maksud. Laki-laki itu sedikit ngeri melihat banyaknya orang yang berkumpulan di sekitaran bangunan apartemen itu. Terlihat ada api di salah satu sisi Gedung.
Sambil memakai masker, Chiko menoleh ke sana kemari hingga matanya menemukan gadis dengan piama kelinci yang sedang berdiri di samping kanan minimarket. Laki-laki itu memarkirkan mobilnya di sembarang tempat dan keluar sambil membawa jaketnya. Menyampirkan jaketnya di bahu Akira karena gadis itu memakai baju tidur pendek tanpa jaket dan terlihat kedinginan.
Akira tentu saja kaget bukan main melihat Chiko ada di sana menghampirinya. Sementara orang-orang banyak sekali setelah berhamburan keluar dari apartemen. “Mas Chiko ngapain ke sini?” Gadis itu berbisik-bisik. Chiko tidak langsung menjawab, tangannya sibuk membantu Akira memakai jaketnya hingga kedua tangannya masuk ke lengan jaketnya dengan sempurna. Aroma semerbak khas laki-laki menguar dari jaket mahal itu memanjakan hidung Akira sekaligus membuatnya berdebar. Apalagi melihat Chiko masih mengenakan piama yang menandakan bahwa laki-laki itu buru-buru menghampirinya, Akira terharu sekali. Sikap dan mulut Chiko rupanya berbeda, seperti yang Jelita beritahukan ketika mereka mengobrol.
“Mau tidur di tempat aku atau mau aku antar pulang ke rumah orang tua kamu?” Tanya laki-laki itu.
“Pulang ke rumah aja mas, agak sedikit jauh nggak papa?” Tanya gadis itu pelan. Hari sudah malam dan Akira tahu, besok Chiko harus bekerja pagi-pagi sekali. Jelita memberitahu bahwa besok pagi Chiko harus ke luar kota saat dini hari. Tapi Akira tidak enak jika menumpang di tempat Chiko, takut mengganggu dan lagi mereka juga belum resmi suami istri.
“Oke. Ayo ke mobil.” Laki-laki itu tidak menolak sedikitpun, Akira menjadi semakin terharu. Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya ini, laki-laki yang baik. Mencintai keluarganya melebihi apapun, peduli pada orang lain sekalipun bermulut pedas, tidak menilai seseorang dari harta atau kesetaraan dengan dirinya yang artis besar.
Tidak hanya sampai di situ, setelah Akira masuk ke mobil Chiko mengambilkan dan membukakan tutup tumbler hitam yang ada di mobil itu untuk Akira. “Minum dulu, kamu nggak papa kan? Masih sesak napas?” Ucapnya. Akira terdiam beberapa detik karena begitu terharu. Kemudian menerima air yang di sodorkan oleh Chiko dan meminumnya. Akira tahu bahwa tumbler yang ada di tangannya ini adalah tumbler kesayangan Chiko. Dalan suatu wawancara laki-laki itu mengatakan bahwa tumbler itu adalah hadiah dari ibunya ketika Chiko pertama kali membintangi film. Dia selalu membawanya kemanapun dan tidak membiarkan siapapun menyentuhnya karena begitu berharganya. Saking terkenalnya pernyataan Chiko tentang tumbler hitam itu, sampai banyak sekali barang tiruan yang menyerupai tumbler milik Chiko.
“Aku nggak papa, tadi cuma kaget terus lari-lari juga dan jalan yang aku lewati berasap.” Ucap Akira sudah lebih tenang di banding ketika Chiko meneleponnya. Chiko mengangguk saja, lalu melajukan mobilnya. Akira diam sambil memegangi tumbler berharga itu erat-erat. Ada nama Chiko terukir di bagian bawah dengan tinta berwarna silver.
“Apa?” Tanya Akira bingung ketika Chiko menyodorkan ponselnya.
“Telepon orang tua kamu, takutnya udah tidur.” Ucap laki-laki itu. “Ada nomor ayah kamu di situ, cari aja.” Tambahnya lagi. Akira mengangguk kemudian mulai mengotak-atik ponsel Chiko.
Akira membukanya di roomchat dan menemukan nama ayahnya. Niatnya Akira hanya ingin mengirim chat dulu, jika di balas maka dia tidak perlu menelepon, tapi kemudian gadis itu justru menemukan history chat antara Chiko dan ayahnya. Terlihat ada ceramah dan omelan panjang dari ayahnya yang di balas oleh Chiko dengan sangat sopan. Chiko tidak pernah mengatakan apapun tentang chat menyebalkan ayahnya ini, membuat Akira tidak enak.
Chiko menoleh karena Akira terlalu diam padahal di suruh menelepon. Kemudian pandangannya melihat raut wajah sedih calon istrinya itu membaca chat ayahnya pada Chiko. Laki-laki itu meringis, lupa jika masih ada history chat antara dia dan calon mertuanya.
“Semua orang tua akan bersikap seperti itu jika anak perempuannya tiba-tiba saja akan dinikahi oleh laki-laki yang baru di kenalnya, aku tidak keberatan. Karena jika Jelita mengalami hal yang sama aku akan jauh lebih menyebalkan dari itu.” Ucap Chiko menenangkan. Akira menoleh sekali lagi ke arag Chiko dan kembali menemukan wajah tampan itu sedang fokus ke jalanan.
“Aku minta maaf mas.” Ucapnya pelan.
“Nggak papa, buruan telepon mumpung belum setengah jalan. Kalau beliau udah tidur kamu aku antar ke rumah bunda aja, tidur sama Jelita.”
“Iya mas.” Ucap Akira kemudian mulai mendial nomor ayahnya. Di panggilan ke tiga baru diangkat.
“Hallo kamu tahu jam berapa in—”
“Papa ini Chesa.” Potong Akira cepat ketika ayahnya sudah hendak mengomel.
“Chesa, kok kamu pakai nomor anak itu? Kamu nggak papa kan? Anak itu berbuat sesuatu lagi sama kamu yah?” Berondong didit khawatir.
“Enggak pa, apartemen Chesa kebakaran terus mas Chiko dateng buat bantuan Chesa. Malam ini Chesa mau pulang ya, Pa, diantar mas Chiko.” Ucap Akira menjelaskan situasinya.
“Kebakaran? Tapi kamu nggak papa kan?” Tanya Didit khawatir.
“Nggak papa kok pa, kalau gitu udah dulu yah pa. Chesa lagi di jalan soalnya.”
“Kasih teleponnya sama anak itu! Papa mau ngomong.”
“Papa, nggak usah ih.” Akira tidak enak. Takut ayahnya akan mengomel lagi.
“Kasih, Chesa!” Didit memaksa.
“Mas Chiko papa mau ngomong sama mas, mau nggak?” Tanya gadis itu hati-hati. Chiko kemudian menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan dan menerima ponselnya dari Akira.
“Assalamu’alaikum Om.” Ucap Chiko pelan.
“Wa’alaikumsalam. Sekarang udah sampai mana?” Tanya didit dengan nada yang terdengar tidak suka itu. Chiko maklum jika calon mertuanya itu tidak menyukainya mengingat apa yang sudah terjadi pada putrinya kemarin.
“Baru sampai perempatan lewat dikit om.”
“Jangan lewat jalan besar biar cepet, di dekat pertigaan depan kamu belok kiri nanti ada gapura, nah masuk ke situ terus lurus terus ikuti jalan sampai mentok baru belok kanan. Dari situ udah kelihatan gang masuk ke rumah om.” Ujar Didit menjelaskan.
“Baik Om, Chiko lewat situ.”
“Chesa baik-baik saja kan?”
“Baik Om.”
“Awas kalau sampai lecet, kamu abis sama om.” Ancam Didit serius.
“Nggak akan Om, Chiko bawa mobilnya pelan-pelan kok.” Jawab Chiko tenang dan sopan, Akira menunggu sambungan telepon itu sambil menerka-nerka pembicaraan mereka dengan berdebar. Takut ayahnya mengatakan hal-hal yang menyakitkan pada Chiko.
Tidak lama setelah itu, Chiko kembali melajukan mobilnya setelah meletakkan ponselnya di samping. Akira terus menatap ke arah laki-laki itu, ingin bertanya apakah ayahnya mengatakan hal yang menyebalkan tapi tidak berani. Chiko juga diam saja, tidak membahasnya. Sungguh Akira merasa sangat tidak enak, mengetahui bahwa ayahnya semenyebalkan itu sikapnya pada Chiko tapi Chiko seperti tidak memasalahkan hal itu.
“Tidur aja dulu nanti aku bangunin kalau udah sampai.” Ucap Chiko mengakhiri keheningan.
“Maaf aku ngerepotin mas, padahal besok mas harus flight pagi kan?” cicit gadis itu pelan.
“Nggak papa, namanya juga musibah. Ke depannya kamu mau gimana?”
“Kayaknya tetep tinggal di situ kalau memang unit aku masih baik-baik saja. Soalnya aku udah bayar setahun di situ.” Jawab Akira. Dia tidak punya pilihan, sebab pekerjaanya juga belum mapan dan tabungannya belum cukup untuk menyewa apartemen lain.
“Tinggal di apartemen aku aja, deket juga ke kantor kamu kok. Aku lebih sering ada di rumah, jadi apartemennya jarang di tempati.” Ucap laki-laki itu berbohong. Padahal Chiko lebih serting tinggal di apartemen di banding rumahnya. Rumah yang Chiko maksud adalah rumah pribadi bukan rumah orang tuanya. “Lagipula sebentar lagi kita menikah kan? Kayaknya apartemen kamu kurang aman.” Tambah laki-laki itu lagi, menemukan solusi tercepat dari kegelisahannya.
“Nanti aku pikirkan dulu ya mas.” Jawab Akira, dia tidak enak jika menumpang pada Chiko sebelum keduanya resmi menjadi suami istri. Chiko menangkap perasaan Akira itu. Laki-laki itu mulai berpikir bahwa saran Jelita untuk mempercepat pernikahan mereka adalah solusi yang tepat.
“Besok berangkat kerja gimana? Apa mau libur dulu?” Laki-laki itu kembali bertanya.
“Nggak bisa libur mas soalnya besok ada rapat redaksi.”
“Besok aku nggak bisa jemput, aku minta tolong Jelita aja jemput kamu.”
“Nggak usah mas, aku bisa berangkat sendiri kok.”
“Keburu apa nggak? Sekarang aja hampir jam dua pagi dan kita belum sampai rumah kamu. Terus kamu juga belum tidur kan? Makanya aku nyuruh kamu tidur dulu biar besok nggak pusing.” Ucap Chiko Panjang lebar.
“Mas Chiko juga kan belum tidur dan besok harus berangkat pagi kan? Aku ngerepotin mas, nggak enak kalau aku tidur sementara mas harus bawa mobil.” Balas Akira pelan, Chiko mendesah.
“Aku udah biasa nggak tidur, udah kamu tidur aja! Aku nginep tempat kamu aja kalau gitu jadi besok pagi kita bisa berangkat bareng. Sorenya kamu pulang ke rumah Bunda dulu dijemput Jelita.” Putus Chiko membuat Akira kaget. Adiknya pasti akan menangis bahagia karena kakaknya membawa pulang artis kesayangannya. Apalagi jika sampai menginap dan mengetahui bahwa artis kesayangannya itu akan menjadi kakak iparnya. Akira rasa dia bisa pingsan.
“Mas kayaknya nginep di rumah aku nggak aman deh.”
“Kenapa? Karena papa kamu?”
“Bukan hanya soal papa, tapi adik aku juga.”
“Adik kamu kenapa? Nggak suka juga sama aku?” Chiko bertanya santai seolah dia sudah terbiasa tidak di sukai orang lain.
“Justru kebalikannya, dia fans beratnya mas Chiko. Takutnya mas malah nggak nyaman.” Jawab Akira jujur, Chiko tertawa ringan. Sebuah tawa indah yang selama ini selalu bisa menghipnotis jutaan wanita, Akira merasa beruntung bisa melihatnya secara langsung.
“Nggak papa, lagian nanti juga harus kenalan juga kan sama keluarga kamu yang lain.” Jawab laki-laki itu santai. Akira meringis ngeri. Chiko tidak tahu saja bahwa adik Akira adalah salah satu ketua fansclubnya. Gadis itu bahkan memiliki akun fansclub Chiko dengan jutaan pengikut.
***